Untuk sesaat, Mia hanya bisa memandang Valen, merasakan getaran aneh yang mengalir di antara mereka. Mia merasa ada sesuatu yang berubah dalam suasana antara mereka. Sebuah ikatan yang lebih dari sekadar hubungan antara dokter dan pasien, lebih dari sekadar teman biasa. Nama “Valen” itu seolah membuka pintu ke sisi lain dari pria ini—sisi yang lebih intim, lebih personal, dan mungkin juga lebih rentan.“Mia, kamu mendengarku?” tegur Valen karena sejak tadi Mia hanya terdiam dan memandangnya.“I-iya, aku mendengarmu…, Valen.” Mia mengangguk sambil tersenyum canggung saat akhirnya memutuskan untuk mengubah panggilannya."Terima kasih, Mia," kata Valen dengan nada yang begitu tulus. "Senang sekali mendengarnya."Ketika Valen tersenyum, senyum yang ia berikan padanya kali ini berbeda dari biasanya. Ada kelembutan yang tidak pernah Mia lihat sebelumnya, kehangatan yang membuat tatapan mata Valen semakin dalam dan menawan. Senyuman itu menyentuh sesuatu di dalam hati Mia, membuatnya mera
“Val, bagaimana kalau nanti kita menukar tiket VIP dengan tiket tribun Selatan saja? Aku yakin pasti ada yang mau bertukar tiket dengan kita nanti?” Mia tiba-tiba mengajukan permintaan yang mengejutkan Valen. Pandangan tajam Valen beralih dari jendela ke arah Mia, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mata Valen menyipit, merasa ada yang tidak beres. “Mia, ada apa sebenarnya? Dengan kondisi kehamilanmu saat ini, jujur saja… aku tidak setuju dengan ide ini.” Nada suaranya lembut, namun tegas, mengisyaratkan kekhawatirannya. Suara baling-baling helikopter yang berputar cepat di atas mereka seakan mengisi keheningan di dalam kabin, namun suara itu tak mengganggu percakapan mereka. Headphone khusus yang mereka kenakan memastikan setiap kata terdengar jelas meski di antara deru mesin. Mia menggigit bibir bawahnya, tampak ragu untuk mengungkapkan alasan sebenarnya. Helikopter terus melaju, namun waktu seolah melambat bagi Mia yang tengah bergulat dengan pikirannya. Valen meletak
Dessy memutar matanya, senyumnya sedikit memudar, tetapi semangatnya tetap tidak berkurang. “Iya, aku memang menyukai Max sejak pandangan pertama. Kali ini aku ingin membawa serta hatiku dalam drama percintaan ini, Bel. Bila aku berhasil membuat Max jatuh cinta, aku tak akan melepaskannya seperti aku pernah melepaskan pria-priaku yang lain,” jawab Dessy, suaranya terdengar lebih serius, hampir seolah ia sedang meyakinkan dirinya sendiri. Belinda menghela napas panjang, memandang teman cantiknya ini dengan tatapan iba. “Kurasa, yang meniupkan isu bahwa kamu seorang lesbi itu adalah salah satu pria yang sakit hati padamu, Dessy. Kamu sih... terlalu mudah mencampakkan pria.” Dessy mengangkat bahu acuh tak acuh, sedikit tertawa tanpa beban. “Mungkin, tapi biar saja. Setelah ini aku akan membuat semua mata melihat fakta bahwa aku sangat berbahagia dengan Max. Kami akan menjadi pasangan kekasih paling sempurna yang pernah ada.” “Dessy, ingatlah bahwa karma itu ada. Sekali lagi kuingat
Ketika Dessy melangkah menuju pintu masuk tribun VIP, seorang jurnalis yang tampaknya terkejut melihat kehadiran sosok top model itu, segera menghampirinya dengan mikrofon di tangan. "Dessy, boleh kami minta sedikit waktunya?" pintanya dengan sopan, namun tergesa-gesa saat menghadangnya di pintu masuk. Dessy mengangguk ramah, seolah sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. "Tentu saja," jawabnya dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya, seraya menghentikan langkahnya sejenak. Si jurnalis segera meluncurkan pertanyaan pertama, "Menurutmu, bagaimana kemungkinan pertandingan ini akan berjalan? Mengingat Australia lawan yang cukup tangguh." Dessy menatap kamera dengan tenang, senyumnya kini lebih serius namun tetap elegan. "Aku tahu, Australia cukup sulit untuk dihadapi ya. Tapi aku percaya Max dan teman-teman timnas lainnya pasti akan melakukan yang terbaik dari yang terbaik," jawabnya, suaranya terdengar penuh keyakinan. Ada nada optimisme yang membuat kata-katanya terde
Kedua tim yang akan bertanding melangkah ke lapangan dengan langkah penuh keyakinan. Mereka berbaris rapi, masing-masing pemain menggandeng tangan anak gawang yang berdiri dengan bangga di samping mereka. Sorotan lampu stadion menyorot para pemain, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau yang rapi terawat. Sorak-sorai penonton menggema, namun para pemain tetap tenang, fokus, dan tampak siap menghadapi tantangan di depan mereka.Max berjalan di tengah barisan, menggenggam tangan anak kecil yang menatapnya dengan sorot penuh kekaguman. Ada perasaan tanggung jawab yang mengalir dalam dirinya, bukan hanya untuk memenangkan pertandingan, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda yang berdiri di sampingnya. Sambil melangkah ke tengah lapangan, pandangannya menyapu seluruh stadion yang dipenuhi lautan manusia. Ribuan suporter memenuhi tribun, mengenakan warna kebanggaan masing-masing negara, menciptakan pemandangan yang penuh semangat.Setelah semua pemain mencapai lapan
Di dalam rumah bergaya klasik di Inverness, Skotlandia, Rival duduk di sofa dengan tatapan tegang terpaku pada layar kaca di depannya. Tubuh mungilnya hampir tak bisa diam, seolah-olah ia sendiri yang berada di tengah lapangan hijau. Bocah itu berteriak penuh semangat, lalu menjerit ketika pemain lawan mendekati gawang Indonesia. Setiap gerakan Max di lapangan, setiap kali bola mendekat ke arah pertahanan, membuatnya semakin gelisah. Tangannya mencengkeram bantal di pangkuannya, wajahnya penuh ekspresi tegang dan penuh harap."Go, Max! Go!" teriaknya dengan suara nyaring, suaranya penuh dengan kegembiraan dan ketegangan yang tak terkendali.Di sisi lain ruangan, Nyonya Wina, yang semula tak pernah tertarik pada sepak bola, mulai penasaran oleh suara Rival yang begitu antusias. Ia berjalan mendekat, duduk di sebelah cucunya, dan mulai memperhatikan pertandingan. Matanya mengikuti gerakan Max di lapangan, melihat bagaimana ia berjuang jatuh bangun, menahan serangan lawan, dan melakuk
Saat babak kedua dimulai, suasana di stadion menjadi lebih intens. Kedua tim kembali memasuki lapangan dengan semangat yang berkobar, siap melanjutkan perjuangan mereka.“Ayo, kita bisa. Pasti bisa. Minimal kita harus bertahan imbang malam ini untuk bisa lolos ke round 3,” kata sang kapten menyemangati timnya.Max mengangguk ketika sang kapten menepuk pundaknya, seolah meletakkan harapan padanya agar melakukan pertahanan terbaik malam ini.Para suporter menyaksikan dengan penuh perhatian. Di tribun VIP, Brama menunggu dengan tegang, sedangkan di sebelahnya, Dessy masih menunjukkan kebosanan yang ia tutupi dengan senyuman palsu.Sementara itu Mia, yang masih berdiri di antrean toilet, merasa semakin gelisah saat mendengar pengumuman melalui pengeras suara bahwa babak kedua pertandingan telah dimulai. Suara sorakan penonton yang mengiringi pengumuman tersebut membuat hatinya semakin gusar. Ia melirik ke depan, berharap antrean itu bergerak lebih cepat, tetapi kenyataannya tidak banyak
Pertandingan masih berlangsung dengan intensitas yang memuncak. Skor masih imbang 0-0, dan kedua tim terus berjuang untuk meraih kemenangan. Suasana di stadion sangat menegangkan, setiap detik menjadi begitu krusial. Tujuh menit waktu tambahan yang sudah ditentukan sudah hampir habis. Semua pemain tampak kelelahan, namun semangat mereka tak jua padam. Timnas Australia, dengan segala upaya, terus melancarkan serangan, mencoba untuk memecah pertahanan timnas Indonesia. Sementara itu, Max berdiri tegak di jantung pertahanan, bekerja keras untuk menghalau setiap ancaman.Tiba-tiba, sebuah kesalahan tak terduga terjadi dari tim Australia. Salah satu pemain mereka, dalam upaya terburu-buru, gagal mengontrol bola dengan baik. Bola yang terlepas menggelinding ke arah tengah lapangan, menjadi peluang emas bagi timnas Indonesia.Max, yang sudah memantau situasi dengan cermat, cepat bereaksi atas serangan balik itu. Dengan kecepatan dan ketepatan yang mengesankan, ia melaju ke satu sisi yang l