Share

Tanda yang Tak Terduga

Pagi itu, seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama, hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS daripada buku pelajaran.

Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan, ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku.

Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku?

“Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku.

Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak lebih cepat, meski aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkannya.

“Pagi Arga,” jawabku sambil mencoba terlihat santai, meskipun di dalam hati ada perasaan gugup yang tak bisa kusangkal.

“Kamu udah selesai review laporan kemarin?” tanyanya sambil melangkah mendekat.

Aku mengangguk, lalu dengan cepat membuka tas dan mengeluarkan map berisi laporan yang sudah kurevisi.

“Ini, sudah kuperiksa semuanya. Ada beberapa yang perlu diperbaiki, tapi sebagian besar sudah oke.”

Dia mengambil map itu dan membuka halamannya, membaca sekilas. Setelah beberapa detik, dia mengangguk.

“Bagus. Kamu cepat belajar Nayla. Aku suka cara kamu bekerja.”

Sederhana. Hanya pujian kecil. Tapi anehnya, kata-katanya itu membuat hatiku terasa hangat.

Aku mencoba tersenyum sambil berkata.

“Terima kasih. Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik.”

Arga menutup mapnya dan kembali menatapku, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut.

“Kamu nggak cuma berusaha, kamu berhasil. Aku benar-benar senang kamu mau bergabung di OSIS.”

Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa spesial. Entah apa, tapi aku tahu saat itu, dia tidak hanya sekadar membicarakan tentang pekerjaanku sebagai sekretaris.

Ada perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-katanya. Aku mencoba mengabaikan perasaan itu, tapi semakin hari, semakin sulit untuk menghilangkannya.

“Kamu juga kok. Aku banyak belajar dari kamu,” balasku, berusaha menjaga percakapan tetap profesional.

Dia hanya tersenyum lagi sebelum berkata.

“Kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk tanya aku. Aku selalu ada kalau kamu butuh apa pun.”

Tatapan matanya yang dalam membuatku merasa ada makna lebih dari sekadar ‘bantuan’.

Saat itulah aku mulai berpikir, mungkinkah ini benar-benar tanda-tanda kalau dia mulai menyukaiku?

---

Sepanjang hari itu, pikiran tentang Arga tak lepas dari benakku. Setiap kali aku melihatnya di kejauhan, ada perasaan hangat yang menjalar di dadaku.

Tapi di sisi lain, aku tak bisa mengabaikan perasaan canggung yang perlahan-lahan mulai tumbuh. Bagaimana jika aku salah menafsirkan? Bagaimana jika Arga memang hanya bersikap baik sebagai seorang ketua OSIS?

Ketika aku sedang asyik merenung di kelas, Maya tiba-tiba duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan penasaran.

“Ada apa Nay? Kamu kelihatan aneh hari ini,” tanyanya sambil memiringkan kepalanya.

“Aneh gimana?” Aku mencoba bersikap biasa saja, meskipun jelas-jelas aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku.

Maya memicingkan mata, seperti sedang mengamatiku dengan sangat serius.

“Kamu sering banget bengong dari tadi. Ada apa? Masalah OSIS?”

Aku menggeleng, meski sebenarnya ada kebenaran di balik ucapannya.

“Nggak, cuma... ya, aku lagi banyak mikir.”

“Mikirin Arga ya?” goda Maya dengan senyum jahilnya.

Aku terkejut dan langsung memandangnya dengan tatapan tak percaya.

“Hah? Nggak! Bukan itu.”

Maya tertawa kecil, lalu menyentuh pundakku.

“Ayolah Nay. Kamu nggak bisa bohong sama aku. Aku tahu banget cara kamu lihat Arga. Lagian, aku juga lihat tadi pagi waktu kalian ngobrol. Arga kelihatan beda waktu ngomong sama kamu.”

“Beda gimana maksudnya?” tanyaku penasaran, meski aku tahu mungkin Maya hanya menggoda.

Maya menatapku serius sejenak sebelum menjawab.

“Dia kelihatan... lebih perhatian. Tatapan dia beda, kayak lebih lembut. Kamu nggak merasa?”

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Maya. Apa yang dia katakan mungkin benar. Memang, akhir-akhir ini Arga lebih sering tersenyum padaku, dan kata-katanya selalu diiringi dengan nada yang lebih hangat.

Tapi, apakah ini benar-benar tanda kalau dia suka padaku? Atau mungkin aku hanya terlalu berharap?

“Ah, udahlah, jangan mikir yang aneh-aneh,” Maya melanjutkan sambil tertawa kecil.

“Yang penting, kalau memang ada sesuatu antara kalian, biarin aja berjalan dengan sendirinya.”

Aku hanya tersenyum canggung.

“Iya, mungkin aku terlalu mikir berlebihan.”

---

Sore harinya, aku kembali ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa tugas tambahan. Saat itu, ruangan agak sepi, hanya ada beberapa anggota yang sibuk di sudut ruangan.

Aku duduk di mejaku, mulai memeriksa daftar peserta acara seminar yang harus diverifikasi.

Saat aku sedang fokus bekerja, aku mendengar pintu ruang OSIS terbuka. Aku mendongak dan melihat Arga masuk, berjalan ke arahku. Jantungku langsung berdegup lebih cepat.

“Nayla, kamu sendirian di sini?” tanyanya dengan suara lembut.

Aku mengangguk.

“Iya, lagi ngecek daftar peserta seminar.”

Arga duduk di kursi sebelahku, memperhatikan daftar yang sedang kubaca. Dia tak langsung bicara, hanya duduk diam di sana, seolah menikmati suasana tenang di ruangan itu.

Setelah beberapa saat, dia membuka suara.

“Kamu kelihatan capek. Gimana kalau kita istirahat sebentar?”

Aku mengerutkan kening.

“Istirahat? Tapi ini masih banyak yang harus diberesin.”

Arga tersenyum kecil.

“Nggak perlu buru-buru. Kadang istirahat sebentar bisa bikin kamu lebih fokus lagi nanti. Ayo kita ke taman sekolah sebentar. Udara segar bisa bikin pikiranmu lebih jernih.”

Saran itu terdengar menggoda. Lagipula, aku memang butuh istirahat setelah seharian berkutat dengan angka dan data.

“Oke, kalau cuma sebentar.”

Kami berjalan keluar dari ruang OSIS, menuju taman sekolah yang letaknya tak jauh. Suasana sore yang sejuk dengan angin sepoi-sepoi membuat suasana terasa nyaman.

Kami duduk di bangku panjang di bawah pohon, memandangi lapangan yang mulai kosong karena jam sekolah sudah hampir selesai.

“Aku senang kamu mau ikut OSIS, Nay,” Arga memecah keheningan dengan suara lembutnya.

Aku menoleh ke arahnya.

“Kenapa? Bukannya aku masih sering bikin kesalahan?”

Dia tertawa kecil.

“Kita semua pernah bikin kesalahan. Tapi yang penting, kamu selalu berusaha memperbaiki. Dan itu yang aku kagumi dari kamu.”

Tatapan matanya lagi-lagi membuatku merasa spesial. Aku tidak tahu apakah ini benar-benar sebuah pengakuan, tapi di dalam hati, aku mulai merasakan perasaan yang lebih dalam terhadap Arga.

“Terima kasih,” ucapku pelan, berusaha mengendalikan debaran jantungku.

Kami duduk di sana, dalam keheningan yang nyaman. Rasanya, duduk di samping Arga seperti ini membuatku merasa... lebih tenang, lebih dekat dengannya. Dan mungkin, tanpa aku sadari, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih.

Arga mungkin memang mulai menyukaiku. Tapi apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku tidak tahu. Yang pasti, hatiku sudah mulai terikat pada senyumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status