Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Catatan rapat, tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan.
Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini? Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang. Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban. "Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri. Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih. Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri. Namun, kenyataan lebih sulit dari sekadar kata-kata motivasi. Keesokan harinya, ketika aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas OSIS, aku langsung diserbu oleh beberapa anggota pengurus lainnya. Semua orang tampak sibuk, berlarian ke sana kemari, membicarakan berbagai persiapan untuk acara besar yang akan diadakan sekolah minggu depan. “Nayla, ini laporan keuangan yang perlu kamu review untuk acara bazar minggu depan. Tolong kirimkan ke bendahara ya,” ucap seorang anggota OSIS sambil menyodorkan setumpuk kertas. Belum sempat aku merespons, seorang siswa lain datang membawa map hijau. “Oh iya, ini daftar peserta seminar yang perlu kamu periksa juga. Ada beberapa nama yang harus diverifikasi ulang.” Mataku membelalak. “Tunggu, aku harus melakukan semua ini sekarang?” Mereka hanya mengangguk dan berlalu tanpa penjelasan lebih lanjut. Aku berdiri di koridor dengan dua setumpuk tugas di tanganku, bingung harus memulai dari mana. Ini baru hari pertama, dan rasanya aku sudah kewalahan. Aku menuju ruang OSIS dengan langkah pelan. Ruangan itu lebih ramai dari biasanya, semua orang tampak sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa di antaranya sibuk mengetik di laptop, sementara yang lain duduk berdiskusi serius di sudut ruangan. Dari balik pintu, aku melihat Arga sedang berbicara dengan Dina. Mereka tampak dekat, dan meski percakapan mereka terlihat serius, ada senyuman kecil yang selalu menghiasi wajah Dina setiap kali Arga berbicara. Aku merasa sedikit tak nyaman melihat mereka berdua. Meski aku tahu itu tak ada hubungannya denganku, tetap saja ada rasa tak enak di hatiku. Aku meletakkan tumpukan tugas di meja kerjaku, dan seolah Arga merasakan kehadiranku, dia menoleh dan tersenyum. “Nayla, sudah siap dengan tugas-tugasmu?” tanyanya ramah sambil berjalan mendekat. Aku menelan ludah, merasa sedikit gugup. “Aku sudah mendapat beberapa tugas tambahan untuk acara bazar dan seminar, tapi... sepertinya ini banyak sekali.” Arga tertawa kecil. “Kamu akan terbiasa. Hari-hari pertama memang berat, tapi setelah itu, semuanya akan mengalir dengan sendirinya.” Aku tersenyum tipis, meski di dalam hati aku masih merasa ragu. Semua ini mungkin memang biasa bagi Arga, tapi untukku, ini adalah dunia yang benar-benar baru. Aku tidak terbiasa dengan tekanan sebesar ini. Arga menepuk bahuku pelan. “Kalau ada yang membingungkan, kamu bisa tanya aku kapan saja. Atau kalau sibuk, kamu bisa tanyakan ke Dina. Dia juga siap membantu.” Aku hanya mengangguk, merasa sedikit lega mendengar tawarannya. Setidaknya aku tidak harus menghadapi semua ini sendirian. --- Sepulang sekolah, aku langsung mengunci diri di kamar dan mulai bekerja. Seharusnya aku merasa senang karena sudah masuk OSIS, tapi rasa gugup dan beban yang tiba-tiba muncul ini membuat segalanya terasa berat. Aku mencoba memulai dengan meninjau laporan keuangan yang diberikan kepadaku tadi pagi. Tapi, semakin lama aku memandang angka-angka di depan mataku, semakin aku merasa bingung. "Ini sulit sekali," gumamku frustasi. Aku tahu aku tidak boleh menyerah semudah ini, tapi aku tak bisa menahan rasa khawatir yang terus menghantui pikiranku. Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku malah merusak acara karena ketidakmampuanku? Semua orang terutama Arga, menaruh harapan besar padaku. Beberapa jam kemudian, saat aku masih berkutat dengan laporan dan daftar peserta yang harus diverifikasi, ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Maya masuk. Maya: “Lagi apa Nay? Jangan lupa istirahat ya. Jangan terlalu memaksakan diri.” Aku tersenyum kecil melihat pesannya. Maya selalu tahu kapan aku butuh dukungan. Aku mengetik balasan cepat. Nayla: “Tugasnya banyak banget May. Baru hari pertama udah pusing.” Tidak butuh waktu lama sampai Maya membalas. Maya: “Pasti bisa Nay! Kamu kan pintar. Lagian, siapa yang bisa nolak kalau Arga yang minta? 😉” Aku terkekeh. Maya dan khayalannya tentang Arga selalu bisa membuatku tertawa di tengah kepanikan. Tapi di balik candaannya, aku tahu dia benar-benar peduli. --- Keesokan harinya, aku merasa sedikit lebih baik. Walau masih ada banyak tugas yang belum selesai, aku mulai belajar untuk membagi waktu dan memprioritaskan pekerjaan. Setelah beberapa hari, aku pun mulai terbiasa dengan ritme OSIS. Namun, bukan berarti semua berjalan mulus. Siang itu, ketika aku sedang mengerjakan laporan di ruang OSIS, Dina datang mendekat. Dia tersenyum ramah, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman. “Nayla, sudah berapa lama kamu bergabung dengan OSIS?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengernyit, sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Baru beberapa hari.” Dina mengangguk pelan, lalu berkata dengan nada yang lebih tenang. “Kamu tahu, menjadi sekretaris OSIS itu bukan tugas yang mudah. Kamu harus bisa mengatur waktu dan tanggung jawabmu dengan baik. Arga mungkin percaya padamu, tapi jangan sampai kamu membuatnya kecewa.” Aku tertegun mendengar ucapannya. “Aku akan berusaha sebaik mungkin.” Dina tersenyum lagi, tapi kali ini senyumnya terasa lebih dingin. “Aku harap begitu. Karena Arga punya ekspektasi tinggi. Dia butuh seseorang yang bisa diandalkan, bukan yang justru membawa masalah.” Perkataannya meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan di hatiku. Aku tahu Dina mungkin bermaksud baik, tapi entah kenapa ucapannya terdengar seperti peringatan seolah dia meragukan kemampuanku. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi kata-katanya terpatri dalam pikiranku sepanjang hari. Sepulang sekolah, aku merasa beban di pundakku semakin berat. Dina benar. Aku tak boleh membuat kesalahan. Jika aku gagal, aku bukan hanya mengecewakan diriku sendiri, tapi juga Arga dan seluruh tim OSIS. Aku memandang bayanganku di cermin. Sosok gadis yang berdiri di depanku tampak rapuh dan ragu-ragu. Ini bukan diriku yang biasa. Aku tak boleh membiarkan ketakutan ini menghancurkan segalanya. Dengan tekad baru, aku memutuskan untuk membuktikan bahwa aku bisa. Dina mungkin meragukanku, tapi aku tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Ini baru awal dari perjalanan panjang di OSIS, dan aku harus siap menghadapi segala rintangannya.Pagi itu, seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama, hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS daripada buku pelajaran.Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan, ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar.Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku.Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku?“Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku.Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak le
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS, tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap hari yaitu perhatian Arga. Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa, lebih penuh makna. Pagi ini, saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan semangat, senyum hangat itu lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit, bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia
Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta
Hari itu, sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang, tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan.Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti.Tapi hari ini, tanpa aku sadari, semuanya akan berubah.Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa.Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa.Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat."Nayla, dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang pali
Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan. Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak. Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya, yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku. Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki. Pagi itu, aku duduk di tepi tempat tidurku, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya. Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!” Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri. Ketika sampai di sekolah, suasana tampak seperti biasa, keramaian siswa di lorong, tawa, dan obrolan yang riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku. Setiap