Share

Pacarku Si Ketua OSIS
Pacarku Si Ketua OSIS
Author: Adela Ghani

Awal Tak Terduga

Author: Adela Ghani
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Hari itu sama seperti biasanya, aku melangkahkan kaki ke sekolah dengan setengah hati.

SMA Bintang Raya mungkin sekolah impian banyak orang. Tapi bagiku, itu hanya tempat di mana aku menjalani rutinitas yang membosankan.

Aku Nayla Putri, bukan siapa-siapa di sekolah ini. Bukan siswi berprestasi, bukan pula gadis populer. Aku hanyalah satu dari ratusan siswa yang berlalu-lalang di koridor sekolah tanpa meninggalkan jejak berarti.

Tapi hari ini, tanpa aku sadari semua kehidupanku akan berubah.

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana hari itu dimulai. Langit cerah, suasana sekolah ramai seperti biasa.

Teman-temanku sibuk membicarakan banyak hal, mulai dari tugas yang harus dikumpulkan hingga rumor tentang siapa yang sedang naksir siapa.

Aku hanya duduk di bangku kelas sambil mendengarkan obrolan mereka tanpa terlalu banyak ikut campur. Hanya sesekali tersenyum atau mengangguk jika diminta pendapat.

"Nayla dengerin deh, si Arga ketua OSIS itu makin keren aja, ya?" tanya Maya, sahabatku yang paling bersemangat setiap kali berbicara tentang cowok.

Aku hanya menoleh dan tersenyum tipis. Arga? Siapa yang tidak kenal dengan Arga Pratama? Ketua OSIS yang terkenal kharismatik, tampan, dan tentu saja pintar.

Dia selalu jadi topik hangat di sekolah. Meski tidak pernah berinteraksi langsung dengannya, aku tahu betapa kagumnya banyak siswi pada sosoknya. Termasuk Maya tentunya.

"Tapi serius, Nay. Kamu enggak tertarik gitu?" lanjut Maya, tapi kali ini menatapku dengan serius.

Aku tertawa kecil dan menggeleng.

"Aku? Tertarik sama Arga? Hahaha, enggak mungkin, May. Lagian dia bahkan enggak tahu kalau aku ada di sekolah ini."

Maya mengerutkan kening.

"Jangan pesimis gitu dong. Kamu juga cantik kok Nay. Lagian, siapa tahu nasib baik lagi berpihak sama kamu."

Aku hanya mengangkat bahu. Nasib baik? Itu mungkin tidak berlaku untukku. Tapi ya, tidak ada salahnya bermimpi sedikit, kan?

Pagi itu berlanjut dengan biasa saja, sampai bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama dimulai, dan aku kembali tenggelam dalam buku catatanku, aku mencatat setiap hal yang diterangkan oleh guru di depan kelas.

Jam-jam pelajaran berlalu tanpa ada kejadian yang istimewa, sampai akhirnya bel istirahat berbunyi.

Ketika aku sedang asyik membuka kotak makan siangku di kantin bersama Maya, tiba-tiba ada seorang siswa laki-laki yang menghampiriku. Aku tidak mengenalnya, tapi seragamnya menunjukkan dia adalah salah satu pengurus OSIS.

"Nayla Putri?" tanyanya tegas.

Aku mengangkat kepala, sedikit bingung.

"Iya, aku Nayla."

"Kamu diminta untuk datang ke ruang OSIS sekarang. Ada yang ingin berbicara denganmu," katanya lagi tanpa banyak penjelasan.

Jantungku berdegup kencang. Ruang OSIS? Siapa yang ingin bertemu denganku di sana? Aku melirik Maya yang tampak sama terkejutnya denganku.

"Siapa? Kenapa?" tanyaku pelan, merasa tak ada alasan bagiku dipanggil ke tempat itu.

"Saya hanya diminta untuk menyampaikan pesan. Kamu bisa langsung ke sana sekarang."

Dengan perasaan campur aduk, aku berdiri dari tempat dudukku. Maya tersenyum penuh harap.

"Wah, jangan-jangan ini pertanda bagus, Nay. Mungkin kamu akan masuk OSIS!"

Aku menatapnya skeptis. Aku? Masuk OSIS? Rasanya terlalu mengada-ada. Namun, karena tak ada pilihan lain, aku pun mengikuti arahan siswa itu menuju ruang OSIS.

Ruang OSIS terletak di ujung gedung sekolah, sedikit terpisah dari kelas-kelas lainnya. Selama ini, aku tidak pernah punya alasan untuk masuk ke sana.

Setiap kali melintasinya aku hanya melihat dari luar, tempat itu selalu terlihat sibuk dan penuh dengan orang-orang yang berwibawa. Ya seperti Arga.

Ketika aku tiba di depan pintu, napasku sedikit tertahan. Aku tidak tahu apa yang menantiku di balik pintu itu, tapi aku merasa jantungku semakin cepat berdetak.

Aku mengetuk pintu pelan.

"Permisi…"

Pintu terbuka, di baliknya berdiri seorang siswa yang tak lain adalah Arga Pratama. Dia berdiri dengan postur tegap mengenakan seragam OSIS yang rapi.

Matanya yang tajam menatapku sebentar, lalu dia tersenyum tipis. Senyum yang membuatnya terlihat lebih ramah daripada rumor yang kudengar.

"Nayla Putri kan?" tanyanya, suaranya terdengar tenang dan serius.

Aku mengangguk, mencoba menahan kegugupan yang tiba-tiba menyerang.

"Iya, aku Nayla. Kamu… Arga kan?"

Dia tertawa kecil dan mengangguk.

"Betul. Masuk silakan duduk. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu."

Tanpa banyak berpikir lagi, aku melangkah masuk ke ruangan itu. Di dalam, ada beberapa siswa OSIS lainnya yang sedang sibuk dengan tugas mereka.

Ruangan itu dipenuhi poster kegiatan sekolah dan jadwal rapat. Arga menunjuk kursi di depan mejanya, dan aku pun duduk dengan perasaan tak menentu.

"Kami sedang melakukan beberapa perombakan dalam kepengurusan OSIS," kata Arga membuka pembicaraan.

"Dan setelah mempertimbangkan beberapa nama, kami ingin menawarkan posisi sekretaris OSIS kepadamu."

Jantungku hampir berhenti mendengar kata-katanya. Sekretaris OSIS? Aku bahkan tak pernah terlibat dalam organisasi apapun di sekolah. Mengapa mereka memilihku?

"Tapi… kenapa aku?" tanyaku bingung.

"Aku bahkan tidak pernah ikut kegiatan OSIS sebelumnya."

Arga tersenyum, kali ini sedikit lebih lebar.

"Itu salah satu alasan kenapa kami memilihmu. Kami butuh seseorang yang bisa membawa perspektif baru. Dari catatan prestasi akademismu dan rekomendasi beberapa guru, kami yakin kamu adalah pilihan yang tepat."

Aku menatapnya masih tidak percaya.

"Aku tidak tahu… Aku tidak pernah berpikir untuk bergabung dengan OSIS."

"Kami tidak butuh jawaban sekarang," kata Arga dengan nada tenang.

"Pikirkan saja dulu. Tapi kami percaya, kamu punya potensi besar, Nayla."

Aku duduk diam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Arga, ketua OSIS yang terkenal itu baru saja memintaku bergabung menjadi sekretarisnya? Ini pasti mimpi kan?

Setelah beberapa saat, Arga melanjutkan bicaranya.

"Kami ingin mendengar jawabanmu dalam dua hari. Tapi tolong, pertimbangkan ini baik-baik."

Aku mengangguk pelan. Dua hari? Sepertinya itu terlalu cepat untuk mengambil keputusan sebesar ini. Tapi di sisi lain, tawaran ini mungkin adalah kesempatan yang tak akan datang dua kali.

Setelah pembicaraan singkat itu, aku pamit dan meninggalkan ruang OSIS dengan kepala penuh pertanyaan. Saat berjalan kembali ke kelas, Maya sudah menungguku dengan ekspresi penasaran.

"Jadi, apa yang terjadi?" tanyanya antusias.

Aku menatapnya dengan mata penuh kebingungan.

"Mereka… mereka menawariku posisi sekretaris OSIS."

Maya terkejut, lalu senyumnya merekah lebar.

"Kamu bercanda kan? Itu luar biasa Nay!"

"Tapi aku enggak tahu, May. Aku enggak pernah terlibat di OSIS. Kenapa mereka memilih aku?"

Maya memegang bahuku erat.

"Karena mereka melihat potensi kamu, Nay. Kamu harus terima ini! Ini kesempatan besar!"

Aku terdiam memikirkan kata-kata Maya. Benarkah aku punya potensi yang mereka lihat? Atau mungkin ini hanya kesalahan?

Namun satu hal yang pasti, sejak pertemuan dengan Arga, hidupku di sekolah tak akan pernah sama lagi.

Related chapters

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Keputusan yang Berat

    Dua hari berlalu lebih cepat dari yang kubayangkan, namun rasanya kepalaku masih penuh dengan kebingungan. Aku masih belum bisa memutuskan, apakah akan menerima tawaran menjadi sekretaris OSIS atau tidak. Sepintas, mungkin itu terlihat seperti kesempatan emas terutama di mata Maya yang terus-menerus mengingatkanku bahwa ini bisa jadi momen yang bisa mengubah hidupku. Tapi di sisi lain, aku merasa bimbang. OSIS bukan hal yang pernah kubayangkan akan aku masuki. Pagi itu aku duduk di tepi tempat tidurku sambil menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Maya. Maya: “Nay, kamu udah bikin keputusan belum? Plis jangan nolak! Ini kesempatan langka!” Aku menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselku di atas meja. Aku belum sempat menjawab pesan Maya karena aku masih memikirkan jawaban untuk diriku sendiri. Ketika sampai di sekolah, suasananya tampak seperti biasa. Ada keramaian siswa di lorong, canda tawa, dan obrolan yang cukup riuh. Tapi hari ini, semuanya terasa l

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Awal dari Tekanan

    Aku memandang tumpukan kertas yang kini memenuhi meja belajarku. Ada beberapa catatan rapat sebagai tugas-tugas yang harus kukerjakan sebagai sekretaris OSIS, serta ada jadwal kegiatan yang akan diadakan dalam beberapa minggu ke depan. Kepalaku mulai berdenyut. Sejak kapan hidupku jadi serumit ini? Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasanya baru kemarin aku menjalani hari-hari biasa tanpa harus memikirkan hal-hal yang rumit seperti sekarang. Sekolah, belajar, dan sesekali ngobrol dengan Maya di kantin. Tapi sekarang, aku punya tanggung jawab baru, tanggung jawab yang entah siap atau tidak aku emban. "Kamu bisa Nayla," bisikku pada diri sendiri, seolah meyakinkan diri. Aku memang sudah memutuskan untuk menerima tawaran sebagai sekretaris OSIS, jadi sekarang yang bisa kulakukan hanyalah menjalani dan membuktikan bahwa aku tidak salah memilih. Arga dan timnya telah memberikan kepercayaan kepadaku, dan aku tak ingin mengecewakan mereka atau diriku sendiri.

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Tanda yang Tak Terduga

    Pagi itu seperti biasa aku tiba di sekolah dengan membawa tumpukan berkas di dalam tas. Rasanya semakin lama hari-hariku lebih dipenuhi dengan dokumen OSIS di banding buku pelajaran. Tapi entah kenapa, meski aku masih merasa kewalahan ada sedikit rasa bangga yang mulai tumbuh di hatiku. Setidaknya, aku berhasil menyelesaikan beberapa tugas penting tanpa membuat kekacauan besar. Namun, di balik semua itu ada satu hal yang akhir-akhir ini membuat pikiranku terganggu yaitu Arga. Semenjak rapat sore itu, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia memperlakukanku. Setiap kali dia berbicara denganku, tatapannya terasa lebih hangat. Apakah ini hanya imajinasiku? Atau... apakah dia benar-benar mulai memperhatikanku? “Pagi Nayla,” suara yang sudah sangat kukenal tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sana dengan senyum khasnya. Seperti biasa, dia terlihat tenang dan percaya diri. Senyumnya itu selalu berhasil membuat jantungku berd

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Perhatian yang Mencuri Hati

    Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Aku semakin tenggelam dalam rutinitas sekolah dan OSIS. Tetapi ada sesuatu yang berbeda yang mengiringi langkahku setiap harinya yaitu perhatian Arga. Entah sejak kapan, dia mulai sering memperhatikan hal-hal kecil tentangku. Dari cara dia berbicara, cara dia tersenyum, hingga setiap gerakan sederhana yang dia lakukan saat berada di dekatku. Semuanya terasa lebih istimewa buatku. Pagi ini saat aku sedang berjalan menuju kelas, Arga tiba-tiba menghampiriku dengan langkah cepat. Wajahnya berseri-seri, seperti seseorang yang sudah lama menunggu kesempatan untuk bertemu. “Pagi Nayla!” sapanya dengan senyuman hangat dan lagi-lagi menghiasi wajahnya. Aku menoleh dan tersenyum padanya. “Pagi juga Arga. Kok kelihatannya semangat banget?” Dia tertawa kecil sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Aku baru beli ini, dan aku langsung kepikiran buat kasih ke kamu.” Aku mengernyit bingung dengan kata-katanya. Dari tangannya, dia mengeluar

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Hati yang Semakin Terikat

    Hari-hari setelahnya, perhatian Arga terasa semakin intens. Setiap pagi, dia selalu menyapa dengan senyum yang seolah-olah hanya untukku. Dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk bertanya tentang keadaanku, menawarkan bantuan, atau sekadar memastikan aku baik-baik saja. Meski awalnya aku merasa canggung, semakin hari, perhatian itu mulai kurasakan sebagai bagian dari rutinitasku. Aku mulai mengharapkan kehadirannya di setiap kesempatan bahkan tanpa kusadari. Pagi ini pun seperti biasa, aku tiba di sekolah lebih awal untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan OSIS yang tertunda. Saat aku sedang sibuk mengatur dokumen, pintu ruang OSIS terbuka. Aku sudah bisa menebak siapa yang datang bahkan sebelum mendongak. “Nayla, udah sarapan belum?” tanya Arga sambil berjalan ke arahku membawa sekotak makanan di tangannya. Aku mendongak, tersenyum padanya. “Belum. Masih sibuk ngerjain laporan ini. Kenapa?” Dia meletakkan kotak makanan itu di mejaku dan mendorongnya ke arahku. “Aku ta

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Antara Harapan dan Ragu

    Setelah percakapan sore itu di taman, suasana antara aku dan Arga terasa berbeda. Meski kami belum resmi menjadi sepasang kekasih, ada sesuatu yang tidak lagi sama. Ada ketegangan manis di antara kami, ketegangan yang selalu muncul setiap kali kami saling bertatapan atau berbicara.Meski perasaan kami sudah jelas, ada sesuatu yang menahan kami untuk melangkah lebih jauh, entah itu keraguan atau ketakutan akan perubahan yang mungkin terjadi.Hari-hari berlalu, dan perasaan itu semakin membuatku tidak tenang. Di satu sisi, aku bahagia karena tahu Arga juga merasakan hal yang sama denganku.Tapi di sisi lain, aku merasa seperti sedang berdiri di ambang jurang, menunggu saat yang tepat untuk melompat. Dan entah kenapa, meski aku ingin melompat, aku juga takut akan apa yang terjadi setelahnya.Pagi itu, saat aku tiba di sekolah, aku melihat Arga sedang berdiri di depan gerbang. Dia tampak menungguku. Jantungku berdebar kencang saat aku berjalan mendekatinya.“Nayla,” sapanya lembut saat ak

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Ketika Dina Mulai Menyadari

    Angin sore yang sejuk menyapu wajahku ketika aku dan Arga duduk di bangku taman sekolah yang tersembunyi itu.Tempat yang dia bilang sebagai "tempat favoritnya" kini menjadi lokasi di mana perasaanku semakin tidak terkendali.Setelah Arga mulai menyatakan perasaannya padaku sebelumnya, perasaan antara kami seolah semakin nyata. Meskipun statusnya belum terikat dalam sebuah hubungan yang resmi.Namun, di tengah percakapan kami yang santai, takdir sepertinya ingin bermain sedikit dengan suasana.Ketika kami sedang berbicara dengan lebih intim, seseorang tiba-tiba muncul. Dina sebagai wakil ketua OSIS yang juga teman dekatnya Arga mendadak berada di hadapan kami."Arga? Nayla?" Suara Dina terdengar mengejutkan, sehingga menciptakan suasana tiba-tiba menjadi kaku.Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang jelas saat melihat kami berdua duduk bersama di tempat tersembunyi ini.Aku bisa merasakan aliran darahku mengalir cepat. Aku segera menegakkan tubuhku berusaha terlihat biasa, meskipun hat

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Peringatan Dina

    Pagi itu, udara dingin menyelimuti sekolah. Aku merasa aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres.Mungkin perasaan cemas dari semalam masih membekas di benakku. Pertemuan dengan Dina yang terasa begitu janggal terus terbayang-bayang, seolah membuat langkahku menuju ke sekolah terasa lebih berat.Begitu tiba di depan pintu ruang OSIS, aku melihat Dina sedang berdiri di sana untuk menungguku. Sejenak, aku merasa ragu untuk melangkah lebih dekat. Namun, aku tahu cepat atau lambat aku harus menghadapi ini.“Nayla,” panggil Dina dengan nada yang lebih serius dari biasanya begitu aku semakin mendekat.Aku tersenyum kecil, berusaha tetap tenang.“Iya, Dina? Ada apa?”Dina menarik napas dalam, seolah sedang mempersiapkan dirinya untuk mengatakan sesuatu yang besar.“Kita perlu bicara. Sekarang!”Aku bisa merasakan udara di sekitar kami mendadak berubah, seolah-olah tekanan aneh mulai mengelilingi kami.Dina bukan orang yang suka berbasa-basi dan cara bicaranya membuatku semakin cemas. T

Latest chapter

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Memohon Kepada Bara

    Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pernikahan Dipercepat

    Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Arga Datang

    “Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Pertemuan di Parkiran

    Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Malam Panjang

    Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Apakah Ada Pilihan Lain?

    Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Bara Kakaknya Dina!

    Aku berdiri kaku di depan pintu, menatap sosok di hadapanku dengan penuh keterkejutan. Kak Bara? Tidak mungkin! Bagaimana bisa Papa menjodohkanku dengan Bara, kakak kelasku yang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala dan sering membuat onar? Dan yang lebih menggangguku, Bara adalah kakaknya Dina! Bara menatapku dengan ekspresi yang sulit kumengerti, ada sedikit sinis di matanya seolah dia menikmati situasi ini. Senyumnya terangkat di sudut bibirnya, penuh rasa percaya diri yang membuatku semakin tidak nyaman.“Bara, ini Nayla,” Papa memperkenalkanku dengan semangat. “Dia putri kami yang sangat berharga,” lanjutnya, bangga sekali seolah perjodohan ini adalah anugerah besar.Bara mengangguk pelan, tatapannya tak pernah lepas dari mataku. “Oh, aku sudah mengenal Nayla, Om,” katanya dengan nada yang begitu santai dan sedikit nakal. “Kami satu sekolah, dia sekretaris OSIS kan? Pacarnya si ketua OSIS si Arga,” tambahnya, kali ini dengan suara yang lebih rendah tapi cukup jelas un

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Kenapa Harus Dia?

    Saat melangkah keluar dari ruangan Papa, langkahku terasa berat. Jantungku masih berdetak kencang, dan pikiranku terus berputar. Bagaimana mungkin Papa ingin aku menikah dengan orang yang bahkan aku tidak kenal, sementara aku sudah memiliki Arga? Setiap detik yang berlalu, semakin banyak pertanyaan muncul dalam pikiranku.Di sampingku, Mama juga terlihat gelisah. Sesaat setelah pintu ruang perawatan tertutup, ia menoleh padaku."Nay, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, tapi aku tahu di balik suaranya ada kebingungan yang sama besarnya.Aku ingin menjawab, tapi bibirku terasa berat. Apa yang bisa aku katakan? Segala hal yang baru saja kudengar terasa tidak masuk akal. Seolah semua mimpi buruk ini hanya akan berakhir jika aku bisa terbangun dari tidur yang panjang."Ma... kenapa Papa tiba-tiba bicara soal perjodohan?" tanyaku akhirnya suaraku serak.Mama menghela napas panjang, tatapannya penuh kesedihan. "Papa mungkin hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Nay. Dia sayang s

  • Pacarku Si Ketua OSIS   Nayla Mau Dijodohkan

    Waktu terasa berjalan sangat lambat, bahkan suara jam di dinding seakan-akan menghantam telingaku dengan detakan yang begitu jelas. Setelah mengunjungi Papa tadi, aku dan Mama kembali duduk di ruang tunggu, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berdoa. Udara di sekitar kami terasa dingin, namun keringat terus mengalir di dahiku. Rasanya tubuhku tidak bisa menyesuaikan emosi yang kini sedang meledak-ledak.“Mama, Papa akan baik-baik saja,” gumamku untuk kesekian kalinya, meski dalam hati aku sendiri tak yakin pada kalimat itu.Mama hanya mengangguk, tapi tangannya yang bergetar saat meremas jemariku menunjukkan bahwa ia sama paniknya sepertiku. Matanya sembab, air matanya belum berhenti sejak dokter terakhir kali memberi kabar. Aku ingin sekali menenangkannya, tapi bagaimana mungkin ketika aku sendiri merasa seperti sedang tenggelam?Pikiranku kembali pada sosok Papa yang terbaring dengan berbagai alat medis menempel di tubuhnya. Gambaran itu terus berputar di kepalaku

DMCA.com Protection Status