Setelah perbincangan panjang dan emosional dengan Arga sore itu, aku memutuskan untuk mencoba memaafkannya.
Hatiku masih belum sepenuhnya tenang, tapi aku tahu bahwa hubungan tidak bisa dibangun tanpa kepercayaan dan pengertian. Meski sulit, aku ingin mempercayainya lagi. Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya aku melihat dia benar-benar merasa bersalah. “Kamu mau jalan-jalan gak malam ini?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada yang sedikit ceria yang mencoba mencerahkan suasana. Aku memandangnya sedikit ragu. "Jalan-jalan?" “Ya, kita pergi aja supaya kamu bisa merasa lebih baik. Aku bisa izin ke orang tua kamu,” lanjutnya sambil tersenyum kecil berharap aku akan setuju. Meski aku masih bingung dengan perasaanku, tapi aku mengangguk pelan. Mungkin jalan-jalan bisa membantu kami memperbaiki keadaan. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan semuanya. Setelah Arga berpamitan dan berjanji akan menjemputku nanti malam, aku menghela napas panjang. Aku berharap jalan-jalan ini bisa membawa perasaan yang lebih baik, meskipun bayangan Dina masih menghantui pikiranku. --- Malam harinya, Arga datang menjemputku dengan motor kesukaannya. Dia tampak segar dan penuh energi, seolah siap menjalani hari dengan suasana yang lebih baik. Dia bahkan sempat masuk ke rumah untuk meminta izin langsung kepada orang tuaku. Kulihat dari cara mereka berbicara, orang tuaku sangat mempercayai Arga sepenuhnya. Itu yang membuatku merasa sedikit lebih tenang, meskipun jauh di dalam hati aku masih cemas tentang Dina. “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sudah berada di jalan. “Kejutan,” jawabnya sambil tersenyum jahil di bawah helmnya. “Yang pasti, kamu akan suka.” Aku hanya bisa tersenyum kecil. Meski masih ada keraguan, aku tak bisa menyangkal bahwa ada di bagian diriku yang merasa senang bisa bersama Arga. Bagaimanapun, dia adalah pacarku dan aku ingin hubungan ini berhasil. Kami akhirnya tiba di sebuah taman kecil di pinggir kota, tempat ini adalah tempat yang tenang dengan banyak pepohonan. Sepertinya Arga sudah merencanakan ini dengan baik, dia bahkan membawa beberapa makanan kecil di dalam tasnya untuk kami makan. “Kamu mau piknik di sini?” tanyaku dengan nada setengah terkejut. Arga mengangguk sambil mengeluarkan tikar kecil dari motornya. “Ya, aku pikir kita bisa ngobrol santai di sini. Udara di sini segar dan tempatnya nggak ramai.” Aku tersenyum. Ternyata, Arga masih bisa membuatku terkesan dengan hal-hal sederhana seperti ini. Kami duduk berdua di atas tikar, menikmati makanan ringan yang dia bawa sambil berbicara tentang hal-hal ringan. Selama beberapa saat, aku hampir melupakan semua keraguan dan masalah yang kami hadapi. Seolah-olah hanya ada aku dan dia di dunia ini. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Ketika kami sedang tertawa-tawa, tiba-tiba dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat familiar. Sosok itu berjalan cepat, seperti sedang terburu-buru. Aku menyipitkan mata untuk memastikan, dan hatiku langsung mencelos ketika aku menyadari siapa itu. Dina!. Dia ada di sini di tempat yang sama. Seolah-olah nasib mempertemukan kami lagi, namun kali ini dalam situasi yang jauh lebih canggung. Aku melihat bagaimana Dina yang tadinya berjalan santai langsung mempercepat langkahnya begitu melihat kami. Dia sama sekali tidak menegur apalagi menyapa. Dia hanya menatap kami sekilas, lalu memalingkan muka dan berjalan lebih cepat seolah-olah ingin segera keluar dari tempat itu. Arga yang menyadari kehadirannya juga langsung terdiam. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi tegang. Dia menatap Dina yang berjalan menjauh dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Kamu lihat Dina?” tanyaku pelan, meski sudah tahu jawabannya. Arga mengangguk perlahan. “Iya... aku nggak nyangka kita akan ketemu dia di sini.” Aku bisa merasakan bagaimana suasana di antara kami langsung berubah. Keceriaan yang sempat ada beberapa menit lalu kini lenyap dan digantikan oleh rasa canggung dan tegang. Dina jelas masih marah dan aku bisa merasakan bahwa kehadirannya membawa beban yang berat bagi Arga. “Dia masih marah ya sama kamu?” tanyaku hati-hati, meski sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Arga menghela napas panjang. “Sepertinya begitu. Aku sudah coba jelasin semuanya, tapi kayaknya dia masih butuh waktu.” Aku menatap Arga, berusaha mencari kejujuran di matanya. “Dan kamu? Apa yang kamu rasain soal Dina?” Arga terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Dina itu teman baikku. Aku nggak mau kehilangan dia sebagai teman, tapi aku juga nggak mau hubunganku sama kamu rusak gara-gara ini.” Aku menunduk memikirkan kata-katanya. Aku tahu hubungan antara Arga dan Dina sudah lama, bahkan jauh sebelum aku masuk ke dalam kehidupan Arga. Tapi sekarang situasinya berbeda. Dina bukan hanya teman baik Arga. Dia juga memiliki perasaan yang lebih dari itu dan aku tahu itu sejak lama. “Tapi Dina suka sama kamu, kan?” tanyaku akhirnya memberanikan diri untuk mengatakannya. “Itu yang bikin dia marah.” Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan. “Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa balas perasaan dia. Karena aku sudah memilih kamu, Nay.” Kata-katanya seharusnya membuatku tenang, tapi entah kenapa aku masih merasa ada sesuatu yang salah. Dina jelas masih marah dan aku tidak tahu apakah ini akan benar-benar selesai begitu saja. Apalagi setelah melihat bagaimana Dina bereaksi ketika melihat kami bersama. “Kamu yakin ini nggak akan jadi masalah lagi?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya mungkin tidak akan memuaskanku. Arga mengangguk pelan. “Aku akan pastikan Dina ngerti bahwa aku serius sama kamu. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku akan coba yang terbaik.” Aku menghela napas panjang. Aku ingin percaya padanya, aku ingin semuanya baik-baik saja. Tapi dengan situasi seperti ini, aku tidak bisa menyingkirkan rasa cemas yang terus menghantuiku. Kami duduk dalam diam untuk beberapa saat, yang masing-masing tenggelam dalam pikiran kami sendiri. Piknik yang tadinya terasa manis kini berubah menjadi momen yang canggung dan penuh ketidakpastian. Aku mencoba menenangkan diriku, berusaha mengalihkan pikiran dari bayangan Dina yang terus muncul di kepalaku. Tapi meski aku ingin segalanya kembali normal, aku tahu bahwa ini hanyalah awal dari masalah yang lebih besar. Dina masih ada di antara kami, dan aku tidak tahu apakah Arga benar-benar bisa mengatasi perasaannya yang rumit. Aku hanya bisa berharap, bahwa pada akhirnya cinta kami akan cukup kuat untuk menghadapi semua ini. Tapi, di dalam hatiku aku tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah.Malam itu, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian di taman. Dina mungkin masih marah. Meskipun bayangan Dina sempat membuat hatiku terguncang, setidaknya malam itu berakhir dengan perasaan sedikit lebih ringan. Arga mengantarku pulang dengan senyum kecil di wajahnya, hal itu membuatku merasa bahwa hubungan kami akan tetap baik-baik saja.Namun, semua ketenangan itu sirna ketika aku sampai di sekolah keesokan paginya. Begitu aku melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, suasana di sekeliling terasa berbeda. Ada bisikan-bisikan yang samar namun terasa mengarah padaku. Langkahku semakin pelan saat aku melewati beberapa siswa yang berbisik dengan nada mengejek. Beberapa dari mereka bahkan menatapku dengan tatapan sinis. Aku mencoba mengabaikannya, tapi hatiku mulai merasa tidak nyaman. Apakah ada sesuatu yang tidak beres? Aku mempercepat langkah menuju kelas, berharap aku bisa segera bertemu Maya. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sepanjang p
Ruang OSIS terasa semakin menyempit dengan kehadiran Dina yang berdiri di antara aku dan Arga. Suara detak jantungku masih berdebar kencang setelah mendengar semua gosip yang tersebar di sekolah. Dina masih berdiri di depan kami, dengan senyum tipis yang sulit kuterjemahkan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin Dina terlibat dalam semua ini? Apakah benar dia yang menyebarkan gosip tentang aku dan Arga?Aku mencoba menenangkan diriku sejenak. Tidak ada gunanya terburu-buru membuat kesimpulan. Tapi mengingat Dina ada di taman malam itu, aku tidak bisa menahan rasa curiga yang terus menghantuiku.Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Dina, aku mau tahu. Kamu ada di taman malam itu kan? Kamu melihat aku dan Arga. Apa... apa kamu yang menyebarkan gosip ini?"Suasana tiba-tiba terasa mencekam. Mata Dina menatapku tajam, seolah-olah pertanyaanku adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dimaafkan. Dia mendekatkan dirinya padaku, dan aku bisa merasak
Kami berjalan berdua menuju ruang guru. Tanganku masih gemetar setelah membaca pesan misterius yang kuterima. Arga menggenggam tanganku erat mencoba menenangkanku, tetapi pikiran-pikiranku tidak bisa berhenti memutar ulang kalimat-kalimat di pesan itu."Kamu kira bisa lolos dari ini? Ini baru permulaan Nayla. Awas saja."Siapa yang tega melakukan ini? Aku tidak pernah merasa begitu takut dan terpojok sebelumnya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagiku, kini berubah menjadi arena gosip dan kebencian."Arga," suaraku bergetar saat berbicara. "Bagaimana kalau kita tidak bisa menghentikan ini? Bagaimana kalau gosip ini terus menyebar dan menghancurkan semuanya?"Arga menoleh padaku, tatapannya penuh dengan keyakinan. "Aku janji Nay. Kita akan selesaikan ini. Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia pengecut. Kita akan laporkan ke pihak sekolah dan mereka akan bertindak."Aku ingin mempercayai Arga, tapi rasa takut yang mendalam terus menghantuiku. Semua orang di sekolah
Aku dan Maya berjalan perlahan meninggalkan toilet dengan perasaan yang masih terasa berat. Suara tawa dan bisikan yang menyakitkan tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku, seolah mengukir luka baru di hatiku yang sudah rapuh ini. Namun, kehadiran Maya di sampingku memberiku sedikit kekuatan. Aku tahu aku tidak bisa terus bersembunyi, meskipun setiap langkah yang kuambil rasanya begitu berat."Kamu yakin mau balik ke kelas?" tanya Maya pelan memperhatikan wajahku yang masih pucat.Aku menelan ludah dan mencoba menguatkan diri. "Aku harus, Maya. Kalau aku terus menghindar, mereka akan merasa menang."Maya mengangguk dan menggenggam tanganku erat. "Aku ada di sini, Nay. Jangan takut."Dengan napas yang sedikit tersengal, aku melangkah menuju koridor kelas. Namun saat kami tiba di dekat pintu kelas, mataku langsung bertemu dengan tatapan sinis beberapa siswi yang tadi berbisik di toilet. Mereka berdiri di sudut koridor, jelas-jelas menatapku dengan pandangan meremehkan. Salah satu
Setelah perbincangan penuh emosi dengan Arga di koridor depan kelas, aku dan Maya kembali melangkah pelan menuju kelas. Jantungku masih berdetak cepat, tapi aku berusaha keras untuk memenangkan diri. Ucapan Arga yang terakhir masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dia tidak ingin aku menjauh terlalu jauh. Itu jelas, tapi rasa berat di dadaku membuatku merasa seolah-olah aku sedang tenggelam dalam lautan perasaan yang tidak dapat aku kendalikan.“Kamu baik-baik aja, Nay?” tanya Maya sambil menatapku dengan cemas.Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, tapi kenyataannya aku merasa hancur. Semua komentar jahat itu, gosip yang beredar, dan tekanan dari hubunganku dengan Arga, Semuanya terasa begitu berat. Rasanya seperti tidak ada tempat di sekolah ini di mana aku bisa merasa aman.Maya, seperti biasa tetap setia di sampingku. Dia tahu aku sedang berjuang dengan diriku sendiri, dan dia tidak meninggalkanku sendirian. Saat kami memasuki kel
Setelah perbincangan singkat dengan Maya di kelas tadi, aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Dia benar. Selama ini, aku terlalu diam. Aku membiarkan semua orang bicara seenaknya tentang hubunganku dengan Arga, tentang siapa aku, tanpa pernah mencoba membela diriku sendiri. Aku terlalu takut dan terlalu cemas akan apa yang mereka katakan selanjutnya.Malam itu, sambil berbaring di tempat tidur, aku terus memikirkan segala hal yang terjadi hari ini. Suara Dina yang penuh sindiran masih bergema di kepalaku. Ia selalu memastikan aku bahwa dia siap untuk menjatuhkanku kapan saja. Komentar-komentarnya yang pedas, ditambah tatapan-tatapan penuh kebencian dari siswa lain membuatku merasa kecil dan tak berarti.Aku memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku perlu bicara dengan seseorang, tapi seseorang yang benar-benar bisa memahami perasaanku sekarang. Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel itu dan mencari nama Arga di daftar kontakku. Sesaat aku ragu, namun akhirn
Suasana di kantin mendadak terasa dingin setelah Dina berbalik pergi dengan wajah yang marah. Aku bisa melihat jelas bagaimana sorot matanya berubah ketika Arga membelaku tadi. Dina tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tahu, sikapnya yang seolah menantang itu tak akan berhenti di sini. Di sudut mataku, aku melihat dia menghentakkan kakinya saat berjalan menjauh dengan genggaman tangannya yang terkepal rapat. Aku menoleh ke arah Arga yang kini berdiri di sampingku, masih dengan tatapan yang penuh ketenangan. Namun, di balik ketenangan itu aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya. "Arga... kamu nggak apa-apa?" tanyaku dengan nada pelan, takut jika pertanyaan itu malah menambah bebannya. Arga menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku nggak apa-apa, Nay. Aku hanya merasa... bersalah." "Bersalah?" ulangku bingung. "Kenapa? Kamu kan cuma membela aku." "Ya, aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau Dina
Aku kembali ke sekolah dengan perasaan yang senang. Di gerbang sana, Arga menungguku dengan senyum manisnya. "Pagi, Nay," sapanya lembut. Aku tersenyum dan langsung membalasnya. "Pagi, Arga."Suasana di antara kami terasa lebih ringan setelah kejadian kemarin di kantin."Ayo, aku antar kamu ke kelas," ujar Arga sambil mengenggam tanganku erat. Aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan di sana, seolah-olah dia ingin memastikan aku baik-baik saja. Namun, di dalam diriku aku tahu akan ada badai besar yang sedang menantiku.Aku mencoba tersenyum pada Arga, mencoba menunjukkan bahwa aku baik-baik saja meskipun sebenarnya pikiranku masih sibuk dengan tatapan penuh amarah Dina. Dina tidak pernah suka denganku, itu jelas. Tapi setelah pengumuman Arga di kantin kemarin, aku tahu dia akan semakin gila untuk membuatku menderita.Saat kami berjalan menuju kelas, Maya datang berlari kecil mendekati kami. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak khawatir. Aku bisa melihat ada sesuatu yang
Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku