Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Ada beberapa catatan rapat sebagai tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta ada jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan.
Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini? Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang. Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban. "Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri. Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih. Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri. Namun, kenyataan lebih sulit dari sekadar kata-kata motivasi. Keesokan harinya, ketika aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas OSIS, aku langsung diserbu oleh beberapa anggota pengurus lainnya. Semua orang tampak sibuk, berlarian ke sana kemari membicarakan berbagai persiapan untuk acara besar yang akan diadakan sekolah minggu depan. “Nayla, ini laporan keuangan yang perlu kamu review untuk acara bazar minggu depan. Tolong kirimkan ke bendahara ya,” ucap seorang anggota OSIS sambil menyodorkan setumpuk kertas. Belum sempat aku merespons, seorang siswa lain datang membawa map hijau. “Oh iya, ini daftar peserta seminar yang perlu kamu periksa juga. Ada beberapa nama yang harus diverifikasi ulang.” Mataku membelalak. “Tunggu, aku harus melakukan semua ini sekarang?” Mereka hanya mengangguk dan berlalu tanpa penjelasan lebih lanjut. Aku berdiri di koridor dengan dua setumpuk tugas di tanganku, aku bingung harus memulai dari mana. Ini baru hari pertama, tapi rasanya aku sudah ada di titik kewalahan. Aku menuju ruang OSIS dengan langkah pelan. Ruangan itu lebih ramai dari biasanya, semua orang tampak sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa di antaranya sibuk mengetik di laptop, sementara yang lain duduk berdiskusi serius di sudut ruangan. Dari balik pintu, aku melihat Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka tampak dekat. Meski percakapan mereka terlihat serius, ada senyuman kecil yang selalu menghiasi wajah Dina setiap kali Arga berbicara. Aku merasa sedikit tak nyaman melihat mereka berdua. Meski aku tahu itu tak ada hubungannya denganku, tetap saja ada rasa tak enak di hatiku. Aku meletakkan tumpukan tugas di meja kerjaku, dan seolah Arga merasakan kehadiranku, lalu dia menoleh dan tersenyum. “Nayla, sudah siap dengan tugas-tugasmu?” tanyanya ramah sambil berjalan mendekat. Aku menelan ludah merasa sedikit gugup. “Aku sudah mendapat beberapa tugas tambahan untuk acara bazar dan seminar, tapi... sepertinya ini banyak sekali.” Arga tertawa kecil. “Kamu akan terbiasa. Hari-hari pertama memang berat, tapi setelah itu semuanya akan mengalir dengan sendirinya.” Aku tersenyum tipis, meski di dalam hati aku masih merasa ragu. Semua ini mungkin memang biasa bagi Arga, tapi untukku ini adalah dunia yang benar-benar baru. Aku tidak terbiasa dengan tekanan sebesar ini. Arga menepuk bahuku pelan. “Kalau ada yang membingungkan, kamu bisa tanya aku kapan saja. Atau kalau sibuk, kamu bisa tanyakan ke Dina. Dia juga siap membantu.” Aku hanya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar tawarannya. Setidaknya aku tidak harus menghadapi semua ini sendirian. --- Sepulang sekolah, aku langsung mengunci diri di kamar dan mulai bekerja. Seharusnya aku merasa senang karena sudah masuk OSIS, tapi rasa gugup dan beban yang tiba-tiba muncul ini membuat segalanya terasa berat. Aku mencoba memulai dengan meninjau laporan keuangan yang diberikan kepadaku tadi pagi. Tapi semakin lama aku memandang angka-angka di depan mataku, semakin aku merasa bingung. "Ini sulit sekali," gumamku frustasi. Aku tahu aku tidak boleh menyerah semudah ini, tapi aku tak bisa menahan rasa khawatir yang terus menghantui pikiranku. Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku malah merusak acara karena ketidakmampuanku? Semua orang terutama Arga sudah menaruh harapan besar padaku. Beberapa jam kemudian saat aku masih berkutat dengan laporan dan daftar peserta yang harus diverifikasi, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Maya masuk. Maya: “Lagi apa Nay? Jangan lupa istirahat ya. Jangan terlalu memaksakan diri.” Aku tersenyum kecil melihat pesannya. Maya selalu tahu kapan aku butuh dukungan. Aku mengetik balasan cepat. Nayla: “Tugasnya banyak banget May. Baru hari pertama udah pusing.” Tidak butuh waktu lama sampai Maya membalas. Maya: “Pasti bisa Nay! Kamu kan pintar. Lagian, siapa yang bisa nolak kalau Arga yang minta? 😉” Aku terkekeh. Maya dan khayalannya tentang Arga selalu bisa membuatku tertawa di tengah kepanikan. Tapi di balik candaannya, aku tahu dia benar-benar peduli. --- Keesokan harinya, aku merasa sedikit lebih baik. Walau masih ada banyak tugas yang belum selesai, aku mulai belajar untuk membagi waktu dan memprioritaskan pekerjaan. Setelah beberapa hari, aku pun mulai terbiasa dengan ritme OSIS. Namun, bukan berarti semua berjalan mulus. Siang itu, ketika aku sedang mengerjakan laporan di ruang OSIS, Dina datang mendekat. Dia tersenyum ramah, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman. “Nayla, sudah berapa lama kamu bergabung dengan OSIS?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengernyit, sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Baru beberapa hari.” Dina mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang. “Kamu tahu, menjadi sekretaris OSIS itu bukan tugas yang mudah. Kamu harus bisa mengatur waktu dan tanggung jawabmu dengan baik. Arga mungkin percaya padamu, tapi jangan sampai kamu membuatnya kecewa.” Aku tertegun mendengar ucapannya. “Aku akan berusaha sebaik mungkin.” Dina tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya terasa lebih dingin. “Aku harap begitu. Karena Arga punya ekspektasi tinggi. Dia butuh seseorang yang bisa diandalkan, bukan yang justru membawa masalah.” Perkataannya meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan di hatiku. Aku tahu Dina mungkin bermaksud baik, tapi entah kenapa ucapannya terdengar seperti peringatan seolah dia meragukan kemampuanku. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi kata-katanya terpatri dalam pikiranku sepanjang hari. Sepulang sekolah, aku merasa beban di pundakku semakin berat. Dina benar. Aku tak boleh membuat kesalahan. Jika aku gagal, aku bukan hanya mengecewakan diriku sendiri, tapi juga Arga dan seluruh tim OSIS. Aku memandang bayanganku di cermin. Sosok gadis yang berdiri di depanku tampak rapuh dan ragu-ragu. Ini bukan diriku yang biasa. Aku tak boleh membiarkan ketakutan ini menghancurkan segalanya. Dengan tekad baru, aku memutuskan untuk membuktikan bahwa aku bisa. Dina mungkin meragukanku, tapi aku tidak akan menyerah. Tidak untuk sekarang. Ini baru awal dari perjalanan panjang di OSIS, dan aku harus siap menghadapi segala rintangannya.Pagi itu seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS di banding buku pelajaran. Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar. Namun, di balik semua itu ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku. Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku? “Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berd
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS. Tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap harinya yaitu perhatian Arga. Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa buatku. Pagi ini saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan senyuman hangat dan lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia mengeluar
Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta
Setelah percakapan sore itu di taman, suasana antara aku dan Arga terasa berbeda. Meski kami belum resmi menjadi sepasang kekasih, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Ada ketegangan manis di antara kami, ketegangan yang selalu muncul setiap kali kami saling bertatapan atau berbicara.Meski perasaan kami sudah jelas, ada sesuatu yang menahan kami untuk melangkah lebih jauh, entah itu keraguan atau ketakutan akan perubahan yang mungkin terjadi.Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin membuatku tidak tenang. Di satu sisi, aku bahagia karena tahu Arga juga merasakan hal yang sama denganku.Tapi di sisi lain, aku merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang, menunggu saat yang tepat untuk melompat. Dan entah kenapa, meski aku ingin melompat, aku juga takut akan apa yang terjadi setelahnya.Pagi itu, saat aku tiba di sekolah, aku melihat Arga sedang berdiri di depan gerbang. Dia tampak menungguku. Jantungku berdebar kencang saat aku berjalan mendekatinya.“Nayla,” sapanya lembut saat ak
Angin sore yang sejuk menyapu wajahku ketika aku dan Arga duduk di bangku taman sekolah yang tersembunyi itu.Tempat yang dia bilang sebagai "tempat favoritnya" kini menjadi lokasi di mana perasaanku semakin tidak terkendali.Setelah Arga mulai menyatakan perasaannya padaku sebelumnya, perasaan antara kami seolah semakin nyata. Meskipun statusnya belum terikat dalam sebuah hubungan yang resmi.Namun, di tengah percakapan kami yang santai, takdir sepertinya ingin bermain sedikit dengan suasana.Ketika kami sedang berbicara dengan lebih intim, seseorang tiba-tiba muncul. Dina sebagai wakil ketua OSIS yang juga teman dekatnya Arga mendadak berada di hadapan kami."Arga? Nayla?" Suara Dina terdengar mengejutkan, sehingga menciptakan suasana tiba-tiba menjadi kaku.Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas saat melihat kami berdua duduk bersama di tempat tersembunyi ini.Aku bisa merasakan aliran darahku mengalir cepat. Aku segera menegakkan tubuhku berusaha terlihat biasa, meskipun hat
Pagi itu, udara dingin menyelimuti sekolah. Aku merasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.Mungkin perasaan cemas dari semalam masih membekas di benakku. Pertemuan dengan Dina yang terasa begitu janggal terus terbayang-bayang, seolah membuat langkahku menuju ke sekolah terasa lebih berat.Begitu tiba di depan pintu ruang OSIS, aku melihat Dina sedang berdiri di sana untuk menungguku. Sejenak, aku merasa ragu untuk melangkah lebih dekat. Namun, aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini.“Nayla,” panggil Dina dengan nada yang lebih serius dari biasanya begitu aku semakin mendekat.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang.“Iya, Dina? Ada apa?”Dina menarik napas dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang besar.“Kita perlu bicara. Sekarang!”Aku bisa merasakan udara di sekitar kami mendadak berubah, seolah-olah tekanan aneh mulai mengelilingi kami.Dina bukan orang yang suka berbasa-basi dan cara bicaranya membuatku semakin cemas. T
Senja mulai turun melukiskan langit dengan warna jingga yang memudar. Aku duduk di bangku taman sekolah, tempat di mana aku dan Arga sering menghabiskan waktu bersama.Suara desiran angin dan daun-daun yang berguguran memberikan ketenangan, namun hari ini rasanya ada sesuatu yang berbeda. Hati ini berdegup lebih cepat dari biasanya.Arga duduk di sebelahku, pandangannya tertuju pada hamparan pepohonan yang mengelilingi taman.Kami hanya berdua di sini, dalam keheningan yang entah mengapa terasa nyaman. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama.“Nayla,” Arga memanggil namaku dengan nada lembut namun tegas.Aku menoleh, mataku bertemu dengan matanya yang berkilau di bawah cahaya senja. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda dari biasanya yaitu sesuatu yang lebih dalam.“Ada yang mau aku omongin,” lanjutnya. Suaranya sedikit bergetar, seperti sedang menyembunyikan perasaan yang selama ini dia pendam.Jantungku mulai berdegup kencang. Apa ini momen yang selama ini aku tunggu? Aku
Hari itu, ruangan OSIS terasa lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, selalu ada suara canda tawa atau obrolan ringan yang membuat suasana jadi hangat.Tapi hari ini, rasanya seperti ada tembok tak terlihat yang memisahkan kami semua.Aku duduk di kursiku, memandang ke arah Dina yang sedang sibuk dengan dokumen-dokumennya.Arga ada di dekat pintu, memeriksa beberapa agenda acara yang akan kami adakan minggu depan.Meski kami berada di ruangan yang sama, rasanya ada jarak yang begitu lebar di antara kami, khususnya antara Dina, Arga, dan aku.Sejak kejadian di taman sekolah kemarin, Dina tidak lagi berbicara pada kami.Tatapannya dingin setiap kali bertemu denganku, dan aku bisa merasakan bahwa dia berusaha sebisa mungkin mengabaikan keberadaanku. Suasana ini membuat dadaku sesak. Aku tidak ingin suasana OSIS jadi seperti ini, tapi aku juga tahu bahwa ini tidak bisa dihindari."Sudah selesai semua agendanya?" suara Arga memecah keheningan.Dia menoleh ke arah Dina, berharap mendapat resp
Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu
Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un
Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s
Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku