Home / Fiksi Remaja / Pacarku Si Ketua OSIS / Arga Menyatakan Perasaannya

Share

Arga Menyatakan Perasaannya

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Senja mulai turun melukiskan langit dengan warna jingga yang memudar. Aku duduk di bangku taman sekolah, tempat di mana aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama.

Suara desiran angin dan daun-daun yang berguguran memberikan ketenangan, namun hari ini rasanya ada sesuatu yang berbeda. Hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya.

Arga duduk di sebelahku, pandangannya tertuju pada hamparan pepohonan yang mengelilingi taman.

Kami hanya berdua di sini, dalam keheningan yang entah mengapa terasa nyaman. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.

“Nayla,” Arga memanggil namaku dengan nada lembut namun tegas.

Aku menoleh, mataku bertemu dengan matanya yang berkilau di bawah cahaya senja. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda dari biasanya yaitu sesuatu yang lebih dalam.

“Ada yang mau aku omongin,” lanjutnya.

Suaranya sedikit bergetar, seperti sedang menyembunyikan perasaan yang selama ini dia pendam.

Jantungku mulai berdegup kencang. Apa ini momen yang selama ini aku tunggu? Aku menggigit bibir, berusaha menenangkan diri agar tidak terlalu terbawa suasana.

“Apa itu, Arga?” tanyaku pelan, mencoba menahan rasa gugup yang mendesak.

Arga menatapku lebih lama dari biasanya, seolah-olah dia sedang mencari kata-kata yang tepat. Dia menghela napas, lalu tersenyum. Senyum yang begitu tulus hingga membuat dadaku berdesir.

“Nay... selama ini, aku nggak bisa bohong sama diri sendiri,” katanya dengan nada serius.

“Aku selalu berpikir bahwa hubungan kita hanya sebatas teman. Tapi semakin lama kita bersama, aku sadar... aku nggak bisa terus berpura-pura.”

Jantungku semakin berdegup kencang. Kata-kata yang dia ucapkan seolah menghapus semua kebingungan yang selama ini ada di antara kami.

Namun, aku tidak berani berharap terlalu banyak. Aku tetap menunggu dengan penuh harap tapi juga was-was.

“Aku suka sama kamu, Nayla,” katanya akhirnya, dengan suara yang lembut tapi pasti.

“Dan aku nggak mau lagi menahan perasaan ini. Aku ingin kamu tahu kalau aku mau hubungan kita lebih dari sekedar teman.”

Deg. Rasanya seperti mimpi. Kata-kata yang keluar dari mulut Arga itu membuatku terdiam sesaat, mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan.

Selama ini, aku memang merasakan perhatiannya, cara dia memperlakukan aku yang berbeda dari orang lain. Tapi mendengarnya langsung dari Arga, rasanya sangat nyata.

Wajahku memanas. Aku tidak tahu harus berkata apa, tetapi hatiku sudah memiliki jawabannya.

“Arga...” suaraku bergetar, tak mampu menahan luapan emosi yang tiba-tiba menyeruak.

Dia menatapku dengan penuh harap, menunggu jawabanku. Dalam tatapannya, aku bisa melihat perasaan yang selama ini dia simpan, yang akhirnya dia ungkapkan dengan begitu jujur.

“Aku juga suka sama kamu, Arga,” aku berkata dengan senyum yang tidak bisa kutahan.

“Dan aku juga ingin kita lebih dari teman.”

Tatapan Arga melembut, dan tanpa berkata-kata lagi dia tersenyum lebar. Suasana di antara kami berubah menjadi lebih hangat, seolah-olah dunia di sekitar kami berhenti berputar hanya untuk momen ini.

Kami saling tersenyum, seolah-olah seluruh beban yang pernah ada di antara kami telah lenyap begitu saja.

“Terima kasih, Nay,” katanya pelan.

Dia meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut.

“Aku janji, aku akan selalu ada buat kamu.”

Aku merasakan sentuhan tangannya yang hangat, dan detik itu aku tahu bahwa inilah saat di mana segalanya berubah.

Kami bukan lagi hanya dua orang teman yang saling mengisi waktu bersama. Ada perasaan yang lebih dalam kini mengikat kami.

Namun, di tengah kebahagiaan yang kurasakan, ada sesuatu yang tak terduga terjadi.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat dengan cepat, dan sebelum aku bisa bereaksi Dina muncul di hadapan kami.

Wajahnya memerah dan aku bisa melihat kemarahan yang terpancar jelas di matanya.

“Apa ini?!” Dina berseru dengan nada tinggi, suaranya bergetar dengan emosi.

“Kalian... kalian sudah pacaran sekarang?”

Aku dan Arga sama-sama terdiam, terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Dina menatap kami dengan tatapan yang tak bisa disalahartikan, dia merasa sudah dikhianati.

“Dina, tunggu,” Arga mencoba berbicara dengan tenang, tapi Dina tidak memberinya kesempatan.

“Kamu janji sama aku, Arga!” Dina memotong dengan suara yang hampir pecah.

“Kamu janji kita akan tetap fokus dengan OSIS! Tapi sekarang... sekarang kamu malah seperti ini?!”

Aku merasakan dada ini sesak. Aku tahu Dina memang memiliki perasaan terhadap Arga, meski dia tidak pernah mengungkapkannya dengan jelas.

Tetapi melihat dia meledak seperti ini, aku tidak bisa menahan rasa bersalah yang tiba-tiba muncul di dalam diriku.

“Dina, dengar aku dulu,” aku mencoba bicara, tetapi dia menatapku dengan penuh amarah.

“Kamu yang merebut dia dariku, Nayla!” Dina menuduh dengan suara yang nyaris tangis.

“Aku tahu kamu menyukai dia, tapi aku tidak pernah menyangka kamu akan melakukannya di belakangku! Aku selalu ada di sisi Arga, dan sekarang kamu muncul begitu saja dan mengambil tempatku?”

Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Tudingan Dina begitu tajam dan menyakitkan.

Meskipun aku tahu apa yang dia katakan tidak sepenuhnya benar, tapi hatiku tetap terluka mendengarnya.

“Dina, jangan salah paham,” Arga akhirnya berkata, suaranya terdengar tegas namun tenang.

“Nayla nggak mengambil tempat siapa-siapa. Aku yang memilih untuk mengungkapkan perasaanku pada Nayla karena aku memang suka sama dia.”

Dina menggelengkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya.

“Arga, kamu nggak bisa serius... kamu nggak bisa benar-benar memilih dia daripada aku. Kita sudah bertahun-tahun bersama di OSIS. Aku selalu ada buat kamu.”

Suara Dina terdengar putus asa, dan itu membuat hatiku semakin terluka. Aku bisa merasakan betapa hancurnya dia, tetapi di sisi lain aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku sendiri.

Aku dan Arga tidak salah dalam hal ini, tapi tetap saja melihat Dina seperti ini membuatku merasa bersalah.

Arga menghela napas panjang, lalu melangkah mendekati Dina.

“Dina, aku minta maaf kalau kamu merasa tersingkirkan. Tapi aku nggak pernah berniat membuat kamu merasa seperti itu. Kamu tetap temanku dan aku menghargai semua yang sudah kita lakukan bersama di OSIS. Tapi soal perasaan... itu berbeda.”

Dina menatap Arga dengan mata yang memerah, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tatapan itu begitu tajam, seolah-olah dia ingin menyampaikan pesan bahwa ini belum berakhir.

“Aku nggak akan lupa ini, Nayla,” ucapnya dengan nada rendah namun penuh ancaman.

“Kamu mungkin menang kali ini, tapi ingat aku tidak akan tinggal diam.”

Setelah berkata begitu, Dina berbalik dan berjalan cepat meninggalkan kami. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, perasaan campur aduk memenuhi dadaku.

Di satu sisi, aku bahagia karena Arga telah menyatakan perasaannya, tetapi di sisi lain, ada rasa bersalah yang tak bisa kuabaikan.

Arga meraih tanganku lagi, menggenggamnya dengan erat.

“Jangan khawatir tentang Dina. Aku akan bicara lagi dengannya nanti.”

Aku menatap Arga dan tersenyum kecil, meski di dalam hatiku masih ada kekhawatiran.

“Aku harap semuanya akan baik-baik saja.”

Arga mengangguk.

“Percayalah, semuanya akan baik-baik saja. Aku di sini untuk kamu, Nayla.”

Dan pada saat itu, meskipun Dina pergi dengan perasaan marah, aku tahu bahwa aku tidak akan mundur. Perasaanku terhadap Arga terlalu kuat, dan apa pun yang terjadi aku akan menghadapi konsekuensinya.

Related chapters

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Suasana Semakin Tegang

    Hari itu, ruangan OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, selalu ada suara canda tawa atau obrolan ringan yang membuat suasana jadi hangat.Tapi hari ini, rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami semua.Aku duduk di kursiku, memandang ke arah Dina yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.Arga ada di dekat pintu, memeriksa beberapa agenda acara yang akan kami adakan minggu depan.Meski kami berada di ruangan yang sama, rasanya ada jarak yang begitu lebar di antara kami, khususnya antara Dina, Arga, dan aku.Sejak kejadian di taman sekolah kemarin, Dina tidak lagi berbicara pada kami.Tatapannya dingin setiap kali bertemu denganku, dan aku bisa merasakan bahwa dia berusaha sebisa mungkin mengabaikan keberadaanku. Suasana ini membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin suasana OSIS jadi seperti ini, tapi aku juga tahu bahwa ini tidak bisa dihindari."Sudah selesai semua agendanya?" suara Arga memecah keheningan.Dia menoleh ke arah Dina, berharap mendapat resp

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Janji yang Menyakitkan

    Sekolah sudah hampir selesai dan aku merasa lega karena akhirnya bisa pulang setelah melewati hari yang panjang. Pikiranku masih dipenuhi dengan kejadian di ruang OSIS tadi, tentang bagaimana Dina keluar dengan penuh amarah, dan bagaimana Arga terlihat begitu bingung menghadapi situasi itu. Meskipun aku tahu semuanya tidak akan selesai begitu saja, aku berusaha menenangkan diri.Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku memutuskan untuk melewati jalan pintas di samping gedung kelas yang biasanya sepi. Aku ingin cepat sampai di halte sebelum hujan turun, karena langit sudah tampak semakin gelap. Namun, langkahku terhenti ketika samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Itu suara Arga. Jantungku berdegup lebih kencang secara tiba-tiba.Tanpa sadar, aku melangkah lebih pelan mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ketika aku mendekati sudut gedung, aku menyadari bahwa Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka berdiri di dekat pohon besar, sedikit tersembunyi da

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Penjelasan yang Terlambat

    Setiba di rumah, aku langsung melempar tas ke sofa dan menuju kamar tanpa berkata apa-apa. Semua kejadian hari ini terlalu membebani pikiranku dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Bagaimana bisa, Arga yang selama ini kupercayai berbicara seperti itu kepada Dina? Janji yang ia buat terdengar seperti janji kepada seseorang yang lebih dari sekedar teman.Aku terduduk di pinggir tempat tidur, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tetapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu menyeruak memenuhi dadaku dengan rasa sakit yang tak bisa kubendung lagi. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Rasa sakit itu terlalu besar, seolah-olah hatiku baru saja dihancurkan oleh seseorang yang paling kupercaya.Arga... Kenapa kamu harus membuat janji seperti itu pada Dina? Bukankah kamu sudah memilihku? Bukankah kamu bilang kamu suka padaku?Aku tidak tahu harus berpikir apa. Apakah aku terlalu cepat percaya pada Arga? Apakah semua yang kami lalui h

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bertemu Dina di Taman

    Setelah perbincangan panjang dan emosional dengan Arga sore itu, aku memutuskan untuk mencoba memaafkannya. Hatiku masih belum sepenuhnya tenang, tapi aku tahu bahwa hubungan tidak bisa dibangun tanpa kepercayaan dan pengertian. Meski sulit, aku ingin mempercayainya lagi. Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya aku melihat dia benar-benar merasa bersalah.“Kamu mau jalan-jalan gak malam ini?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada yang sedikit ceria yang mencoba mencerahkan suasana.Aku memandangnya sedikit ragu. "Jalan-jalan?"“Ya, kita pergi aja supaya kamu bisa merasa lebih baik. Aku bisa izin ke orang tua kamu,” lanjutnya sambil tersenyum kecil berharap aku akan setuju.Meski aku masih bingung dengan perasaanku, tapi aku mengangguk pelan. Mungkin jalan-jalan bisa membantu kami memperbaiki keadaan. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan semuanya.Setelah Arga berpamitan dan berjanji akan menjemputku nanti malam, aku menghela napa

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Terperangkap dalam Gosip

    Malam itu, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian di taman. Dina mungkin masih marah. Meskipun bayangan Dina sempat membuat hatiku terguncang, setidaknya malam itu berakhir dengan perasaan sedikit lebih ringan. Arga mengantarku pulang dengan senyum kecil di wajahnya, hal itu membuatku merasa bahwa hubungan kami akan tetap baik-baik saja.Namun, semua ketenangan itu sirna ketika aku sampai di sekolah keesokan paginya. Begitu aku melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, suasana di sekeliling terasa berbeda. Ada bisikan-bisikan yang samar namun terasa mengarah padaku. Langkahku semakin pelan saat aku melewati beberapa siswa yang berbisik dengan nada mengejek. Beberapa dari mereka bahkan menatapku dengan tatapan sinis. Aku mencoba mengabaikannya, tapi hatiku mulai merasa tidak nyaman. Apakah ada sesuatu yang tidak beres? Aku mempercepat langkah menuju kelas, berharap aku bisa segera bertemu Maya. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sepanjang p

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Mencari Kebenaran

    Ruang OSIS terasa semakin menyempit dengan kehadiran Dina yang berdiri di antara aku dan Arga. Suara detak jantungku masih berdebar kencang setelah mendengar semua gosip yang tersebar di sekolah. Dina masih berdiri di depan kami, dengan senyum tipis yang sulit kuterjemahkan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin Dina terlibat dalam semua ini? Apakah benar dia yang menyebarkan gosip tentang aku dan Arga?Aku mencoba menenangkan diriku sejenak. Tidak ada gunanya terburu-buru membuat kesimpulan. Tapi mengingat Dina ada di taman malam itu, aku tidak bisa menahan rasa curiga yang terus menghantuiku.Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Dina, aku mau tahu. Kamu ada di taman malam itu kan? Kamu melihat aku dan Arga. Apa... apa kamu yang menyebarkan gosip ini?"Suasana tiba-tiba terasa mencekam. Mata Dina menatapku tajam, seolah-olah pertanyaanku adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dimaafkan. Dia mendekatkan dirinya padaku, dan aku bisa merasak

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Merasa Terpojok

    Kami berjalan berdua menuju ruang guru. Tanganku masih gemetar setelah membaca pesan misterius yang kuterima. Arga menggenggam tanganku erat mencoba menenangkanku, tetapi pikiran-pikiranku tidak bisa berhenti memutar ulang kalimat-kalimat di pesan itu."Kamu kira bisa lolos dari ini? Ini baru permulaan Nayla. Awas saja."Siapa yang tega melakukan ini? Aku tidak pernah merasa begitu takut dan terpojok sebelumnya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagiku, kini berubah menjadi arena gosip dan kebencian."Arga," suaraku bergetar saat berbicara. "Bagaimana kalau kita tidak bisa menghentikan ini? Bagaimana kalau gosip ini terus menyebar dan menghancurkan semuanya?"Arga menoleh padaku, tatapannya penuh dengan keyakinan. "Aku janji Nay. Kita akan selesaikan ini. Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia pengecut. Kita akan laporkan ke pihak sekolah dan mereka akan bertindak."Aku ingin mempercayai Arga, tapi rasa takut yang mendalam terus menghantuiku. Semua orang di sekolah

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Mencoba Menjauhi Arga

    Aku dan Maya berjalan perlahan meninggalkan toilet dengan perasaan yang masih terasa berat. Suara tawa dan bisikan yang menyakitkan tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku, seolah mengukir luka baru di hatiku yang sudah rapuh ini. Namun, kehadiran Maya di sampingku memberiku sedikit kekuatan. Aku tahu aku tidak bisa terus bersembunyi, meskipun setiap langkah yang kuambil rasanya begitu berat."Kamu yakin mau balik ke kelas?" tanya Maya pelan memperhatikan wajahku yang masih pucat.Aku menelan ludah dan mencoba menguatkan diri. "Aku harus, Maya. Kalau aku terus menghindar, mereka akan merasa menang."Maya mengangguk dan menggenggam tanganku erat. "Aku ada di sini, Nay. Jangan takut."Dengan napas yang sedikit tersengal, aku melangkah menuju koridor kelas. Namun saat kami tiba di dekat pintu kelas, mataku langsung bertemu dengan tatapan sinis beberapa siswi yang tadi berbisik di toilet. Mereka berdiri di sudut koridor, jelas-jelas menatapku dengan pandangan meremehkan. Salah satu

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bara Kakaknya Dina!

    Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Kenapa Harus Dia?

    Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Nayla Mau Dijodohkan

    Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku

DMCA.com Protection Status