Hari itu, sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.
SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang, tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan. Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti. Tapi hari ini, tanpa aku sadari, semuanya akan berubah. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa. Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa. Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat. "Nayla, dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang paling bersemangat setiap kali berbicara tentang cowok. Aku hanya menoleh dan tersenyum tipis. Arga? Siapa yang tidak kenal dengan Arga Pratama? Ketua OSIS yang terkenal kharismatik, tampan, dan tentu saja pintar. Dia selalu jadi topik hangat di sekolah. Meski tidak pernah berinteraksi langsung dengannya, aku tahu betapa kagumnya banyak siswi pada sosoknya. Termasuk Maya tentunya. "Tapi serius, Nay. Kamu enggak tertarik gitu?" lanjut Maya, kali ini menatapku serius. Aku tertawa kecil dan menggeleng. "Aku? Tertarik sama Arga? Hahaha, enggak mungkin, May. Lagian, dia bahkan enggak tahu kalau aku ada di sekolah ini." Maya mengerutkan kening. "Jangan pesimis gitu, dong. Kamu juga cantik kok Nay. Lagian, siapa tahu nasib baik lagi berpihak sama kamu." Aku hanya mengangkat bahu. Nasib baik? Itu mungkin tidak berlaku untukku. Tapi ya, tidak ada salahnya bermimpi sedikit, kan? Pagi itu berlanjut dengan biasa saja, sampai bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama dimulai, dan aku kembali tenggelam dalam buku catatanku, mencatat setiap hal yang diterangkan oleh guru. Jam-jam pelajaran berlalu tanpa ada kejadian yang istimewa, sampai akhirnya bel istirahat berbunyi. Ketika aku sedang asyik membuka kotak makan siangku di kantin bersama Maya, tiba-tiba ada seorang siswa laki-laki yang menghampiriku. Aku tidak mengenalnya, tapi seragamnya menunjukkan dia adalah salah satu pengurus OSIS. "Nayla Putri?" tanyanya tegas. Aku mengangkat kepala, sedikit bingung. "Iya, aku Nayla." "Kamu diminta untuk datang ke ruang OSIS sekarang. Ada yang ingin berbicara denganmu," katanya lagi, tanpa banyak penjelasan. Jantungku berdegup kencang. Ruang OSIS? Siapa yang ingin bertemu denganku di sana? Aku melirik Maya yang tampak sama terkejutnya denganku. "Siapa? Kenapa?" tanyaku pelan, merasa tak ada alasan bagiku dipanggil ke tempat itu. "Saya hanya diminta untuk menyampaikan pesan. Kamu bisa langsung ke sana sekarang." Dengan perasaan campur aduk, aku berdiri dari tempat dudukku. Maya tersenyum penuh harap. "Wah, jangan-jangan ini pertanda bagus, Nay. Mungkin kamu akan masuk OSIS!" Aku menatapnya skeptis. Aku? Masuk OSIS? Rasanya terlalu mengada-ada. Namun, karena tak ada pilihan lain, aku pun mengikuti arahan siswa itu menuju ruang OSIS. Ruang OSIS terletak di ujung gedung sekolah, sedikit terpisah dari kelas-kelas lainnya. Selama ini, aku tidak pernah punya alasan untuk masuk ke sana. Setiap kali melintasinya, aku hanya melihat dari luar, tempat itu selalu terlihat sibuk dan penuh dengan orang-orang yang berwibawa. Seperti Arga. Ketika aku tiba di depan pintu, napasku sedikit tertahan. Aku tidak tahu apa yang menantiku di balik pintu itu, tapi aku merasa jantungku semakin cepat berdetak. Aku mengetuk pintu pelan. "Permisi…" Pintu terbuka, dan di baliknya, berdiri seorang siswa yang tak lain adalah Arga Pratama. Dia berdiri dengan postur tegap, mengenakan seragam OSIS yang rapi. Matanya yang tajam menatapku sebentar, lalu dia tersenyum tipis. Senyum yang membuatnya terlihat lebih ramah daripada rumor yang kudengar. "Nayla Putri kan?" tanyanya, suaranya terdengar tenang dan serius. Aku mengangguk, mencoba menahan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. "Iya, aku Nayla. Kamu… Arga kan?" Dia tertawa kecil dan mengangguk. "Betul. Masuk, silakan duduk. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu." Tanpa banyak berpikir lagi, aku melangkah masuk ke ruangan itu. Di dalam, ada beberapa siswa OSIS lainnya yang sedang sibuk dengan tugas mereka. Ruangan itu dipenuhi poster kegiatan sekolah dan jadwal rapat. Arga menunjuk kursi di depan mejanya, dan aku pun duduk dengan perasaan tak menentu. "Kami sedang melakukan beberapa perombakan dalam kepengurusan OSIS," kata Arga membuka pembicaraan. "Dan setelah mempertimbangkan beberapa nama, kami ingin menawarkan posisi sekretaris OSIS kepadamu." Jantungku hampir berhenti mendengar kata-katanya. Sekretaris OSIS? Aku bahkan tak pernah terlibat dalam organisasi apapun di sekolah. Mengapa mereka memilihku? "Tapi… kenapa aku?" tanyaku bingung. "Aku bahkan tidak pernah ikut kegiatan OSIS sebelumnya." Arga tersenyum, kali ini sedikit lebih lebar. "Itu salah satu alasan kenapa kami memilihmu. Kami butuh seseorang yang bisa membawa perspektif baru. Dari catatan prestasi akademismu dan rekomendasi beberapa guru, kami yakin kamu adalah pilihan yang tepat." Aku menatapnya, masih tidak percaya. "Aku tidak tahu… Aku tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan OSIS." "Kami tidak butuh jawaban sekarang," kata Arga dengan nada tenang. "Pikirkan dulu. Tapi kami percaya, kamu punya potensi besar, Nayla." Aku duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Arga, ketua OSIS yang terkenal itu, baru saja memintaku bergabung menjadi sekretarisnya? Ini pasti mimpi kan? Setelah beberapa saat, Arga melanjutkan. "Kami ingin mendengar jawabanmu dalam dua hari. Tapi tolong, pertimbangkan ini baik-baik." Aku mengangguk pelan. Dua hari? Sepertinya itu terlalu cepat untuk mengambil keputusan sebesar ini. Tapi di sisi lain, tawaran ini mungkin adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali. Setelah pembicaraan singkat itu, aku pamit dan meninggalkan ruang OSIS dengan kepala penuh pertanyaan. Saat berjalan kembali ke kelas, Maya sudah menungguku dengan ekspresi penasaran. "Jadi, apa yang terjadi?" tanyanya antusias. Aku menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Mereka… mereka menawariku posisi sekretaris OSIS." Maya terkejut, lalu senyumnya merekah lebar. "Kamu bercanda kan? Itu luar biasa Nay!" "Tapi aku enggak tahu, May. Aku enggak pernah terlibat di OSIS. Kenapa mereka memilih aku?" Maya memegang bahuku erat. "Karena mereka melihat potensi kamu, Nay. Kamu harus terima ini! Ini kesempatan besar!" Aku terdiam, memikirkan kata-kata Maya. Benarkah aku punya potensi yang mereka lihat? Atau mungkin ini hanya kesalahan? Namun, satu hal yang pasti, sejak pertemuan dengan Arga, hidupku di sekolah tak akan pernah sama lagi.Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan. Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak. Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya, yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku. Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki. Pagi itu, aku duduk di tepi tempat tidurku, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya. Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!” Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri. Ketika sampai di sekolah, suasana tampak seperti biasa, keramaian siswa di lorong, tawa, dan obrolan yang riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa lebih intens untukku. Setiap
Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Catatan rapat, tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan.Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini?Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang.Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban."Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri.Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih.Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri.Namun, kenyataan lebih sulit dari sek
Pagi itu, seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama, hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS daripada buku pelajaran.Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan, ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar.Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku.Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku?“Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku.Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berdetak le
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS, tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap hari yaitu perhatian Arga. Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa, lebih penuh makna. Pagi ini, saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan semangat, senyum hangat itu lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit, bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia
Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta