Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS, tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap hari yaitu perhatian Arga.
Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa, lebih penuh makna. Pagi ini, saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan semangat, senyum hangat itu lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit, bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia mengeluarkan sebotol air minum berdesain sederhana namun cantik berwarna biru muda. “Ini buat aku?” tanyaku, masih setengah tidak percaya. Arga mengangguk. “Iya, kamu kan sering lupa bawa minum waktu kegiatan OSIS. Aku pikir ini bakal berguna buat kamu.” Aku menatap botol itu dengan takjub. Itu bukan barang mewah, tapi perhatian kecil seperti ini menyentuh hatiku. Jarang ada orang yang memperhatikan hal-hal sederhana seperti kebiasaanku yang sering lupa membawa air minum. “Wah, makasih Arga. Kamu perhatian banget,” ucapku sambil menerima botol itu. Tatapannya lembut, membuatku semakin merasa istimewa. “Sama-sama. Jangan lupa dipakai ya. Kamu nggak boleh sering-sering lupa minum.” Seketika jantungku berdegup lebih kencang. Ada sesuatu dalam cara dia mengatakannya, bukan sekadar perhatian biasa, tetapi lebih dalam, lebih tulus. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan kepeduliannya, tetapi hari ini, perhatiannya terasa berbeda. Dia benar-benar peduli pada hal-hal kecil tentangku, dan entah kenapa, itu membuatku merasa semakin dekat dengannya. “Pasti, aku janji akan pakai,” jawabku sambil tersenyum. Setelah itu, kami berjalan bersama menuju kelas. Sepanjang perjalanan, Arga terus mengajakku bicara tentang berbagai hal, dari rencana kegiatan OSIS hingga hal-hal kecil lainnya. Aku menyadari betapa menyenangkannya berbicara dengannya. Arga bukan hanya cerdas dan bertanggung jawab, tetapi dia juga tahu bagaimana membuat orang lain merasa nyaman di sekitarnya. --- Jam istirahat, aku dan Maya duduk di kantin seperti biasa. Aku bercerita tentang botol minum yang Arga berikan, dan tentu saja Maya bereaksi dengan sangat antusias. “Serius Nay? Arga kasih kamu botol minum? Ya ampun, ini tuh jelas banget! Dia pasti suka sama kamu!” seru Maya, hampir saja menjatuhkan makanannya karena terlalu bersemangat. Aku menundukkan kepala, tersenyum malu. “Maya, jangan berlebihan. Mungkin dia cuma perhatian aja. Lagipula, Arga memang baik ke semua orang.” Maya menggeleng kuat. “Nggak, Nay! Kamu harus lihat cara dia ngelihat kamu. Itu beda. Aku perhatiin banget kalau dia ngobrol sama kamu, tatapan matanya... ya, beda aja!” Aku hanya bisa tersenyum mendengar ocehannya. Meski dalam hati, aku tak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang berubah antara aku dan Arga. Perhatiannya semakin intens, dan itu mulai mengusik perasaanku. Aku mulai bertanya-tanya, apakah mungkin benar dia punya perasaan lebih dari sekadar teman atau ketua OSIS? --- Sepulang sekolah, aku kembali ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Saat sedang asyik mengetik di laptop, pintu ruangan terbuka dan Arga masuk. Dia tampak lelah, tetapi senyumannya tetap hadir di wajahnya seolah tidak pernah pergi. “Kamu belum pulang?” tanyanya sambil mendekat. Aku menggeleng sambil memandang layar laptop. “Belum. Masih ada beberapa laporan yang harus diselesaikan.” Dia duduk di kursi di sampingku, memperhatikanku dengan seksama. “Kamu kerja keras banget akhir-akhir ini. Jangan sampai kecapekan ya.” Aku tertawa kecil. “Kamu juga kerja keras Arga. Aku cuma mencoba mengikuti ritme kamu.” Arga tersenyum, tetapi kali ini senyumnya berbeda, jauh lebih hangat. “Kamu nggak perlu ngikutin aku. Aku cuma ingin kamu jadi diri kamu sendiri. Aku suka cara kamu bekerja.” Kata-katanya membuat jantungku berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat hatiku bergetar. Ini lebih dari sekadar pujian. Arga menatapku dengan cara yang membuatku merasa... istimewa. “Terima kasih,” ucapku pelan, tidak tahu harus merespons apa. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya duduk di sampingku, membiarkan keheningan yang nyaman mengisi ruang di antara kami. Namun, keheningan itu justru terasa semakin membuatku sadar akan perasaan yang perlahan-lahan tumbuh di hatiku. Arga, dengan segala perhatiannya, membuatku merasa dilihat bukan sebagai sekadar sekretaris OSIS, tetapi sebagai seorang Nayla. Aku mencoba fokus kembali pada laptopku, tetapi tatapan Arga yang begitu lembut membuatku sulit berkonsentrasi. Akhirnya, dia berdiri dan meraih tasnya. “Aku harus pergi dulu, ada urusan di luar,” katanya. “Nayla, kalau kamu butuh apa pun, tolong jangan ragu buat hubungi aku, ya.” Aku mengangguk, mencoba menahan senyum yang sudah terlalu lebar di wajahku. “Pasti. Hati-hati di jalan Arga.” Dia tersenyum sekali lagi, lalu melangkah keluar dari ruangan. Setelah pintu tertutup, aku merasa jantungku berdegup kencang. Apa yang baru saja terjadi? Arga benar-benar membuatku bingung dengan semua perhatiannya akhir-akhir ini. --- Malamnya, saat aku sedang mempersiapkan diri untuk tidur, pikiranku kembali melayang pada semua yang terjadi hari ini. Botol minum itu, perhatian Arga, cara dia memandangku. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi semua itu tak bisa lepas dari pikiranku. Aku memandangi botol biru yang dia berikan tadi pagi yang sekarang sudah terisi di meja belajarku. Sebuah hadiah sederhana, tetapi penuh arti. Kenapa hal ini begitu membekas di pikiranku? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa? Perasaanku semakin kacau. Aku tahu aku harus fokus pada tugasku di OSIS, tetapi semakin lama aku merasa sulit untuk tidak memikirkan Arga. Dia selalu ada di pikiranku, dan itu mulai mengganggu ketenanganku. Dengan perlahan, aku berbaring di tempat tidur, mencoba menenangkan pikiran. Tapi sebelum aku benar-benar terlelap, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk. Arga: “Selamat malam Nayla. Jangan lupa istirahat ya. Jangan kerja terlalu keras.” Aku menatap pesan itu dan senyum lebar kembali menghiasi wajahku. Di saat seperti ini, perhatian kecil dari Arga benar-benar membuat perasaanku campur aduk. Aku mengetik balasan singkat. Nayla: “Terima kasih Arga. Selamat malam juga.” Malam itu, aku tertidur dengan pikiran penuh tentang Arga dan perhatiannya yang semakin membuatku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi antara kami?Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta
Hari itu, sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang, tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan.Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti.Tapi hari ini, tanpa aku sadari, semuanya akan berubah.Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa.Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa.Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat."Nayla, dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang pali
Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan. Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak. Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya, yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku. Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki. Pagi itu, aku duduk di tepi tempat tidurku, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya. Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!” Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri. Ketika sampai di sekolah, suasana tampak seperti biasa, keramaian siswa di lorong, tawa, dan obrolan yang riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku. Setiap
Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Catatan rapat, tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan.Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang.Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban."Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri.Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih.Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri.Namun, kenyataan lebih sulit dari sek
Pagi itu, seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama, hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS daripada buku pelajaran.Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan, ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar.Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku.Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku?“Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku.Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak le