Home / Fiksi Remaja / Pacarku Si Ketua OSIS / Penjelasan yang Terlambat

Share

Penjelasan yang Terlambat

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-10-05 11:58:53

Setiba di rumah, aku langsung melempar tas ke sofa dan menuju kamar tanpa berkata apa-apa.

Semua kejadian hari ini terlalu membebani pikiranku dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya.

Bagaimana bisa, Arga yang selama ini kupercayai berbicara seperti itu kepada Dina? Janji yang ia buat terdengar seperti janji kepada seseorang yang lebih dari sekedar teman.

Aku terduduk di pinggir tempat tidur, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku.

Aku berusaha menahannya, tetapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu menyeruak memenuhi dadaku dengan rasa sakit yang tak bisa kubendung lagi.

Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Rasa sakit itu terlalu besar, seolah-olah hatiku baru saja dihancurkan oleh seseorang yang paling kupercaya.

Arga... Kenapa kamu harus membuat janji seperti itu pada Dina? Bukankah kamu sudah memilihku? Bukankah kamu bilang kamu suka padaku?

Aku tidak tahu harus berpikir apa. Apakah aku terlalu cepat percaya pada Arga? Apakah semua yang kami lalui hanya permainan baginya?

Perasaan yang tadinya kubanggakan, kini berbalik menjadi sesuatu yang menghantui dan membingungkanku.

Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku mengusap air mata di pipi dengan cepat dan melihat layar ponsel. Nama Arga muncul di sana.

Aku menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Sejujurnya, aku ingin mengabaikannya. Namun, sesuatu dalam diriku membuatku tetap membuka pesan itu.

"Hai, Nayla. Gimana? Udah di rumah? Mau cerita soal tugas OSIS besok nih."

Pesannya singkatnya ya seperti biasa. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berbeda. Seolah-olah semua baik-baik saja. Tapi tidak bagiku. Hatiku terlalu sakit untuk meresponsnya dengan santai.

Aku menutup pesan itu tanpa membalas. Sudah cukup! Aku tidak bisa pura-pura seolah-olah semuanya normal. Jika Arga tidak bisa jujur, aku juga tidak akan terus membohongi perasaanku sendiri. Mungkin ini saatnya untuk berhenti peduli.

Beberapa menit berlalu. Ponselku kembali bergetar. Kali ini pesan yang lebih panjang.

"Nayla, kamu kenapa? Kok nggak bales? Apa ada yang salah? Kamu baik-baik aja, kan?"

Arga mulai menyadari bahwa aku tidak merespons seperti biasanya. Perasaanku semakin kacau.

Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, tapi rasanya terlalu sulit untuk merangkai kata-kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Dengan napas yang berat akhirnya aku mengetik.

"Aku baik. Cuma lagi nggak mau ngomong sekarang."

Pesanku singkat, dingin, dan jelas tidak seperti biasanya. Aku berharap itu cukup membuatnya mengerti bahwa ada sesuatu yang salah tanpa harus aku jelaskan lebih jauh.

Namun, beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi.

"Kamu kenapa, Nay? Apa aku salah? Tolong kasih tahu aku, jangan begini. Ada apa?"

Perasaanku semakin kacau. Aku menatap layar ponsel, jari-jariku gemetar di atas keyboard virtual.

Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Haruskah aku memberitahu Arga bahwa aku mendengar semuanya?

Aku menutup mata, mencoba mengumpulkan keberanian. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku mengetik pesan yang tak pernah kukira akan kukirimkan.

"Aku dengar semua. Percakapan kamu sama Dina tadi sepulang sekolah. Tentang janji kamu ke dia. Sekarang aku mau tahu... apa maksud dari semuanya?"

Tanganku gemetar ketika menekan tombol "kirim". Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Aku sudah menyampaikan apa yang ada di pikiranku, dan sekarang hanya tinggal menunggu responsnya.

Pesan itu terkirim. Dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu. Jantungku berdebar kencang, dan perutku terasa mual. Aku menatap ponsel dengan cemas dan menunggu balasan dari Arga.

Tidak lama kemudian, ponselku bergetar lagi. Kali ini pesannya terasa lebih mendesak.

"Nayla, aku bisa jelasin. Tunggu aku. Aku akan ke rumahmu sekarang."

Mataku melebar membaca pesannya. Ke rumahku? Sekarang? Aku belum siap untuk bertemu dengannya. Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, dia mengirim pesan lagi.

"Aku sudah di jalan. Kita harus bicara."

Aku terpaku di tempat. Rasa panik mulai merayapi pikiranku. Apa yang harus kukatakan nanti? Bagaimana jika penjelasannya hanya membuatku semakin bingung?

Tapi, di sisi lain, aku tahu aku butuh jawaban. Aku tidak bisa terus menerus berada dalam ketidakpastian seperti ini.

Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu rumah. Jantungku semakin berdebar. Aku tahu itu Arga.

Dengan langkah perlahan, aku menuju pintu depan dan mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya membukanya.

Di sana berdiri sosok Arga dengan wajah cemas. Matanya menatapku penuh kekhawatiran, seolah-olah dia tahu betapa hancurnya perasaanku. Aku tidak bisa menatapnya terlalu lama. Rasa sakit di dadaku kembali menguat.

“Nayla,” dia memulai dengan suara pelan.

“Aku tahu kamu marah. Tapi, tolong dengarkan dulu penjelasanku.”

Aku mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Rasanya sulit bagiku untuk berbicara. Aku hanya ingin mendengar apa yang dia katakan.

“Aku nggak bermaksud bikin kamu terluka,” lanjutnya.

“Percakapan tadi sama Dina... itu nggak seperti yang kamu pikirkan.”

Aku mengernyitkan dahi, aku tidak paham maksudnya.

“Maksud kamu apa? Kamu janji nggak akan ninggalin dia, Arga. Apa itu nggak cukup jelas?”

Arga menghela napas panjang.

“Dina... dia teman baikku dari dulu. Kami udah kenal lama dan dia sering merasa kesepian. Dia nggak punya banyak teman lain selain aku. Aku hanya nggak mau dia merasa sendiri. Tapi itu bukan berarti aku nggak serius sama kamu, Nayla.”

“Tapi kenapa kamu janji seperti itu? Seolah-olah dia lebih penting daripada aku...” suaraku bergetar.

Air mata yang tadi sudah kutahan mulai menggenang lagi.

Arga menatapku dengan penuh penyesalan.

“Bukan begitu, Nayla. Aku hanya nggak mau kehilangan persahabatan kami. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu. Aku tahu ini semua rumit dan aku bodoh karena nggak menjelaskan lebih awal.”

Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Meskipun penjelasannya terdengar masuk akal, tapi perasaanku masih juga kacau.

“Jadi, kamu memang masih peduli sama Dina?” tanyaku lirih.

Arga mengangguk pelan.

“Ya, aku peduli sama dia. Tapi Nayla, aku... aku lebih sayang sama kamu. Dan aku mau hubungan kita tetap berjalan.”

Kata-katanya menggantung di udara. Meskipun perasaanku sedikit tenang aku masih merasa ragu. Apakah aku bisa mempercayainya? Atau akankah aku terus merasa terjebak di antara dia dan Dina?

Namun, satu hal yang pasti, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Dan Arga, meskipun dengan semua kebingungannya, tampaknya benar-benar ingin memperbaiki semuanya.

“Nayla,” Arga memanggil namaku lagi.

“Aku harap kamu bisa memaafkanku. Aku janji, mulai sekarang aku akan lebih jujur sama kamu.”

Aku menatapnya, mencoba menemukan kejujuran dalam matanya. Mungkin, ini saatnya aku memberikan kesempatan.

Related chapters

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bertemu Dina di Taman

    Setelah perbincangan panjang dan emosional dengan Arga sore itu, aku memutuskan untuk mencoba memaafkannya. Hatiku masih belum sepenuhnya tenang, tapi aku tahu bahwa hubungan tidak bisa dibangun tanpa kepercayaan dan pengertian. Meski sulit, aku ingin mempercayainya lagi. Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya aku melihat dia benar-benar merasa bersalah.“Kamu mau jalan-jalan gak malam ini?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada yang sedikit ceria yang mencoba mencerahkan suasana.Aku memandangnya sedikit ragu. "Jalan-jalan?"“Ya, kita pergi aja supaya kamu bisa merasa lebih baik. Aku bisa izin ke orang tua kamu,” lanjutnya sambil tersenyum kecil berharap aku akan setuju.Meski aku masih bingung dengan perasaanku, tapi aku mengangguk pelan. Mungkin jalan-jalan bisa membantu kami memperbaiki keadaan. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan semuanya.Setelah Arga berpamitan dan berjanji akan menjemputku nanti malam, aku menghela napa

    Last Updated : 2024-10-05
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Terperangkap dalam Gosip

    Malam itu, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian di taman. Dina mungkin masih marah. Meskipun bayangan Dina sempat membuat hatiku terguncang, setidaknya malam itu berakhir dengan perasaan sedikit lebih ringan. Arga mengantarku pulang dengan senyum kecil di wajahnya, hal itu membuatku merasa bahwa hubungan kami akan tetap baik-baik saja.Namun, semua ketenangan itu sirna ketika aku sampai di sekolah keesokan paginya. Begitu aku melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, suasana di sekeliling terasa berbeda. Ada bisikan-bisikan yang samar namun terasa mengarah padaku. Langkahku semakin pelan saat aku melewati beberapa siswa yang berbisik dengan nada mengejek. Beberapa dari mereka bahkan menatapku dengan tatapan sinis. Aku mencoba mengabaikannya, tapi hatiku mulai merasa tidak nyaman. Apakah ada sesuatu yang tidak beres? Aku mempercepat langkah menuju kelas, berharap aku bisa segera bertemu Maya. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sepanjang p

    Last Updated : 2024-10-07
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Mencari Kebenaran

    Ruang OSIS terasa semakin menyempit dengan kehadiran Dina yang berdiri di antara aku dan Arga. Suara detak jantungku masih berdebar kencang setelah mendengar semua gosip yang tersebar di sekolah. Dina masih berdiri di depan kami, dengan senyum tipis yang sulit kuterjemahkan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin Dina terlibat dalam semua ini? Apakah benar dia yang menyebarkan gosip tentang aku dan Arga?Aku mencoba menenangkan diriku sejenak. Tidak ada gunanya terburu-buru membuat kesimpulan. Tapi mengingat Dina ada di taman malam itu, aku tidak bisa menahan rasa curiga yang terus menghantuiku.Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Dina, aku mau tahu. Kamu ada di taman malam itu kan? Kamu melihat aku dan Arga. Apa... apa kamu yang menyebarkan gosip ini?"Suasana tiba-tiba terasa mencekam. Mata Dina menatapku tajam, seolah-olah pertanyaanku adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dimaafkan. Dia mendekatkan dirinya padaku, dan aku bisa merasak

    Last Updated : 2024-10-08
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Merasa Terpojok

    Kami berjalan berdua menuju ruang guru. Tanganku masih gemetar setelah membaca pesan misterius yang kuterima. Arga menggenggam tanganku erat mencoba menenangkanku, tetapi pikiran-pikiranku tidak bisa berhenti memutar ulang kalimat-kalimat di pesan itu."Kamu kira bisa lolos dari ini? Ini baru permulaan Nayla. Awas saja."Siapa yang tega melakukan ini? Aku tidak pernah merasa begitu takut dan terpojok sebelumnya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagiku, kini berubah menjadi arena gosip dan kebencian."Arga," suaraku bergetar saat berbicara. "Bagaimana kalau kita tidak bisa menghentikan ini? Bagaimana kalau gosip ini terus menyebar dan menghancurkan semuanya?"Arga menoleh padaku, tatapannya penuh dengan keyakinan. "Aku janji Nay. Kita akan selesaikan ini. Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia pengecut. Kita akan laporkan ke pihak sekolah dan mereka akan bertindak."Aku ingin mempercayai Arga, tapi rasa takut yang mendalam terus menghantuiku. Semua orang di sekolah

    Last Updated : 2024-10-08
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Mencoba Menjauhi Arga

    Aku dan Maya berjalan perlahan meninggalkan toilet dengan perasaan yang masih terasa berat. Suara tawa dan bisikan yang menyakitkan tadi terus terngiang-ngiang di kepalaku, seolah mengukir luka baru di hatiku yang sudah rapuh ini. Namun, kehadiran Maya di sampingku memberiku sedikit kekuatan. Aku tahu aku tidak bisa terus bersembunyi, meskipun setiap langkah yang kuambil rasanya begitu berat."Kamu yakin mau balik ke kelas?" tanya Maya pelan memperhatikan wajahku yang masih pucat.Aku menelan ludah dan mencoba menguatkan diri. "Aku harus, Maya. Kalau aku terus menghindar, mereka akan merasa menang."Maya mengangguk dan menggenggam tanganku erat. "Aku ada di sini, Nay. Jangan takut."Dengan napas yang sedikit tersengal, aku melangkah menuju koridor kelas. Namun saat kami tiba di dekat pintu kelas, mataku langsung bertemu dengan tatapan sinis beberapa siswi yang tadi berbisik di toilet. Mereka berdiri di sudut koridor, jelas-jelas menatapku dengan pandangan meremehkan. Salah satu

    Last Updated : 2024-10-09
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Mencoba Melawan

    Setelah perbincangan penuh emosi dengan Arga di koridor depan kelas, aku dan Maya kembali melangkah pelan menuju kelas. Jantungku masih berdetak cepat, tapi aku berusaha keras untuk memenangkan diri. Ucapan Arga yang terakhir masih terngiang-ngiang di kepalaku. Dia tidak ingin aku menjauh terlalu jauh. Itu jelas, tapi rasa berat di dadaku membuatku merasa seolah-olah aku sedang tenggelam dalam lautan perasaan yang tidak dapat aku kendalikan.“Kamu baik-baik aja, Nay?” tanya Maya sambil menatapku dengan cemas.Aku hanya bisa mengangguk pelan. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja, tapi kenyataannya aku merasa hancur. Semua komentar jahat itu, gosip yang beredar, dan tekanan dari hubunganku dengan Arga, Semuanya terasa begitu berat. Rasanya seperti tidak ada tempat di sekolah ini di mana aku bisa merasa aman.Maya, seperti biasa tetap setia di sampingku. Dia tahu aku sedang berjuang dengan diriku sendiri, dan dia tidak meninggalkanku sendirian. Saat kami memasuki kel

    Last Updated : 2024-10-10
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Nayla Si Pemberani

    Setelah perbincangan singkat dengan Maya di kelas tadi, aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. Dia benar. Selama ini, aku terlalu diam. Aku membiarkan semua orang bicara seenaknya tentang hubunganku dengan Arga, tentang siapa aku, tanpa pernah mencoba membela diriku sendiri. Aku terlalu takut dan terlalu cemas akan apa yang mereka katakan selanjutnya.Malam itu, sambil berbaring di tempat tidur, aku terus memikirkan segala hal yang terjadi hari ini. Suara Dina yang penuh sindiran masih bergema di kepalaku. Ia selalu memastikan aku bahwa dia siap untuk menjatuhkanku kapan saja. Komentar-komentarnya yang pedas, ditambah tatapan-tatapan penuh kebencian dari siswa lain membuatku merasa kecil dan tak berarti.Aku memandangi ponselku yang tergeletak di meja. Aku perlu bicara dengan seseorang, tapi seseorang yang benar-benar bisa memahami perasaanku sekarang. Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel itu dan mencari nama Arga di daftar kontakku. Sesaat aku ragu, namun akhirn

    Last Updated : 2024-10-10
  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pengumuman Arga

    Suasana di kantin mendadak terasa dingin setelah Dina berbalik pergi dengan wajah yang marah. Aku bisa melihat jelas bagaimana sorot matanya berubah ketika Arga membelaku tadi. Dina tampak seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku tahu, sikapnya yang seolah menantang itu tak akan berhenti di sini. Di sudut mataku, aku melihat dia menghentakkan kakinya saat berjalan menjauh dengan genggaman tangannya yang terkepal rapat. Aku menoleh ke arah Arga yang kini berdiri di sampingku, masih dengan tatapan yang penuh ketenangan. Namun, di balik ketenangan itu aku tahu ada sesuatu yang mengganggunya. "Arga... kamu nggak apa-apa?" tanyaku dengan nada pelan, takut jika pertanyaan itu malah menambah bebannya. Arga menatapku sejenak, lalu tersenyum kecil meskipun senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku nggak apa-apa, Nay. Aku hanya merasa... bersalah." "Bersalah?" ulangku bingung. "Kenapa? Kamu kan cuma membela aku." "Ya, aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau Dina

    Last Updated : 2024-10-11

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bara Kakaknya Dina!

    Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Kenapa Harus Dia?

    Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Nayla Mau Dijodohkan

    Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku

DMCA.com Protection Status