Aku Nayla Putri, pacar dari Arga Pratama yaitu Ketua OSIS yang sangat populer di sekolah. Hidupku penuh lika-liku sejak berpacaran dengannya. Arga sangat disukai banyak siswi di sekolah, dan itu sering membuatku merasa dikucilkan. Aku menyayangi Arga bukan karena dia Ketua OSIS, tapi karena sosoknya yang memang aku sukai. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa kuhindari. Aku tidak mampu melakukannya, tapi juga tidak bisa menolaknya. Apa yang harus aku lakukan?
Lihat lebih banyakHari itu sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.
SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang. Tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan. Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti. Tapi hari ini, tanpa aku sadari semua kehidupanku akan berubah. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa. Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa. Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat. "Nayla dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang paling bersemangat setiap kali berbicara tentang cowok. Aku hanya menoleh dan tersenyum tipis. Arga? Siapa yang tidak kenal dengan Arga Pratama? Ketua OSIS yang terkenal kharismatik, tampan, dan tentu saja pintar. Dia selalu jadi topik hangat di sekolah. Meski tidak pernah berinteraksi langsung dengannya, aku tahu betapa kagumnya banyak siswi pada sosoknya. Termasuk Maya tentunya. "Tapi serius, Nay. Kamu enggak tertarik gitu?" lanjut Maya, tapi kali ini menatapku dengan serius. Aku tertawa kecil dan menggeleng. "Aku? Tertarik sama Arga? Hahaha, enggak mungkin, May. Lagian dia bahkan enggak tahu kalau aku ada di sekolah ini." Maya mengerutkan kening. "Jangan pesimis gitu dong. Kamu juga cantik kok Nay. Lagian, siapa tahu nasib baik lagi berpihak sama kamu." Aku hanya mengangkat bahu. Nasib baik? Itu mungkin tidak berlaku untukku. Tapi ya, tidak ada salahnya bermimpi sedikit, kan? Pagi itu berlanjut dengan biasa saja, sampai bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama dimulai, dan aku kembali tenggelam dalam buku catatanku, aku mencatat setiap hal yang diterangkan oleh guru di depan kelas. Jam-jam pelajaran berlalu tanpa ada kejadian yang istimewa, sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Ketika aku sedang asyik membuka kotak makan siangku di kantin bersama Maya, tiba-tiba ada seorang siswa laki-laki yang menghampiriku. Aku tidak mengenalnya, tapi seragamnya menunjukkan dia adalah salah satu pengurus OSIS. "Nayla Putri?" tanyanya tegas. Aku mengangkat kepala, sedikit bingung. "Iya, aku Nayla." "Kamu diminta untuk datang ke ruang OSIS sekarang. Ada yang ingin berbicara denganmu," katanya lagi tanpa banyak penjelasan. Jantungku berdegup kencang. Ruang OSIS? Siapa yang ingin bertemu denganku di sana? Aku melirik Maya yang tampak sama terkejutnya denganku. "Siapa? Kenapa?" tanyaku pelan, merasa tak ada alasan bagiku dipanggil ke tempat itu. "Saya hanya diminta untuk menyampaikan pesan. Kamu bisa langsung ke sana sekarang." Dengan perasaan campur aduk, aku berdiri dari tempat dudukku. Maya tersenyum penuh harap. "Wah, jangan-jangan ini pertanda bagus, Nay. Mungkin kamu akan masuk OSIS!" Aku menatapnya skeptis. Aku? Masuk OSIS? Rasanya terlalu mengada-ada. Namun, karena tak ada pilihan lain, aku pun mengikuti arahan siswa itu menuju ruang OSIS. Ruang OSIS terletak di ujung gedung sekolah, sedikit terpisah dari kelas-kelas lainnya. Selama ini, aku tidak pernah punya alasan untuk masuk ke sana. Setiap kali melintasinya aku hanya melihat dari luar, tempat itu selalu terlihat sibuk dan penuh dengan orang-orang yang berwibawa. Ya seperti Arga. Ketika aku tiba di depan pintu, napasku sedikit tertahan. Aku tidak tahu apa yang menantiku di balik pintu itu, tapi aku merasa jantungku semakin cepat berdetak. Aku mengetuk pintu pelan. "Permisi…" Pintu terbuka, di baliknya berdiri seorang siswa yang tak lain adalah Arga Pratama. Dia berdiri dengan postur tegap mengenakan seragam OSIS yang rapi. Matanya yang tajam menatapku sebentar, lalu dia tersenyum tipis. Senyum yang membuatnya terlihat lebih ramah daripada rumor yang kudengar. "Nayla Putri kan?" tanyanya, suaranya terdengar tenang dan serius. Aku mengangguk, mencoba menahan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Iya, aku Nayla. Kamu… Arga kan?" Dia tertawa kecil dan mengangguk. "Betul. Masuk silakan duduk. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu." Tanpa banyak berpikir lagi, aku melangkah masuk ke ruangan itu. Di dalam, ada beberapa siswa OSIS lainnya yang sedang sibuk dengan tugas mereka. Ruangan itu dipenuhi poster kegiatan sekolah dan jadwal rapat. Arga menunjuk kursi di depan mejanya, dan aku pun duduk dengan perasaan tak menentu. "Kami sedang melakukan beberapa perombakan dalam kepengurusan OSIS," kata Arga membuka pembicaraan. "Dan setelah mempertimbangkan beberapa nama, kami ingin menawarkan posisi sekretaris OSIS kepadamu." Jantungku hampir berhenti mendengar kata-katanya. Sekretaris OSIS? Aku bahkan tak pernah terlibat dalam organisasi apapun di sekolah. Mengapa mereka memilihku? "Tapi… kenapa aku?" tanyaku bingung. "Aku bahkan tidak pernah ikut kegiatan OSIS sebelumnya." Arga tersenyum, kali ini sedikit lebih lebar. "Itu salah satu alasan kenapa kami memilihmu. Kami butuh seseorang yang bisa membawa perspektif baru. Dari catatan prestasi akademismu dan rekomendasi beberapa guru, kami yakin kamu adalah pilihan yang tepat." Aku menatapnya masih tidak percaya. "Aku tidak tahu… Aku tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan OSIS." "Kami tidak butuh jawaban sekarang," kata Arga dengan nada tenang. "Pikirkan saja dulu. Tapi kami percaya, kamu punya potensi besar, Nayla." Aku duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Arga, ketua OSIS yang terkenal itu baru saja memintaku bergabung menjadi sekretarisnya? Ini pasti mimpi kan? Setelah beberapa saat, Arga melanjutkan bicaranya. "Kami ingin mendengar jawabanmu dalam dua hari. Tapi tolong, pertimbangkan ini baik-baik." Aku mengangguk pelan. Dua hari? Sepertinya itu terlalu cepat untuk mengambil keputusan sebesar ini. Tapi di sisi lain, tawaran ini mungkin adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali. Setelah pembicaraan singkat itu, aku pamit dan meninggalkan ruang OSIS dengan kepala penuh pertanyaan. Saat berjalan kembali ke kelas, Maya sudah menungguku dengan ekspresi penasaran. "Jadi, apa yang terjadi?" tanyanya antusias. Aku menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Mereka… mereka menawariku posisi sekretaris OSIS." Maya terkejut, lalu senyumnya merekah lebar. "Kamu bercanda kan? Itu luar biasa Nay!" "Tapi aku enggak tahu, May. Aku enggak pernah terlibat di OSIS. Kenapa mereka memilih aku?" Maya memegang bahuku erat. "Karena mereka melihat potensi kamu, Nay. Kamu harus terima ini! Ini kesempatan besar!" Aku terdiam memikirkan kata-kata Maya. Benarkah aku punya potensi yang mereka lihat? Atau mungkin ini hanya kesalahan? Namun satu hal yang pasti, sejak pertemuan dengan Arga, hidupku di sekolah tak akan pernah sama lagi.Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen