Pagi itu, udara dingin menyelimuti sekolah. Aku merasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.
Mungkin perasaan cemas dari semalam masih membekas di benakku. Pertemuan dengan Dina yang terasa begitu janggal terus terbayang-bayang, seolah membuat langkahku menuju ke sekolah terasa lebih berat. Begitu tiba di depan pintu ruang OSIS, aku melihat Dina sedang berdiri di sana untuk menungguku. Sejenak, aku merasa ragu untuk melangkah lebih dekat. Namun, aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini. “Nayla,” panggil Dina dengan nada yang lebih serius dari biasanya begitu aku semakin mendekat. Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang. “Iya, Dina? Ada apa?” Dina menarik napas dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang besar. “Kita perlu bicara. Sekarang!” Aku bisa merasakan udara di sekitar kami mendadak berubah, seolah-olah tekanan aneh mulai mengelilingi kami. Dina bukan orang yang suka berbasa-basi dan cara bicaranya membuatku semakin cemas. Tanpa banyak berkata-kata, aku mengikuti langkahnya menuju salah satu sudut taman sekolah yang jauh dari keramaian. Dina berhenti di bawah pohon besar yang rimbun. Dia berbalik menghadapku dengan tatapan yang sangat tajam. Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku tahu perbincangan ini tidak akan menyenangkan. “Nayla,” dia mulai dengan nada dingin. “Aku akan berbicara langsung saja ya. Aku minta kamu jaga jarak dari Arga.” Kata-katanya seperti petir yang menyambar. Aku terdiam, berusaha mencerna maksud dari peringatan itu. “Maksud kamu apa, Dina?” tanyaku dengan suara pelan, meski aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya. “Maksudku jelas,” Dina menjawab dengan tegas. “Aku tahu kamu dan Arga semakin dekat, tapi aku tidak ingin itu berlanjut. Arga punya banyak tanggung jawab sebagai ketua OSIS dan hubungan pribadi kalian hanya akan mengganggu fokusnya saja. Tentu, aku juga gak suka liat kamu dekat sama Arga.” Aku merasakan dadaku sesak. Peringatan Dina ini bukan sekadar kekhawatiran tentang tanggung jawab Arga. Ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-katanya, perasaannya jelas-jelas lebih dari sekadar urusan organisasi. “Dina, aku nggak pernah berniat mengganggu tugas Arga,” jawabku, berusaha mempertahankan ketenanganku. “Kami cuma teman dan aku juga selalu membantu dia dalam pekerjaannya di OSIS.” Dina menyilangkan tangannya, wajahnya terlihat semakin tajam. “Teman ya? Hanya itu yang kamu pikirkan?” Aku menggigit bibir, mencoba menahan diri untuk tidak terpancing emosi. “Ya, kami hanya teman. Tapi... kamu juga tahu Arga yang bilang dia suka sama aku kan?” Tatapanku bertemu dengan mata Dina yang tiba-tiba tampak lebih gelap. Bibirnya sedikit tertarik ke bawah, seolah dia mencoba menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar. “Aku tahu,” jawabnya dengan suara rendah. “Tapi itulah masalahnya. Arga tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya saat ini. Dia butuh fokus dan kamu... kamu hanya akan membuatnya semakin terbebani.” Pernyataan itu membuat darahku mendidih. Dina berbicara seolah-olah dia tahu apa yang terbaik untuk Arga lebih dari siapa pun, bahkan lebih dari Arga itu sendiri. Aku mencoba menenangkan diriku sebelum menjawab. “Arga sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri, Dina,” kataku tegas. “Aku rasa bukan hak kita untuk menentukan apa yang dia butuhkan apa yang tidak.” Dina tersenyum sinis, senyum yang membuat hatiku semakin tidak nyaman. “Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang Arga hanya karena dia bilang suka sama kamu? Jangan naif Nayla. Kamu baru mengenal sisi kecil dari dirinya.” Aku merasa terpojok. Dina benar-benar tahu bagaimana caranya menekan seseorang. Tetapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku sudah cukup lama bersama Arga dalam berbagai kegiatan OSIS dan aku bisa merasakan perasaan itu tumbuh dengan tulus. “Dina,” kataku dengan suara yang lebih rendah, mencoba berbicara dengan tenang. “Aku tidak tahu apa masalah kamu sebenarnya, tapi aku nggak akan mundur hanya karena kamu merasa tidak nyaman. Kalau Arga butuh ruang, dia yang akan bicara langsung padaku bukan kamu.” Dina menatapku dengan intens. Untuk sesaat, dia tidak menjawab. Tapi kemudian dia mendekat, suaranya berubah menjadi hampir berbisik dan penuh ancaman. “Kamu pikir aku nggak tahu perasaanmu? Kamu suka Arga kan? Kamu berharap bisa pacaran dengannya. Tapi biar aku kasih tahu satu hal Nayla! aku nggak akan tinggal diam. Arga adalah temanku, dan aku nggak akan biarkan siapa pun mengacaukan hidupnya termasuk kamu.” Aku merasakan napas di tenggorokanku tersendat. Ancaman Dina begitu nyata dan aku tahu dia tidak main-main. Tetapi dalam hatiku, aku tidak bisa begitu saja mundur hanya karena seseorang menyuruhku. “Aku nggak akan berhenti berteman dengan Arga Dina,” jawabku tegas. “Kalau kamu punya masalah dengan itu, sebaiknya kamu bicara langsung sama dia. Bahkan, kamu juga bukan seseorang yang spesial di hidup Arga.” Dina tersenyum tipis, lalu menepuk pundakku dengan lembut. “Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang akan bertahan lebih lama. Aku tidak akan biarkan kamu mengganggu dia lebih jauh.” Setelah berkata begitu, Dina berbalik dan meninggalkanku sendirian di taman. Langkahnya cepat dan pasti, seolah dia yakin bahwa apa pun yang dia katakan akan terjadi sesuai keinginannya. Aku berdiri diam di tempatku, mencoba menenangkan hatiku yang bergejolak. Aku merasa dipojokkan. Dina jelas-jelas tidak hanya peduli tentang tanggung jawab Arga di OSIS, tetapi juga perasaannya sendiri terhadap Arga. Dia melihatku sebagai ancaman dan kini aku terperangkap dalam situasi di mana aku harus memilih antara menjaga perasaanku sendiri atau menghindari konflik ini. --- Sepanjang hari itu, pikiranku dipenuhi oleh kata-kata Dina. Ketika aku melihat Arga, aku merasa ada jarak yang tak kasat mata antara kami. Rasanya aneh berbicara dengannya setelah ancaman yang Dina lontarkan padaku. Namun, di saat yang sama aku tidak bisa membiarkan perasaan takut ini menguasai diriku. Arga berhak tahu apa yang sedang terjadi dan aku harus jujur padanya tentang percakapanku dengan Dina. Sore itu, setelah semua kegiatan sekolah selesai aku menemui Arga di ruang OSIS. Dia sedang membereskan beberapa dokumen di mejanya. Arga tersenyum begitu melihatku, tetapi senyum itu segera memudar ketika dia melihat ekspresi wajahku. “Nayla, kamu baik-baik aja?” tanyanya penuh perhatian. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Arga... ada sesuatu yang harus aku bicarakan sama kamu.” Dia mengernyit terlihat bingung. “Ada apa? Kamu kelihatan nggak enak hati.” Aku menatap matanya, berusaha mencari cara terbaik untuk menyampaikan ini. “Dina tadi bicara sama aku. Dia bilang aku harus menjauh dari kamu.” Arga terlihat terkejut, bahkan sedikit tidak percaya. “Dina? Kenapa dia bilang begitu?” “Aku rasa... dia khawatir kalau kedekatan kita bisa mengganggu fokus kamu di OSIS,” jawabku, meski aku tahu ada alasan lain di balik sikap Dina. Arga terdiam sejenak, mencerna perkataanku. Lalu, dia menghela napas panjang. “Aku nggak tahu kenapa Dina berpikir seperti itu, tapi aku minta maaf kalau ini membuat kamu merasa nggak nyaman. Kamu nggak perlu dengerin apa yang Dina bilang.” Aku menggeleng. “Bukan soal nyaman atau nggak Arga. Aku cuma... nggak mau ada masalah antara kita bertiga.” Arga menatapku dengan tatapan serius, lalu dia meraih tanganku. “Dina nggak punya hak untuk memutuskan siapa yang bisa dekat sama aku. Kita yang tahu apa yang kita rasakan Nay. Jadi tolong, jangan biarkan ini mempengaruhi kita.” Aku menatap Arga, untuk pertama kalinya aku merasa yakin bahwa apa pun yang terjadi aku tidak akan mundur. Tapi di sudut hatiku, aku tahu pertempuran dengan Dina belum selesai. Ini baru awal dari sesuatu yang lebih besar.Senja mulai turun melukiskan langit dengan warna jingga yang memudar. Aku duduk di bangku taman sekolah, tempat di mana aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama.Suara desiran angin dan daun-daun yang berguguran memberikan ketenangan, namun hari ini rasanya ada sesuatu yang berbeda. Hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya.Arga duduk di sebelahku, pandangannya tertuju pada hamparan pepohonan yang mengelilingi taman.Kami hanya berdua di sini, dalam keheningan yang entah mengapa terasa nyaman. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.“Nayla,” Arga memanggil namaku dengan nada lembut namun tegas.Aku menoleh, mataku bertemu dengan matanya yang berkilau di bawah cahaya senja. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda dari biasanya yaitu sesuatu yang lebih dalam.“Ada yang mau aku omongin,” lanjutnya. Suaranya sedikit bergetar, seperti sedang menyembunyikan perasaan yang selama ini dia pendam.Jantungku mulai berdegup kencang. Apa ini momen yang selama ini aku tunggu? Aku
Hari itu, ruangan OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, selalu ada suara canda tawa atau obrolan ringan yang membuat suasana jadi hangat.Tapi hari ini, rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami semua.Aku duduk di kursiku, memandang ke arah Dina yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.Arga ada di dekat pintu, memeriksa beberapa agenda acara yang akan kami adakan minggu depan.Meski kami berada di ruangan yang sama, rasanya ada jarak yang begitu lebar di antara kami, khususnya antara Dina, Arga, dan aku.Sejak kejadian di taman sekolah kemarin, Dina tidak lagi berbicara pada kami.Tatapannya dingin setiap kali bertemu denganku, dan aku bisa merasakan bahwa dia berusaha sebisa mungkin mengabaikan keberadaanku. Suasana ini membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin suasana OSIS jadi seperti ini, tapi aku juga tahu bahwa ini tidak bisa dihindari."Sudah selesai semua agendanya?" suara Arga memecah keheningan.Dia menoleh ke arah Dina, berharap mendapat resp
Sekolah sudah hampir selesai dan aku merasa lega karena akhirnya bisa pulang setelah melewati hari yang panjang. Pikiranku masih dipenuhi dengan kejadian di ruang OSIS tadi, tentang bagaimana Dina keluar dengan penuh amarah, dan bagaimana Arga terlihat begitu bingung menghadapi situasi itu. Meskipun aku tahu semuanya tidak akan selesai begitu saja, aku berusaha menenangkan diri.Saat aku berjalan menuju gerbang sekolah, aku memutuskan untuk melewati jalan pintas di samping gedung kelas yang biasanya sepi. Aku ingin cepat sampai di halte sebelum hujan turun, karena langit sudah tampak semakin gelap. Namun, langkahku terhenti ketika samar-samar aku mendengar suara yang tidak asing. Itu suara Arga. Jantungku berdegup lebih kencang secara tiba-tiba.Tanpa sadar, aku melangkah lebih pelan mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal. Ketika aku mendekati sudut gedung, aku menyadari bahwa Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka berdiri di dekat pohon besar, sedikit tersembunyi da
Setiba di rumah, aku langsung melempar tas ke sofa dan menuju kamar tanpa berkata apa-apa. Semua kejadian hari ini terlalu membebani pikiranku dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Bagaimana bisa, Arga yang selama ini kupercayai berbicara seperti itu kepada Dina? Janji yang ia buat terdengar seperti janji kepada seseorang yang lebih dari sekedar teman.Aku terduduk di pinggir tempat tidur, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tetapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu menyeruak memenuhi dadaku dengan rasa sakit yang tak bisa kubendung lagi. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Rasa sakit itu terlalu besar, seolah-olah hatiku baru saja dihancurkan oleh seseorang yang paling kupercaya.Arga... Kenapa kamu harus membuat janji seperti itu pada Dina? Bukankah kamu sudah memilihku? Bukankah kamu bilang kamu suka padaku?Aku tidak tahu harus berpikir apa. Apakah aku terlalu cepat percaya pada Arga? Apakah semua yang kami lalui h
Setelah perbincangan panjang dan emosional dengan Arga sore itu, aku memutuskan untuk mencoba memaafkannya. Hatiku masih belum sepenuhnya tenang, tapi aku tahu bahwa hubungan tidak bisa dibangun tanpa kepercayaan dan pengertian. Meski sulit, aku ingin mempercayainya lagi. Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya aku melihat dia benar-benar merasa bersalah.“Kamu mau jalan-jalan gak malam ini?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada yang sedikit ceria yang mencoba mencerahkan suasana.Aku memandangnya sedikit ragu. "Jalan-jalan?"“Ya, kita pergi aja supaya kamu bisa merasa lebih baik. Aku bisa izin ke orang tua kamu,” lanjutnya sambil tersenyum kecil berharap aku akan setuju.Meski aku masih bingung dengan perasaanku, tapi aku mengangguk pelan. Mungkin jalan-jalan bisa membantu kami memperbaiki keadaan. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan semuanya.Setelah Arga berpamitan dan berjanji akan menjemputku nanti malam, aku menghela napa
Malam itu, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kejadian di taman. Dina mungkin masih marah. Meskipun bayangan Dina sempat membuat hatiku terguncang, setidaknya malam itu berakhir dengan perasaan sedikit lebih ringan. Arga mengantarku pulang dengan senyum kecil di wajahnya, hal itu membuatku merasa bahwa hubungan kami akan tetap baik-baik saja.Namun, semua ketenangan itu sirna ketika aku sampai di sekolah keesokan paginya. Begitu aku melangkahkan kaki ke gerbang sekolah, suasana di sekeliling terasa berbeda. Ada bisikan-bisikan yang samar namun terasa mengarah padaku. Langkahku semakin pelan saat aku melewati beberapa siswa yang berbisik dengan nada mengejek. Beberapa dari mereka bahkan menatapku dengan tatapan sinis. Aku mencoba mengabaikannya, tapi hatiku mulai merasa tidak nyaman. Apakah ada sesuatu yang tidak beres? Aku mempercepat langkah menuju kelas, berharap aku bisa segera bertemu Maya. Dia mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, sepanjang p
Ruang OSIS terasa semakin menyempit dengan kehadiran Dina yang berdiri di antara aku dan Arga. Suara detak jantungku masih berdebar kencang setelah mendengar semua gosip yang tersebar di sekolah. Dina masih berdiri di depan kami, dengan senyum tipis yang sulit kuterjemahkan. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku tidak nyaman. Bagaimana mungkin Dina terlibat dalam semua ini? Apakah benar dia yang menyebarkan gosip tentang aku dan Arga?Aku mencoba menenangkan diriku sejenak. Tidak ada gunanya terburu-buru membuat kesimpulan. Tapi mengingat Dina ada di taman malam itu, aku tidak bisa menahan rasa curiga yang terus menghantuiku.Aku memberanikan diri untuk bertanya. "Dina, aku mau tahu. Kamu ada di taman malam itu kan? Kamu melihat aku dan Arga. Apa... apa kamu yang menyebarkan gosip ini?"Suasana tiba-tiba terasa mencekam. Mata Dina menatapku tajam, seolah-olah pertanyaanku adalah sebuah penghinaan yang tidak bisa dimaafkan. Dia mendekatkan dirinya padaku, dan aku bisa merasak
Kami berjalan berdua menuju ruang guru. Tanganku masih gemetar setelah membaca pesan misterius yang kuterima. Arga menggenggam tanganku erat mencoba menenangkanku, tetapi pikiran-pikiranku tidak bisa berhenti memutar ulang kalimat-kalimat di pesan itu."Kamu kira bisa lolos dari ini? Ini baru permulaan Nayla. Awas saja."Siapa yang tega melakukan ini? Aku tidak pernah merasa begitu takut dan terpojok sebelumnya. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagiku, kini berubah menjadi arena gosip dan kebencian."Arga," suaraku bergetar saat berbicara. "Bagaimana kalau kita tidak bisa menghentikan ini? Bagaimana kalau gosip ini terus menyebar dan menghancurkan semuanya?"Arga menoleh padaku, tatapannya penuh dengan keyakinan. "Aku janji Nay. Kita akan selesaikan ini. Siapa pun yang mengirim pesan itu, dia pengecut. Kita akan laporkan ke pihak sekolah dan mereka akan bertindak."Aku ingin mempercayai Arga, tapi rasa takut yang mendalam terus menghantuiku. Semua orang di sekolah
Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku