Aku dan Maya berjalan perlahan meninggalkan toilet dengan perasaan yang masih terasa berat. Suara tawa dan bisikan yang menyakitkan tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku, seolah mengukir luka baru di hatiku yang sudah rapuh ini. Namun, kehadiran Maya di sampingku memberiku sedikit kekuatan. Aku tahu aku tidak bisa terus bersembunyi, meskipun setiap langkah yang kuambil rasanya begitu berat."Kamu yakin mau balik ke kelas?" tanya Maya pelan memperhatikan wajahku yang masih pucat.Aku menelan ludah dan mencoba menguatkan diri. "Aku harus, Maya. Kalau aku terus menghindar, mereka akan merasa menang."Maya mengangguk dan menggenggam tanganku erat. "Aku ada di sini, Nay. Jangan takut."Dengan napas yang sedikit tersengal, aku melangkah menuju koridor kelas. Namun saat kami tiba di dekat pintu kelas, mataku langsung bertemu dengan tatapan sinis beberapa siswi yang tadi berbisik di toilet. Mereka berdiri di sudut koridor, jelas-jelas menatapku dengan pandangan meremehkan. Salah satu
Setelah perbincangan penuh emosi dengan Arga di koridor depan kelas, aku dan Maya kembali melangkah pelan menuju kelas. Jantungku masih berdetak cepat, tapi aku berusaha keras untuk memenangkan diri. Ucapan Arga yang terakhir masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dia tidak ingin aku menjauh terlalu jauh. Itu jelas, tapi rasa berat di dadaku membuatku merasa seolah-olah aku sedang tenggelam dalam lautan perasaan yang tidak dapat aku kendalikan.“Kamu baik-baik aja, Nay?” tanya Maya sambil menatapku dengan cemas.Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, tapi kenyataannya aku merasa hancur. Semua komentar jahat itu, gosip yang beredar, dan tekanan dari hubunganku dengan Arga, Semuanya terasa begitu berat. Rasanya seperti tidak ada tempat di sekolah ini di mana aku bisa merasa aman.Maya, seperti biasa tetap setia di sampingku. Dia tahu aku sedang berjuang dengan diriku sendiri, dan dia tidak meninggalkanku sendirian. Saat kami memasuki kel
Setelah perbincangan singkat dengan Maya di kelas tadi, aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Dia benar. Selama ini, aku terlalu diam. Aku membiarkan semua orang bicara seenaknya tentang hubunganku dengan Arga, tentang siapa aku, tanpa pernah mencoba membela diriku sendiri. Aku terlalu takut dan terlalu cemas akan apa yang mereka katakan selanjutnya.Malam itu, sambil berbaring di tempat tidur, aku terus memikirkan segala hal yang terjadi hari ini. Suara Dina yang penuh sindiran masih bergema di kepalaku. Ia selalu memastikan aku bahwa dia siap untuk menjatuhkanku kapan saja. Komentar-komentarnya yang pedas, ditambah tatapan-tatapan penuh kebencian dari siswa lain membuatku merasa kecil dan tak berarti.Aku memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku perlu bicara dengan seseorang, tapi seseorang yang benar-benar bisa memahami perasaanku sekarang. Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel itu dan mencari nama Arga di daftar kontakku. Sesaat aku ragu, namun akhirn
Suasana di kantin mendadak terasa dingin setelah Dina berbalik pergi dengan wajah yang marah. Aku bisa melihat jelas bagaimana sorot matanya berubah ketika Arga membelaku tadi. Dina tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tahu, sikapnya yang seolah menantang itu tak akan berhenti di sini. Di sudut mataku, aku melihat dia menghentakkan kakinya saat berjalan menjauh dengan genggaman tangannya yang terkepal rapat. Aku menoleh ke arah Arga yang kini berdiri di sampingku, masih dengan tatapan yang penuh ketenangan. Namun, di balik ketenangan itu aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya. "Arga... kamu nggak apa-apa?" tanyaku dengan nada pelan, takut jika pertanyaan itu malah menambah bebannya. Arga menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku nggak apa-apa, Nay. Aku hanya merasa... bersalah." "Bersalah?" ulangku bingung. "Kenapa? Kamu kan cuma membela aku." "Ya, aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau Dina
Aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang senang. Di gerbang sana, Arga menungguku dengan senyum manisnya. "Pagi, Nay," sapanya lembut. Aku tersenyum dan langsung membalasnya. "Pagi, Arga."Suasana di antara kami terasa lebih ringan setelah kejadian kemarin di kantin."Ayo, aku antar kamu ke kelas," ujar Arga sambil mengenggam tanganku erat. Aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan di sana, seolah-olah dia ingin memastikan aku baik-baik saja. Namun, di dalam diriku aku tahu akan ada badai besar yang sedang menantiku.Aku mencoba tersenyum pada Arga, mencoba menunjukkan bahwa aku baik-baik saja meskipun sebenarnya pikiranku masih sibuk dengan tatapan penuh amarah Dina. Dina tidak pernah suka denganku, itu jelas. Tapi setelah pengumuman Arga di kantin kemarin, aku tahu dia akan semakin gila untuk membuatku menderita.Saat kami berjalan menuju kelas, Maya datang berlari kecil mendekati kami. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak khawatir. Aku bisa melihat ada sesuatu yang
Setelah Dina pergi, aku terduduk kembali di kursiku. Tanganku gemetar hebat, tapi aku berusaha keras untuk menenangkan diri. Arga masih di sampingku, tapi suasana di antara kami terasa lebih berat."Nayla, apa kamu yakin tidak kenal cowok di foto itu?" Arga bertanya pelan, tapi aku bisa merasakan keraguan dalam suaranya.Aku mengangguk, berusaha menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk mataku. "Aku benar-benar nggak tahu siapa dia, Arga. Seseorang pasti mengeditnya. Dina ingin menghancurkan aku."Arga menarik napas panjang, lalu menggenggam tanganku. "Aku percaya sama kamu, tapi kita harus berhati-hati. Kita harus cari cara untuk buktikan kalau ini semua fitnah."Aku tersenyum samar. Di satu sisi, aku lega Arga masih ada di sisiku, tapi di sisi lain aku tahu bahwa keraguan sudah mulai muncul di pikirannya.---Sepulang sekolah, aku berjalan cepat keluar gerbang berharap bisa langsung pulang dan melupakan kejadian hari ini. Semua gosip dan bisik-bisik di lorong membuatku merasa
Setelah Dina pergi, pikiranku berkecamuk. Aku tahu ancamannya bukan main-main. Ayah Arga bekerja untuk ayahnya Dina? Itu membuat segalanya jadi lebih rumit. Jika aku melawan, bisa-bisa bukan hanya hidupku yang hancur, tapi juga hidup Arga dan keluarganya. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Tapi diam saja? Tidak. Aku tidak akan biarkan Dina menang dengan mudah. Aku harus melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Arga. Aku berjalan cepat menuju halte bus dekat sekolah, berharap bisa segera sampai rumah dan menenangkan pikiran. Namun, langkahku terhenti ketika melihat Maya berdiri di depan halte. Dia melambai, dan ekspresi khawatir terlihat jelas di wajahnya. "Nayla! Ada apa? Kamu kelihatan pucat," katanya sambil mendekatiku. Aku terdiam sejenak, menatap sahabatku itu. Maya selalu ada di sisiku, tapi kali ini aku ragu untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dina terlalu berbahaya, dan aku tidak ingin melibatkan siapa pun terutama Arga. Namun, rasa cemas yang sema
Aku dan Maya baru saja menyusun rencana untuk melawan Dina, dan aku merasa sedikit lega. Tapi di dalam hatiku, rasa cemas masih bergejolak. Dina bukan seseorang yang bisa dianggap enteng. Apalagi sekarang dia sudah melibatkan Arga dan keluarganya. Segalanya jadi jauh lebih rumit lagi.Setelah sampai di halte bus, aku dan Maya berpisah. Maya pulang ke rumahnya, sementara aku menunggu bus yang akan membawaku pulang. Pikiranku melayang-layang, memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Apa yang harus kulakukan jika Dina benar-benar menjalankan ancamannya? Bagaimana caranya agar aku bisa melindungi Arga tanpa membuatnya terlibat?Bus akhirnya datang, dan aku duduk di salah satu kursi di dekat jendela. Aku memandang keluar, tapi pemandangan jalan yang biasanya aku nikmati terasa hambar hari ini. Bayangan Dina dan ancamannya terus menggangguku. Sekolah, Arga, dan masa depanku semuanya berada di ujung tanduk. ---Ketika aku tiba di rumah, keheningan menyambutku. Tidak ada suara
Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku