Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku.
Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku tahu kamu sering lupa makan kalau lagi sibuk, jadi ini buat kamu. Jangan sampai sakit gara-gara kerja terlalu keras.” Aku menatap kotak itu, sedikit terkejut. “Arga, kamu nggak perlu repot-repot” “Bukan repot,” potongnya dengan cepat, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Aku cuma nggak mau lihat kamu jatuh sakit. Lagipula makanan ini nggak terlalu banyak, jadi jangan khawatir.” Mau tidak mau, aku tersenyum juga. “Makasih Arga. Kamu terlalu baik.” “Bukan soal baik atau nggak Nayla,” katanya sambil menarik kursi di seberangku dan duduk. “Aku cuma... ya, aku peduli sama kamu.” Jantungku tiba-tiba berdetak lebih cepat. Kata-katanya meski sederhana, mengandung makna yang dalam. Aku menatapnya sejenak dan aku bisa melihat ketulusan dalam matanya. Ini bukan sekadar perhatian biasa. Ada sesuatu yang lebih di balik tatapannya, sesuatu yang mungkin dia sendiri belum berani ungkapkan sepenuhnya. “Aku tahu kamu peduli,” kataku akhirnya, berusaha menyembunyikan kegugupanku. “Tapi aku nggak mau merepotkan kamu.” “Kalau soal kamu Nayla, aku nggak pernah merasa repot.” Jawabannya begitu spontan begitu tulus, hingga membuatku terdiam. Tatapan kami bertemu sejenak, dan di detik itu aku tahu perasaanku terhadap Arga semakin dalam. Mungkin awalnya aku ragu, tapi sekarang, perhatian-perhatian kecilnya yang konsisten membuatku tak bisa mengelak lagi. Aku mulai menyukainya. Kami duduk dalam keheningan, namun keheningan itu bukan sesuatu yang canggung. Sebaliknya, ada kenyamanan di sana. Aku merasakan kehangatan yang berbeda, seolah-olah meski kami tidak saling berbicara, kami tetap saling memahami. Setelah beberapa saat, Arga berdiri. “Aku harus ke kelas dulu. Jangan lupa makan ya. Aku nggak mau lihat kamu pingsan di ruang OSIS.” Aku tertawa kecil. “Iya, iya. Terima kasih lagi Arga.” Dia hanya tersenyum sebelum berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Saat pintu tertutup, aku menyandarkan tubuhku di kursi dan menghela napas panjang. Ada perasaan hangat yang menjalar di hatiku, tapi juga sedikit kebingungan. Bagaimana aku bisa sedekat ini dengan Arga? Dan yang lebih penting, apa arti semua ini baginya? --- Waktu terus berjalan, dan hubungan kami semakin hari semakin dekat. Tak hanya di OSIS, tetapi di setiap kesempatan yang ada, Arga selalu memastikan aku baik-baik saja. Bahkan, saat kami berada di kantin bersama teman-teman, dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk menanyakan apa aku sudah makan atau menawarkan tumpangan pulang. Perhatiannya semakin jelas, tetapi aku masih belum berani memastikan apakah ini hanya sikapnya sebagai ketua OSIS yang peduli pada anggotanya atau ada perasaan lebih yang dia sembunyikan. Setiap kali aku mencoba mencari tahu melalui sikap atau ucapannya, Arga selalu berhasil membuatku terjebak dalam keraguan. Suatu sore, ketika kegiatan OSIS sudah selesai, Arga tiba-tiba mendekatiku saat aku sedang membereskan meja di ruang OSIS. “Nayla, kamu ada waktu sebentar?” tanyanya pelan. Aku menatapnya sedikit bingung. “Ada, kenapa?” Dia tersenyum tipis kemudian berkata. “Aku mau ngajak kamu jalan sebentar. Cuma ke taman sekolah, nggak jauh kok. Ada yang mau aku omongin.” Ajakan itu membuat jantungku berdebar kencang. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang terasa berbeda, namun kali ini lebih serius, lebih... dalam. Aku hanya bisa mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi kami keluar dari ruang OSIS dan berjalan menuju taman sekolah. Sore itu, matahari mulai terbenam menciptakan suasana yang hangat namun teduh. Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat daun-daun di pepohonan bergoyang lembut. Kami berjalan berdampingan, tetapi tak satu pun dari kami memulai percakapan. Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang ingin Arga katakan, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya. Setelah beberapa saat, kami tiba di taman dan duduk di bangku yang biasanya kami datangi jika butuh istirahat sejenak. Suasana di sekitarnya begitu damai, hanya terdengar suara burung-burung yang berkicau. “Nayla,” akhirnya Arga memecah keheningan. Suaranya tenang, tapi ada getaran emosi di sana. Aku menoleh, melihatnya menatap lurus ke depan. Wajahnya serius tapi juga lembut. “Iya?” Dia menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara lagi. “Akhir-akhir ini, aku merasa... ada sesuatu yang berubah di antara kita.” Perkataannya langsung membuatku terdiam. Jantungku berdegup lebih cepat. Ini dia. Ini momen yang selama ini kutunggu, tetapi juga aku takuti. “Aku nggak tahu gimana cara ngungkapinnya,” lanjutnya sambil memandangku. “Tapi aku rasa, kita bukan cuma sekadar ketua dan sekretaris OSIS lagi.” Aku menelan ludah, mencoba memahami kata-katanya. “Maksud kamu?” Arga tersenyum kecil, namun senyuman itu dipenuhi dengan keraguan. “Aku merasa... aku mulai suka sama kamu Nayla. Dan perasaan ini semakin jelas setiap kali kita bertemu.” Kata-kata itu membuat dunia seolah berhenti berputar. Perasaan yang selama ini coba kuabaikan tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Semua perhatian yang Arga berikan, senyuman, dan tatapannya, semua kini terasa begitu jelas. Dia memang menyukaiku, seperti aku mulai menyukainya. Aku terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Sebuah perasaan bahagia mulai merayap di hatiku, tapi juga disertai dengan rasa gugup yang luar biasa. “Arga...” bisikku pelan, berusaha mengendalikan emosi yang meluap-luap di dalam dadaku. “Aku... aku juga merasakan hal yang sama.” Arga menatapku, matanya penuh harap. “Kamu serius?” Aku mengangguk perlahan, merasa pipiku mulai memerah. “Iya. Selama ini aku juga bingung dengan perasaanku, tapi... aku nggak bisa menyangkal lagi. Aku suka sama kamu Arga.” Senyum di wajahnya melebar, dan aku bisa melihat kebahagiaan yang begitu nyata terpancar dari matanya. Dia tak berkata apa-apa lagi, dia hanya memandangku dengan tatapan yang begitu dalam, seolah-olah perasaan kami sudah saling terhubung tanpa perlu diungkapkan lagi dengan kata-kata. Hari itu, di bawah langit senja yang mulai memerah, aku dan Arga akhirnya menyadari bahwa kami bukan lagi sekadar teman di OSIS. Kami lebih dari itu. Perasaan yang selama ini tersimpan akhirnya terbuka, dan tak ada lagi keraguan di antara kami.Hari itu, sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang, tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan.Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti.Tapi hari ini, tanpa aku sadari, semuanya akan berubah.Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa.Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa.Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat."Nayla, dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang pali
Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan. Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak. Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya, yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku. Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki. Pagi itu, aku duduk di tepi tempat tidurku, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya. Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!” Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri. Ketika sampai di sekolah, suasana tampak seperti biasa, keramaian siswa di lorong, tawa, dan obrolan yang riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku. Setiap
Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Catatan rapat, tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan.Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang.Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban."Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri.Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih.Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri.Namun, kenyataan lebih sulit dari sek
Pagi itu, seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama, hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS daripada buku pelajaran.Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan, ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar.Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku.Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku?“Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku.Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak le
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS, tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap hari yaitu perhatian Arga. Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa, lebih penuh makna. Pagi ini, saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan semangat, senyum hangat itu lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit, bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia