Share

Keputusan yang Berat

Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan.

Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak.

Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya, yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku.

Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki.

Pagi itu, aku duduk di tepi tempat tidurku, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya.

Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!”

Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri.

Ketika sampai di sekolah, suasana tampak seperti biasa, keramaian siswa di lorong, tawa, dan obrolan yang riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku.

Setiap kali aku melewati teman-temanku, aku merasa mereka sedang menatapku, meski mungkin itu hanya perasaanku saja.

Yang paling membuat jantungku berdebar adalah ketika aku harus melewati ruang OSIS. Ada rasa takut sekaligus penasaran yang bercampur di dalam dadaku.

“Apa kamu udah ambil keputusan?” suara Maya mengagetkanku dari belakang.

Dia muncul dengan senyum lebar dan penuh semangat, seolah-olah dia tahu aku akan berkata “iya.”

Aku menelan ludah, mencoba tersenyum padanya.

“Belum, May. Aku masih mikir.”

Maya menghela napas.

“Kamu ini terlalu banyak mikir, Nay. Lihat dari sisi positifnya deh! Kamu bakal kerja bareng Arga. Siapa tahu kan, kamu jadi lebih dekat dengannya?”

Aku menggeleng menahan tawa kecil.

“May, bukan itu masalahnya. Aku enggak yakin apakah aku bisa menjalani semua ini. Aku bukan tipe orang yang aktif di organisasi.”

“Justru itu! Mereka memilih kamu karena kamu punya potensi. Lagian, siapa yang tahu kamu enggak bisa kalau belum dicoba?”

Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan Maya. Mungkin dia ada benarnya. Mungkin ini memang kesempatan untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba sesuatu yang baru. Tapi tetap saja, ada perasaan takut yang tak bisa kutepis.

Kami melanjutkan perjalanan ke kelas, dan saat melewati koridor, tiba-tiba aku melihat sosok Arga dari jauh.

Dia sedang berdiri bersama beberapa anggota OSIS lain, tampak sedang berdiskusi tentang sesuatu.

Ketika mata kami bertemu, dia tersenyum tipis dan menganggukkan kepala ke arahku. Satu senyuman itu cukup untuk membuat jantungku berdegup lebih cepat.

“Lihat? Bahkan Arga sudah memperhatikan kamu,” bisik Maya pelan sambil tersenyum geli.

Aku hanya bisa tersenyum malu-malu, berusaha mengabaikan pipiku yang memerah. Entah kenapa, setiap kali melihat Arga, rasanya seperti ada magnet yang menarik perhatianku.

Tapi, aku tahu aku harus tetap fokus pada hal yang lebih penting sekarang yaitu keputusan yang harus kuambil.

---

Pelajaran pertama dimulai, aku berusaha keras untuk fokus, tapi pikiranku terus melayang ke arah tawaran itu. Kata-kata Arga berulang kali terngiang di kepalaku.

"Kami percaya kamu punya potensi, Nayla."

Potensi? Potensi apa? Aku tak pernah merasa punya sesuatu yang spesial.

Sampai akhirnya, bel istirahat berbunyi. Aku menutup buku catatanku dengan pelan, dan Maya langsung menghampiriku.

“Kamu harus kasih jawaban hari ini, kan?” tanyanya antusias.

Aku mengangguk pelan.

“Iya, hari ini.”

Maya menatapku serius.

“Kamu harus bilang ‘iya’ Nay. Aku yakin kamu bisa.”

Aku tersenyum kecut.

“Aku enggak tahu May. Rasanya masih berat.”

“Kalau kamu enggak coba, kamu enggak akan pernah tahu hasilnya.”

Perkataan Maya lagi-lagi menancap di pikiranku. Kali ini, aku merasa tidak punya alasan untuk menolak.

Apa yang dia katakan benar. Kalau aku tidak mencoba, aku tak akan pernah tahu apakah aku mampu atau tidak. Dan mungkin, jika aku menolak kesempatan ini, aku akan menyesalinya nanti.

Dengan hati yang masih setengah ragu, aku berdiri dari bangku dan memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS.

“Good luck!” seru Maya, memberikan semangat terakhir sebelum aku melangkah keluar kelas.

---

Ruang OSIS terasa lebih sunyi ketika aku masuk. Hanya ada beberapa anggota yang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Aku melangkah pelan, tiba-tiba Arga muncul dari balik pintu kaca kecil yang memisahkan ruangan kerja dan ruangan rapat.

“Nayla,” panggilnya dan aku segera menoleh.

Dia mendekat, wajahnya seperti tenang, tapi dengan sorot mata yang tajam.

“Jadi, kamu sudah bikin keputusan?”

Aku menggigit bibir bawahku, merasa gugup.

“Aku… aku sudah memikirkannya. Dan, aku rasa… aku akan terima tawaran kalian.”

Arga tersenyum, kali ini lebih lebar dari biasanya. Ada rasa lega di matanya yang membuatku sedikit tenang.

“Aku senang mendengarnya. Kami yakin kamu akan menjadi tambahan yang bagus untuk tim ini.”

“Terima kasih sudah memberi kesempatan,” balasku, meski di dalam hatiku masih ada keraguan kecil.

“Baik kalau begitu, nanti sore setelah pulang sekolah, kita adakan rapat kecil untuk membahas tugas-tugasmu. Bisa?”

Aku mengangguk, sedikit terkejut.

“Oh, ya. Tentu.”

“Bagus. Sampai nanti sore, Nayla.”

Aku pamit dan meninggalkan ruang OSIS dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ada kelegaan karena akhirnya aku membuat keputusan.

Tapi di sisi lain, aku tahu ini baru permulaan. Tugas sebagai sekretaris OSIS jelas bukan sesuatu yang bisa kuanggap enteng. Apa yang akan menantiku di depan?

---

Sore itu, aku kembali ke ruang OSIS seperti yang dijanjikan. Arga sudah menungguku bersama beberapa pengurus lainnya, termasuk Dina wakil ketua OSIS yang terkenal dengan kecantikannya dan kepintarannya.

Aku sering mendengar desas-desus bahwa Dina dan Arga dekat, tapi entahlah, aku tidak pernah tahu pasti.

“Selamat datang di tim, Nayla,” sapa Dina dengan senyum ramah, meski aku bisa merasakan Atau mungkin itu hanya perasaanku.

“Terima kasih Dina,” balasku, mencoba tersenyum balik.

Rapat dimulai, dan Arga menjelaskan tugas-tugasku sebagai sekretaris. Mendengar semua tanggung jawab yang harus aku pikul, aku mulai merasa sedikit kewalahan.

Tapi aku tahu, aku tidak bisa mundur sekarang. Aku sudah membuat keputusan, dan aku harus menjalankannya dengan baik.

Sepanjang rapat, aku berusaha fokus pada apa yang mereka jelaskan, meski sesekali aku mencuri pandang ke arah Arga.

Dia begitu tenang dan tegas, benar-benar terlihat seperti pemimpin yang diidolakan banyak siswa. Aku bisa melihat mengapa orang-orang begitu kagum padanya.

Rapat selesai setelah hampir satu jam, dan aku keluar dari ruang OSIS dengan tumpukan kertas di tangan yaitu catatan tentang rapat, daftar tugas, dan jadwal kegiatan yang harus aku pelajari.

Di balik semua itu, ada sedikit rasa bangga dalam diriku. Aku sudah melangkah keluar dari zona nyaman. Hari ini, aku resmi menjadi bagian dari OSIS.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status