“Oh, jadi kamu sudah dengar tentang gosip Max dan Dessy, ya?”Mia mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, Dokter juga tahu?”“Gosipnya langsung jadi trending di media sosial, bagaimana aku tidak tahu? Aku kan Dokter gaul yang tak bisa lepas dari media sosial.” Dokter Joshua menjawab sambil tertawa, suara tawanya yang renyah lebur bersama tawa Mia. Tawa mereka terdengar seperti melodi yang menyatu, mengisi ruang kecil di antara mereka dengan kehangatan dan keakraban yang nyata.“Kamu tidak cemburu, Mia? Kok ketawanya gitu amat?” Dokter Joshua memandang Mia yang tampak cantik dengan pakaian serba hitam yang kontras dengan kulitnya yang bersih cerah. Mata pria itu menyapu setiap detail penampilannya, mengagumi kecantikan dan kekuatan batin yang terpancar dari wanita di hadapannya.“Bohong kalau aku tidak cemburu, Dok, apalagi dengan kondisiku saat ini,” Mia tersenyum kecut sambil membelai perutnya yang masih belum terlalu terlihat buncit. “Aku hanya sedang menghibur diriku. Tapi… aku makl
Mia duduk nyaman di dalam mobil Dokter Joshua, menikmati bubur Manado yang lezat. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya melalui jendela mobil, menambah kilau pada rambutnya yang tergerai. Suara notifikasi video call dari ponselnya membuat Mia tersenyum. Dia segera mengangkat panggilan itu, wajah Max langsung muncul di layar.“Aku kangen kamu, Mia. Kenapa kamu tidak menelepon aku?” Suara Max terdengar merengek seperti anak kecil yang butuh perhatian. Wajahnya dibuat-buat cemberut, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Matanya memancarkan rindu yang mendalam, membuat Mia tersenyum hangat.“Aku tak mau mengganggu aktivitasmu, Max. Kupikir, biar kamu saja yang aktif menghubungiku, karena kamu yang paling tahu kapan sedang ada waktu luang untuk kita berbicara,” jawab Mia sambil tersenyum cantik, matanya berbinar penuh cinta.Max tersenyum dan mengangguk-angguk. “Iya, aku sedang luang sekarang. Sebentar lagi mau turun sarapan. Eh, kamu makan apa itu? Kamu sedang di mobil? Mau ke mana
Selesai menutup video call dengan Mia dan Rival, Max segera mencuci wajahnya, menghapus jejak tangis yang sedikit terlihat sebelum ia keluar dari kamarnya dan menuju restoran hotel, bergabung dengan teman-temannya untuk sarapan bersama. Hatinya merasa tenang dan bahagia. Senyumnya belum juga pudar saat ia mendekati meja tempat rekan-rekan timnasnya berkumpul. Semangat bertanding mulai menyala-nyala di dalam dadanya, rasanya ia tak sabar ingin segera melunasi janji golnya untuk Rival."Hei, Max! Ada apa ini? Kok kamu senyum-senyum terus?" sapa Argo, sambil mengangkat cangkir kopinya. Max tertawa kecil, mengambil tempat duduk di antara Diego dan Ravi. "Iya, baru saja video call dengan pacarku," jawabnya sambil mengulum senyum. “Dan juga dengan anakku,” lanjutnya dalam hati. Mia dan Rival, memang alasan dia tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.Ucapan Max itu segera menarik perhatian teman-temannya. Semua pemain yang mendengar terlihat terkejut, mereka saling menoleh dengan ekspresi
“Max, tidak ada kesepakatan yang kubuat dengan siapapun tanpa persetujuanmu.” Brama menyangkal tuduhan Max. Melihat tatapan Max yang masih penuh keraguan, dia menambahkan, “Tapi kali ini aku punya pertimbangan sendiri, Max.”Brama menarik Max sedikit menjauh dari keramaian, memastikan tak ada telinga yang mencuri dengar. Wajahnya serius, penuh desakan. “Dessy juga sedang diterpa rumor tak sedap. Ada kabar yang mengatakan dia penyuka sesama jenis. Untuk mengatasi ini, dia harus menunjukkan pada publik bahwa dia punya kekasih pria.”Max mengernyit, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. “Dan kau ingin aku yang menjadi kekasihnya? Kau gila, heh?” sambar Max dengan nada tajam.“Max, itu cuma rumor. Dessy bukan wanita seperti itu, tapi ada video yang beredar, memojokkan dirinya. Itu ulah haters yang ingin menghancurkan kariernya.” Brama menghela napas berat, menatap Max dengan intensitas yang semakin mendesak. “Dessy mengalami nasib yang sama denganmu, Max. Kalian berdua sedang di
"Kalau aku memintamu menjaga jarak dengan Max, apakah kamu bisa, Mia? Tolonglah. Ini hanya untuk sementara, sampai kita memastikan bahwa skandal itu betul-betul telah berhasil ditenggelamkan oleh berita pertunangan Max dan Dessy." Brama berbicara dengan nada tegas, mencoba meyakinkan Mia bahwa ini adalah satu-satunya jalan.Mia berdiri di tangga darurat, punggungnya bersandar pada dinding beton yang dingin. Ruangan itu sepi, hanya suara gemerisik angin yang terdengar dari celah kecil di sudut ruangan. Lampu neon di atasnya berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai yang kasar.“Pertunangan?” Suara Mia pelan, penuh kebingungan. Hatinya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Iya, tapi... tidak sungguhan. Max akan melamar Dessy selesai pertandingan nanti malam, masih di dalam stadion GBK, disaksikan oleh ribuan suporter.” Brama kemudian menjelaskan tentang rencana skenarionya. “Di akhir pertandingan nanti, Max akan melamar Dessy yang be
Nathan berdiri di ambang pintu ruang ICU, tubuhnya dilapisi pakaian steril yang terasa kaku di kulitnya. Matanya memandang tak berdaya pada sosok Alyra yang terbaring di ranjang, tubuhnya dipenuhi dengan berbagai selang dan alat medis. Suara mesin yang monoton menjadi latar belakang yang menyakitkan, mengingatkan Nathan bahwa waktu mereka bersama semakin menipis. Setiap detik berlalu seperti pukulan di dadanya, membentuk ritme yang tak bisa dia hentikan. Cahaya lampu ICU yang dingin dan steril memantulkan bayangan suram di wajah Nathan, menambah suasana kesedihan yang menggantung di ruangan itu.Dinding putih yang tak bernyawa seolah menutup dunia di luar, membuat Nathan merasa terperangkap dalam kenyataan yang tak bisa dia hindari. Bau antiseptik tajam menusuk hidungnya, menciptakan campuran rasa mual dan putus asa. Dalam kebisuan itu, Nathan bisa mendengar setiap napas Alyra, terengah-engah, seolah berjuang melawan takdir yang sudah digariskan untuknya.Nathan tahu—tidak ada yang
Mia baru saja menutup telepon dari Max ketika sebuah notifikasi pesan dari Nathan masuk ke dalam ponselnya. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka pesan tersebut, tetapi ketika matanya menangkap kabar tentang kematian Alyra, dunia di sekitarnya seolah berhenti sejenak.Bayangan wajah mungil Alyra, dengan senyum manis dan tatapan polosnya, segera melintas dalam pikirannya. Kenangan-kenangan itu menghantam hatinya dengan kegetiran yang tak tertahankan. Hatinya bergejolak dengan campuran emosi; duka, marah, dan rasa bersalah. Air matanya kembali mengalir, dengan isakan tertahan, Mia terduduk di anak tangga darurat yang dingin, seraya memeluk ponselnya erat-erat. Seakan-akan dalam pelukan itu, dia mencoba merasakan kembali kehadiran Alyra yang kini telah pergi untuk selamanya.Isakannya menggema di ruangan yang sepi. Mia tahu bahwa Alyra sudah berada di tempat yang lebih damai, tapi kehilangan ini terasa menyedihkan, meskipun mungkin semasa hidupnya… Alyra pernah menjadi sumber
Mia tiba di tempat pemakaman umum dengan hati yang berbalut duka. Perjalanan yang ditempuh dengan ojek online membuatnya tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan, sebuah kelegaan kecil di tengah dukanya saat ini. Dengan membawa buket bunga mawar putih, Mia melangkah memasuki area pemakaman. Mawar putih, simbol kemurnian dan penghormatan terakhir, adalah pilihan Mia. Bunga-bunga itu melambangkan kepergian Alyra yang masih begitu suci, belum ternoda oleh dunia yang keras dan penuh tipu daya. Di balik setiap kelopak mawar putih itu, tersimpan doa Mia, sebuah harapan bahwa Alyra akan menemukan kedamaian di alam sana, jauh dari segala penderitaan yang pernah ia rasakan.Mia menelusuri jalan setapak sesuai arahan Jay. Gambar yang dikirimkan kepadanya membawa ingatan pada pohon-pohon rindang yang kini melambai lembut di atasnya, sementara angin yang berhembus seolah turut berduka. Tatapan matanya akhirnya menemukan sosok familier di sebuah makam yang ia cari-cari.Nathan, berdiri dengan tu
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M
“Bisa-bisanya kamu menciptakan kiamat untuk kariermu sendiri, Max!” Brama mengomel dengan nada yang semakin meninggi saat menemuinya di hotel usai pertandingan malam itu, nadanya penuh dengan kekhawatiran. Dia membayangkan dampak dari tindakan Max yang sembrono ini—reputasi yang hancur, skandal yang meledak, efek domino yang bisa berakibat fatal bagi kariernya. Brama sangat memahami bagaimana dunia olahraga bisa kejam; satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya dalam sekejap.Brama menatap Max sambil geleng-geleng kepala, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan gelisah. Kepalanya yang botak berkilau di bawah cahaya lampu. Sementara itu, Max duduk dengan tenang di hadapannya, menyandarkan punggung ke kursi dengan senyum tipis yang tampak santai. Matanya memancarkan keteguhan yang sulit digoyahkan, seolah semua kata-kata Brama hanya angin lalu.Senyuman Max mencerminkan keyakinan dan ketidakpeduliannya terhadap apa kata dunia atas tindakannya. “Mia sudah bercerai dari Nathan, itu
Jeritan cinta yang begitu menggema dari Max seolah merobek kebisingan di stadion, menimbulkan kekagetan di pikiran begitu banyak orang, khususnya Mia. Dia tak pernah membayangkan bahwa Max akan melakukan sesuatu yang begitu nekat, begitu terbuka, di depan puluhan ribu pasang mata.Mia membeku, tubuhnya kaku seperti patung di tengah lautan manusia yang seakan tidak berhenti bergejolak dengan sorak sorai dan tepukan tangan. Dalam diri Mia, perasaan malu, terkejut, dan kebingungan bergulat satu sama lain, membuat tubuhnya gemetar. Jantungnya berdetak cepat, seolah tak bisa mengimbangi kekacauan yang terjadi di dalam pikirannya. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini.Tatapan Mia yang biasanya lembut kini terpaku lurus ke depan, mencoba menghindari pandangan orang-orang yang kini tertuju padanya. Setiap mata di stadion ini seolah sedang memperhatikannya, menilai, dan mungkin bahkan menghakiminya. Tangannya yang dingin berusaha mencari pegangan, dan tanpa sadar, ia mengge
Max bersama para pemain lainnya berjalan menuju tepi lapangan, wajahnya berseri-seri dengan senyum hangat menghiasi bibirnya. Tangannya terangkat, melambai ke arah suporter yang memenuhi tribun, seolah ia ingin menyapa setiap orang yang telah memberikan dukungan penuh selama pertandingan. Setiap langkah yang ia ambil terasa penuh dengan kebanggaan, mencerminkan kemenangan yang baru saja mereka raih.Sesampainya di tepi lapangan, Max sedikit membungkukkan badannya sebagai penghormatan tulus kepada para suporter. “Terima kasih!” teriaknya kemudian, sambil kembali melambaikan tangannya.Aksinya diikuti oleh rekan-rekan timnas yang lain. Seketika sikap rendah hati para pemain itu memicu gelombang tepuk tangan yang riuh dari tribun. Sorak-sorai membahana, mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh Max dan para pemain timnas.Langkah Max dan timnya terhenti tepat di depan tribun Selatan. Di sana, lautan suporter dengan kostum hitam—warna khas Ultras Garuda, mendominasi pemandangan. N