Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS. Tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap harinya yaitu perhatian Arga.
Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa buatku. Pagi ini saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan senyuman hangat dan lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia mengeluarkan sebotol air minum berdesain sederhana namun cantik dengan warna biru muda. “Ini buat aku?” tanyaku yang masih setengah tidak percaya. Arga mengangguk. “Iya, kamu kan sering lupa bawa minum waktu kegiatan OSIS. Aku pikir ini bakal berguna buat kamu.” Aku menatap botol itu dengan takjub. Itu bukan barang mewah, tapi perhatian kecil seperti ini dapat menyentuh hatiku. Jarang ada orang yang memperhatikan hal-hal sederhana seperti kebiasaanku yang sering lupa membawa air minum. “Wah, makasih Arga. Kamu perhatian banget,” ucapku sambil menerima botol itu. Tatapannya lembut, membuatku semakin merasa istimewa. “Sama-sama. Jangan lupa dipakai ya. Kamu nggak boleh sering-sering lupa minum.” Seketika jantungku berdegup lebih kencang. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia mengatakannya, bukan sekadar perhatian biasa tetapi lebih dalam dan lebih tulus. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan kepeduliannya. Tetapi hari ini, perhatiannya terasa berbeda. Dia benar-benar peduli pada hal-hal kecil tentangku, dan entah kenapa itu yang membuatku merasa semakin dekat dengannya. “Pasti, aku janji akan pakai,” jawabku sambil tersenyum. Setelah itu, kami berjalan bersama menuju kelas. Di sepanjang perjalanan, Arga terus mengajakku bicara tentang berbagai hal, dari rencana kegiatan OSIS hingga hal-hal kecil lainnya. Aku menyadari betapa menyenangkannya berbicara dengannya. Arga bukan hanya cerdas dan bertanggung jawab, tetapi dia juga tahu bagaimana membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya. --- Jam istirahat, aku dan Maya duduk di kantin seperti biasa. Aku bercerita tentang botol minum yang Arga berikan, dan tentu saja membuat Maya bereaksi dengan sangat antusias. “Serius Nay? Arga kasih kamu botol minum? Ya ampun, ini tuh jelas banget! Dia pasti suka sama kamu!” seru Maya yang hampir saja menjatuhkan makanannya karena terlalu bersemangat. Aku menundukkan kepala, tersenyum malu. “Maya, jangan berlebihan. Mungkin dia cuma perhatian aja. Lagipula, Arga memang baik ke semua orang.” Maya menggeleng kuat. “Nggak Nay! Kamu harus lihat cara dia ngelihat kamu. Itu memang beda. Aku perhatiin banget kalau dia ngobrol sama kamu, tatapan matanya... ya, beda aja!” Aku hanya bisa tersenyum mendengar ocehannya. Meski dalam hati, aku tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berubah antara aku dan Arga. Perhatiannya semakin intens dan itu mulai mengusik perasaanku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mungkin benar dia punya perasaan lebih dari sekadar teman atau ketua OSIS? --- Sepulang sekolah, aku kembali ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Saat sedang asyik mengetik di laptop, pintu ruangan terbuka dan Arga masuk. Dia tampak lelah, tetapi senyumannya tetap hadir di wajahnya seolah tidak pernah pergi. “Kamu belum pulang?” tanyanya sambil mendekat. Aku menggeleng sambil memandang layar laptop. “Belum. Masih ada beberapa laporan yang harus diselesaikan.” Dia duduk di kursi di sampingku, memperhatikanku dengan seksama. “Kamu kerja keras banget akhir-akhir ini. Jangan sampai kecapekan ya.” Aku tertawa kecil. “Kamu juga kerja keras Arga. Aku cuma mencoba mengikuti ritme kamu.” Arga tersenyum, tetapi kali ini senyumnya berbeda. “Kamu nggak perlu ngikutin aku. Aku cuma ingin kamu jadi diri kamu sendiri. Aku suka cara kamu bekerja.” Kata-katanya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat hatiku bergetar. Ini lebih dari sekadar pujian. Arga menatapku dengan cara yang membuatku merasa... istimewa. “Terima kasih,” ucapku pelan, tidak tahu harus merespons apa. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya duduk di sampingku dan membiarkan keheningan yang nyaman mengisi ruang di antara kami. Namun, keheningan itu justru terasa semakin membuatku sadar akan perasaan yang perlahan-lahan tumbuh di hatiku. Arga dengan segala perhatiannya, membuatku merasa dilihat bukan sebagai sekadar sekretaris OSIS tetapi sebagai seorang Nayla. Aku mencoba fokus kembali pada laptopku, tetapi tatapan Arga yang begitu lembut membuatku sulit berkonsentrasi. Akhirnya, dia berdiri dan meraih tasnya. “Aku harus pergi dulu, ada urusan di luar,” katanya. “Nayla kalau kamu butuh apa pun, tolong jangan ragu buat hubungi aku ya.” Aku mengangguk, mencoba menahan senyum yang sudah terlalu lebar di wajahku. “Pasti. Hati-hati di jalan Arga.” Dia tersenyum sekali lagi, lalu melangkah keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, aku merasa jantungku berdegup kencang. Apa yang baru saja terjadi? Arga benar-benar membuatku bingung dengan semua perhatiannya akhir-akhir ini. --- Malamnya, saat aku sedang mempersiapkan diri untuk tidur, pikiranku kembali melayang pada semua yang terjadi hari ini. Botol minum itu, perhatian Arga dan cara dia memandangku. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi semua itu tak bisa lepas dari pikiranku. Aku memandangi botol biru yang dia berikan tadi pagi yang sekarang sudah terisi di meja belajarku. Sebuah hadiah sederhana tetapi penuh arti. Kenapa hal ini begitu membekas di pikiranku? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa? Perasaanku semakin kacau. Aku tahu aku harus fokus pada tugasku di OSIS, tetapi semakin lama aku merasa sulit untuk tidak memikirkan Arga. Dia selalu ada di pikiranku, dan itu mulai mengganggu ketenanganku. Dengan perlahan, aku berbaring di tempat tidur mencoba menenangkan pikiran. Tapi sebelum aku benar-benar terlelap, ponselku bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari Arga. Arga: “Selamat malam Nayla. Jangan lupa istirahat ya. Jangan kerja terlalu keras.” Aku menatap pesan itu dan senyum lebar kembali menghiasi wajahku. Di saat seperti ini, perhatian kecil dari Arga benar-benar membuat perasaanku campur aduk. Aku mengetik balasan singkat. Nayla: “Terima kasih Arga. Selamat malam juga.” Malam itu, aku tertidur dengan pikiran penuh tentang Arga dan perhatiannya yang semakin membuatku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi antara kami?Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta
Setelah percakapan sore itu di taman, suasana antara aku dan Arga terasa berbeda. Meski kami belum resmi menjadi sepasang kekasih, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Ada ketegangan manis di antara kami, ketegangan yang selalu muncul setiap kali kami saling bertatapan atau berbicara.Meski perasaan kami sudah jelas, ada sesuatu yang menahan kami untuk melangkah lebih jauh, entah itu keraguan atau ketakutan akan perubahan yang mungkin terjadi.Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin membuatku tidak tenang. Di satu sisi, aku bahagia karena tahu Arga juga merasakan hal yang sama denganku.Tapi di sisi lain, aku merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang, menunggu saat yang tepat untuk melompat. Dan entah kenapa, meski aku ingin melompat, aku juga takut akan apa yang terjadi setelahnya.Pagi itu, saat aku tiba di sekolah, aku melihat Arga sedang berdiri di depan gerbang. Dia tampak menungguku. Jantungku berdebar kencang saat aku berjalan mendekatinya.“Nayla,” sapanya lembut saat ak
Angin sore yang sejuk menyapu wajahku ketika aku dan Arga duduk di bangku taman sekolah yang tersembunyi itu.Tempat yang dia bilang sebagai "tempat favoritnya" kini menjadi lokasi di mana perasaanku semakin tidak terkendali.Setelah Arga mulai menyatakan perasaannya padaku sebelumnya, perasaan antara kami seolah semakin nyata. Meskipun statusnya belum terikat dalam sebuah hubungan yang resmi.Namun, di tengah percakapan kami yang santai, takdir sepertinya ingin bermain sedikit dengan suasana.Ketika kami sedang berbicara dengan lebih intim, seseorang tiba-tiba muncul. Dina sebagai wakil ketua OSIS yang juga teman dekatnya Arga mendadak berada di hadapan kami."Arga? Nayla?" Suara Dina terdengar mengejutkan, sehingga menciptakan suasana tiba-tiba menjadi kaku.Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas saat melihat kami berdua duduk bersama di tempat tersembunyi ini.Aku bisa merasakan aliran darahku mengalir cepat. Aku segera menegakkan tubuhku berusaha terlihat biasa, meskipun hat
Pagi itu, udara dingin menyelimuti sekolah. Aku merasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.Mungkin perasaan cemas dari semalam masih membekas di benakku. Pertemuan dengan Dina yang terasa begitu janggal terus terbayang-bayang, seolah membuat langkahku menuju ke sekolah terasa lebih berat.Begitu tiba di depan pintu ruang OSIS, aku melihat Dina sedang berdiri di sana untuk menungguku. Sejenak, aku merasa ragu untuk melangkah lebih dekat. Namun, aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini.“Nayla,” panggil Dina dengan nada yang lebih serius dari biasanya begitu aku semakin mendekat.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang.“Iya, Dina? Ada apa?”Dina menarik napas dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang besar.“Kita perlu bicara. Sekarang!”Aku bisa merasakan udara di sekitar kami mendadak berubah, seolah-olah tekanan aneh mulai mengelilingi kami.Dina bukan orang yang suka berbasa-basi dan cara bicaranya membuatku semakin cemas. T
Senja mulai turun melukiskan langit dengan warna jingga yang memudar. Aku duduk di bangku taman sekolah, tempat di mana aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama.Suara desiran angin dan daun-daun yang berguguran memberikan ketenangan, namun hari ini rasanya ada sesuatu yang berbeda. Hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya.Arga duduk di sebelahku, pandangannya tertuju pada hamparan pepohonan yang mengelilingi taman.Kami hanya berdua di sini, dalam keheningan yang entah mengapa terasa nyaman. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.“Nayla,” Arga memanggil namaku dengan nada lembut namun tegas.Aku menoleh, mataku bertemu dengan matanya yang berkilau di bawah cahaya senja. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda dari biasanya yaitu sesuatu yang lebih dalam.“Ada yang mau aku omongin,” lanjutnya. Suaranya sedikit bergetar, seperti sedang menyembunyikan perasaan yang selama ini dia pendam.Jantungku mulai berdegup kencang. Apa ini momen yang selama ini aku tunggu? Aku
Hari itu, ruangan OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, selalu ada suara canda tawa atau obrolan ringan yang membuat suasana jadi hangat.Tapi hari ini, rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami semua.Aku duduk di kursiku, memandang ke arah Dina yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.Arga ada di dekat pintu, memeriksa beberapa agenda acara yang akan kami adakan minggu depan.Meski kami berada di ruangan yang sama, rasanya ada jarak yang begitu lebar di antara kami, khususnya antara Dina, Arga, dan aku.Sejak kejadian di taman sekolah kemarin, Dina tidak lagi berbicara pada kami.Tatapannya dingin setiap kali bertemu denganku, dan aku bisa merasakan bahwa dia berusaha sebisa mungkin mengabaikan keberadaanku. Suasana ini membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin suasana OSIS jadi seperti ini, tapi aku juga tahu bahwa ini tidak bisa dihindari."Sudah selesai semua agendanya?" suara Arga memecah keheningan.Dia menoleh ke arah Dina, berharap mendapat resp
Sekolah sudah hampir selesai dan aku merasa lega karena akhirnya bisa pulang setelah melewati hari yang panjang. Pikiranku masih dipenuhi dengan kejadian di ruang OSIS tadi, tentang bagaimana Dina keluar dengan penuh amarah, dan bagaimana Arga terlihat begitu bingung menghadapi situasi itu. Meskipun aku tahu semuanya tidak akan selesai begitu saja, aku berusaha menenangkan diri.Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku memutuskan untuk melewati jalan pintas di samping gedung kelas yang biasanya sepi. Aku ingin cepat sampai di halte sebelum hujan turun, karena langit sudah tampak semakin gelap. Namun, langkahku terhenti ketika samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Itu suara Arga. Jantungku berdegup lebih kencang secara tiba-tiba.Tanpa sadar, aku melangkah lebih pelan mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ketika aku mendekati sudut gedung, aku menyadari bahwa Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka berdiri di dekat pohon besar, sedikit tersembunyi da
Setiba di rumah, aku langsung melempar tas ke sofa dan menuju kamar tanpa berkata apa-apa. Semua kejadian hari ini terlalu membebani pikiranku dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Bagaimana bisa, Arga yang selama ini kupercayai berbicara seperti itu kepada Dina? Janji yang ia buat terdengar seperti janji kepada seseorang yang lebih dari sekedar teman.Aku terduduk di pinggir tempat tidur, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tetapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu menyeruak memenuhi dadaku dengan rasa sakit yang tak bisa kubendung lagi. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Rasa sakit itu terlalu besar, seolah-olah hatiku baru saja dihancurkan oleh seseorang yang paling kupercaya.Arga... Kenapa kamu harus membuat janji seperti itu pada Dina? Bukankah kamu sudah memilihku? Bukankah kamu bilang kamu suka padaku?Aku tidak tahu harus berpikir apa. Apakah aku terlalu cepat percaya pada Arga? Apakah semua yang kami lalui h
Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku