Brama sedang duduk di ruang kerjanya, memeriksa beberapa berkas yang harus diselesaikan sebelum akhir pekan. Suara dering telepon di meja membuatnya sedikit tersentak. Dengan cepat, dia meraih gagang telepon."Halo, dengan Brama di sini," jawabnya singkat, matanya masih tertuju pada layar komputer."Pak Brama, saya Rina dari Sido Waras," suara perempuan di seberang sana."Oh, Bu Rina. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Brama, suaranya terdengar ramah meskipun sedikit terganggu oleh interupsi tersebut."Ada sesuatu yang sangat penting yang perlu kita bicarakan. Kami di Sido Waras telah memutuskan untuk mengakhiri kontrak kerjasama kami dengan Max Julian sebagai Brand Ambassador," kata Rina langsung ke inti masalah.Brama terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Detak jantungnya semakin cepat, tangannya yang memegang gagang telepon mendadak berkeringat. "Maaf, Bu Rina. Apa Anda bisa mengulanginya? Saya khawatir salah dengar.""Kami memutuskan untuk mengakhiri
Media massa digegerkan oleh berita kedekatan antara Max dan Dessy. Kabar ini langsung menyebar seperti api yang tak bisa dikendalikan, membuat headline di berbagai platform berita.Di layar televisi, sebuah tayangan infotainment sedang membahas rumor hubungan mereka.“Pemirsa, kita kembali dengan berita yang sangat menarik dari dunia selebriti dan olahraga. Max Julian, bintang Timnas sepak bola Indonesia, baru saja tertangkap kamera bersama Dessy Gunawan, top model Indonesia yang namanya juga sudah terkenal di Eropa. Lewat foto-foto eksklusif ini sepertinya sulit bagi mereka untuk mengelak, bahwa memang ada 'something special' di antara mereka. Yuk, mari kita lihat!"Foto-foto yang ditampilkan di layar televisi sangat jelas. Salah satu foto menunjukkan Max dan Dessy sedang dinner di sebuah kafe. Mereka berdua tersenyum lebar, mata mereka saling menatap dengan penuh keakraban. Wajah mereka berdua berseri-seri, seolah-olah tidak ada orang lain di sekitar mereka.Foto berikutnya menunjuk
“Oh, jadi kamu sudah dengar tentang gosip Max dan Dessy, ya?”Mia mengangguk dan tersenyum tipis. “Iya, Dokter juga tahu?”“Gosipnya langsung jadi trending di media sosial, bagaimana aku tidak tahu? Aku kan Dokter gaul yang tak bisa lepas dari media sosial.” Dokter Joshua menjawab sambil tertawa, suara tawanya yang renyah lebur bersama tawa Mia. Tawa mereka terdengar seperti melodi yang menyatu, mengisi ruang kecil di antara mereka dengan kehangatan dan keakraban yang nyata.“Kamu tidak cemburu, Mia? Kok ketawanya gitu amat?” Dokter Joshua memandang Mia yang tampak cantik dengan pakaian serba hitam yang kontras dengan kulitnya yang bersih cerah. Mata pria itu menyapu setiap detail penampilannya, mengagumi kecantikan dan kekuatan batin yang terpancar dari wanita di hadapannya.“Bohong kalau aku tidak cemburu, Dok, apalagi dengan kondisiku saat ini,” Mia tersenyum kecut sambil membelai perutnya yang masih belum terlalu terlihat buncit. “Aku hanya sedang menghibur diriku. Tapi… aku makl
Mia duduk nyaman di dalam mobil Dokter Joshua, menikmati bubur Manado yang lezat. Sinar matahari pagi menyinari wajahnya melalui jendela mobil, menambah kilau pada rambutnya yang tergerai. Suara notifikasi video call dari ponselnya membuat Mia tersenyum. Dia segera mengangkat panggilan itu, wajah Max langsung muncul di layar.“Aku kangen kamu, Mia. Kenapa kamu tidak menelepon aku?” Suara Max terdengar merengek seperti anak kecil yang butuh perhatian. Wajahnya dibuat-buat cemberut, namun tidak mengurangi kadar ketampanannya. Matanya memancarkan rindu yang mendalam, membuat Mia tersenyum hangat.“Aku tak mau mengganggu aktivitasmu, Max. Kupikir, biar kamu saja yang aktif menghubungiku, karena kamu yang paling tahu kapan sedang ada waktu luang untuk kita berbicara,” jawab Mia sambil tersenyum cantik, matanya berbinar penuh cinta.Max tersenyum dan mengangguk-angguk. “Iya, aku sedang luang sekarang. Sebentar lagi mau turun sarapan. Eh, kamu makan apa itu? Kamu sedang di mobil? Mau ke mana
Selesai menutup video call dengan Mia dan Rival, Max segera mencuci wajahnya, menghapus jejak tangis yang sedikit terlihat sebelum ia keluar dari kamarnya dan menuju restoran hotel, bergabung dengan teman-temannya untuk sarapan bersama. Hatinya merasa tenang dan bahagia. Senyumnya belum juga pudar saat ia mendekati meja tempat rekan-rekan timnasnya berkumpul. Semangat bertanding mulai menyala-nyala di dalam dadanya, rasanya ia tak sabar ingin segera melunasi janji golnya untuk Rival."Hei, Max! Ada apa ini? Kok kamu senyum-senyum terus?" sapa Argo, sambil mengangkat cangkir kopinya. Max tertawa kecil, mengambil tempat duduk di antara Diego dan Ravi. "Iya, baru saja video call dengan pacarku," jawabnya sambil mengulum senyum. “Dan juga dengan anakku,” lanjutnya dalam hati. Mia dan Rival, memang alasan dia tak bisa berhenti tersenyum sejak tadi.Ucapan Max itu segera menarik perhatian teman-temannya. Semua pemain yang mendengar terlihat terkejut, mereka saling menoleh dengan ekspresi
“Max, tidak ada kesepakatan yang kubuat dengan siapapun tanpa persetujuanmu.” Brama menyangkal tuduhan Max. Melihat tatapan Max yang masih penuh keraguan, dia menambahkan, “Tapi kali ini aku punya pertimbangan sendiri, Max.”Brama menarik Max sedikit menjauh dari keramaian, memastikan tak ada telinga yang mencuri dengar. Wajahnya serius, penuh desakan. “Dessy juga sedang diterpa rumor tak sedap. Ada kabar yang mengatakan dia penyuka sesama jenis. Untuk mengatasi ini, dia harus menunjukkan pada publik bahwa dia punya kekasih pria.”Max mengernyit, matanya menyala dengan kemarahan yang tertahan. “Dan kau ingin aku yang menjadi kekasihnya? Kau gila, heh?” sambar Max dengan nada tajam.“Max, itu cuma rumor. Dessy bukan wanita seperti itu, tapi ada video yang beredar, memojokkan dirinya. Itu ulah haters yang ingin menghancurkan kariernya.” Brama menghela napas berat, menatap Max dengan intensitas yang semakin mendesak. “Dessy mengalami nasib yang sama denganmu, Max. Kalian berdua sedang di
"Kalau aku memintamu menjaga jarak dengan Max, apakah kamu bisa, Mia? Tolonglah. Ini hanya untuk sementara, sampai kita memastikan bahwa skandal itu betul-betul telah berhasil ditenggelamkan oleh berita pertunangan Max dan Dessy." Brama berbicara dengan nada tegas, mencoba meyakinkan Mia bahwa ini adalah satu-satunya jalan.Mia berdiri di tangga darurat, punggungnya bersandar pada dinding beton yang dingin. Ruangan itu sepi, hanya suara gemerisik angin yang terdengar dari celah kecil di sudut ruangan. Lampu neon di atasnya berpendar redup, menciptakan bayangan panjang di lantai yang kasar.“Pertunangan?” Suara Mia pelan, penuh kebingungan. Hatinya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Iya, tapi... tidak sungguhan. Max akan melamar Dessy selesai pertandingan nanti malam, masih di dalam stadion GBK, disaksikan oleh ribuan suporter.” Brama kemudian menjelaskan tentang rencana skenarionya. “Di akhir pertandingan nanti, Max akan melamar Dessy yang be
Nathan berdiri di ambang pintu ruang ICU, tubuhnya dilapisi pakaian steril yang terasa kaku di kulitnya. Matanya memandang tak berdaya pada sosok Alyra yang terbaring di ranjang, tubuhnya dipenuhi dengan berbagai selang dan alat medis. Suara mesin yang monoton menjadi latar belakang yang menyakitkan, mengingatkan Nathan bahwa waktu mereka bersama semakin menipis. Setiap detik berlalu seperti pukulan di dadanya, membentuk ritme yang tak bisa dia hentikan. Cahaya lampu ICU yang dingin dan steril memantulkan bayangan suram di wajah Nathan, menambah suasana kesedihan yang menggantung di ruangan itu.Dinding putih yang tak bernyawa seolah menutup dunia di luar, membuat Nathan merasa terperangkap dalam kenyataan yang tak bisa dia hindari. Bau antiseptik tajam menusuk hidungnya, menciptakan campuran rasa mual dan putus asa. Dalam kebisuan itu, Nathan bisa mendengar setiap napas Alyra, terengah-engah, seolah berjuang melawan takdir yang sudah digariskan untuknya.Nathan tahu—tidak ada yang