"Jangan bicara begitu, Zubaidah." Hanya kata sesingkat itu yang bisa ia katakan saat aku telah mengambil keputusan agar dia kembali pada istrinya yang tengah hamil itu.
"Aku mungkin bisa bertahan dengan anakku, tapi wanita itu pasti akan mati syok mengetahui bahwa suaminya punya istri lain. Apa kau mau dia mengalami tekanan darah tinggi dan celaka?""Tidak.""Menurutmu aku akan diam saja kalau kau tidak mengambil solusi?"Sangat perlahan perkataanku padanya, sangat lirih dengan nada rendah namun lelaki itu sontak merasa khawatir dan cemas. Ekspresi tatapan matanya membulat tapi ia segera menurunkan pandangannya lagi."Menurutmu aku akan duduk manis di rumah dan tidak melakukan apapun?!""Aku mohon....""Lakukan sesuatu sebelum aku menemui mereka mengatakan yang sebenarnya.""Tolong jangan dulu, aku belum siap...""Lalu kenapa kau menikah jika kau belum sanggup mengkondisikan antara aku dan dirinya!"Satu bentakan saja membuatnya gugup, andai tidak kasihan pada anak mungkin gelas tebal berisi air dingin itu akan melayang ke wajahnya."Sejak kapan kau menikah? Kapan kau mengenal dan mulai menyukainya?"Lelaki itu hampir saja buka mulut untuk menjawabku tapi aku harus segera memberi isyarat agar dia tidak melanjutkannya."Aku mengenalnya di....""Tidak perlu! Jangan katakan apapun sebab jawaban itu seperti tombak yang akan menusuk hatiku. Terserah kau saja, aku tak mau tahu Mas.""Aku minta maaf, Zu.""Kau menusukku dari belakang Mas, kau membunuhku dengan cara yang kejam, mengambil kepercayaan lalu merusaknya dan membuat hatiku sengsara." Aku kembali menangis saat mengatakan itu semua, tapi tangisannya sudah tanpa suara.Sakit yang kurasa sekarang ini lebih pedih daripada pukulan atau siksaan cambuk sekalipun.Ternyata ini alasan mengapa wanita yang diselingkuhi suami mereka bertindak di luar nalar dan tak bisa berpikir jernih. Itu semua disebabkan oleh sensasi syok, tidak menyangka dan perasaan ditipu oleh orang yang mereka cintai. Perasaan semacam ini sangat buruk, sulit dilupakan dan merusak mental."Aku sangat malu padamu aku tidak bisa mengatakan apapun selain perkataan maaf.""Mungkin kau punya ide lain untuk menenangkan hatiku, itupun jika kau masih berminat bersamaku.""Aku akan melakukan apapun asal kau tenang.""Maukah kau meninggalkannya dan kembali bersamaku lalu kita pindah dari kota ini dan pergi mencari penghidupan yang lebih baik. Maukah kau melupakan segalanya?""Zu...." Raut wajah Mas Hisyam terlihat bingung dan galau."Tentu kau tidak mau kan' karena istrimu sedang hamil. Aku yakin, kau memberinya janji tidak akan meninggalkannya, seperti yang kau janjikan padaku, wanita itu pasti percaya padamu.""Yang kuinginkan adalah, semuanya baik-baik saja, Zubaidah. Anggap tidak ada yang terjadi," bisiknya sambil menyentuh bahuku."Kau ingin aku membohongi diriku? Kau ingin aku tetap bersikap baik-baik saja dan menganggap bahwa suamiku hanya milikku sendiri padahal kau mencintai orang lain?""Sebagaimana aku mencintaimu, aku juga mencintainya, jadi aku mohon, aku tidak ingin dipisahkan dari salah satu istriku.""Klise!" ujarku tertawa kecut. "Ungkapan demikian sudah sering diucapkan oleh banyak laki-laki.""Aku mungkin bisa berbeda, Zu.""Ya, tentu, kau berhasil menipuku, kau berhasil membuat keadaan seakan kau tidak pernah menikah lagi. Kau selalu ada untukku dan memberikanku kasih sayang yang sempurna, sehingga aku sempat tidak percaya bahwa kau benar-benar menikahinya. Aku sempat merasa bahwa ini semuanya halusinasi, sampai aku benar-benar tersadar bahwa wanita tadi menyebutmu sebagai suaminya.""Dia adalah asisten manager kantorku, dia anak yatim yang tumbuh di panti asuhan dan berusaha hidup mandiri seorang diri, dia baik, taat agama dan aku mulai menyukainya.""Kau tidak perlu menceritakan prosesmu padaku, sebab aku tidak ingin mendengarnya!"Aku langsung marah padanya, diceritakan tentang wanita itu saja benar-benar membuatku muak dan sakit hati. Kenapa dia harus mengatakan padaku kalau dia menyukai wanita itu dengan cara sedemikian rupa, apakah aku sungguh memiliki banyak kekurangan, sehingga dia melihat kesempurnaan dalam diri istri barunya?"Aku hanya ingin kau tahu latar belakangnya.""Aku tidak sepenasaran itu untuk mengetahuinya? Aku tidak mau tahu dan tidak ingin mendengarnya!""Dia tidak punya siapapun di dunia ini selain aku suaminya, Zu, aku mohon maafkan kami.""Tidak! Sebelum mengenalmu, apa dia hampir mati? bukankah kau yang bilang kalau dia berhasil menata kehidupannya dengan mandiri, lalu kenapa datang dan menjelma menjadi donatur tetap yang memberinya uang dan cinta?!""Ini sudah takdir."Aku terbelalak, kaget dan hanya bisa tertawa kecut tapi air mataku mengalir lagi. Mengalir karena sakit hati mendengar alasan yang sama sekali tidak masuk akal."Takdir katamu, Mas?""Zu, bukan begitu..." "Tidaklah bertemu seorang pria dan wanita lalu berjodoh kalau bukan atas kehendak dan izin Allah." Dia mulai membuat alasan lagi. "Ada beberapa nasib yang bisa ditentukan dan dipilih sendiri! perjodohan adalah takdir yang diupayakan. Jangan berdalih ini pilihan Tuhan, ini kehendakmu sendiri!""Zu ...""Berhentilah memohon, kau menikahinya tanpa sepengetahuanku sudah membuktikan kau menganggapku remeh. Kau tidak segan atau takut, itu membuktikan bahwa kau tidak menghargaiku!" "Astaghfirullah, aku sangat menghargaimu dan aku memuliakanmu.""Jika demikian, kenapa kau tidak bisa mengendalikan perasaan hatimu untuk menduakanku. Kenapa kau tega melakukannya!"Aku berteriak, mendekatinya mencengkram pakaiannya dan mengguncangnya berkali-kali. Kendati sudah berusaha untuk tetap tenang dan diam saja tapi lama-lama aku tidak bisa menahan diri. Mas Hisyam sendiri hanya menggeleng lesu dan dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Carilah solusi untuk
Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya. Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar. "Bund, makanlah sesuatu.""Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin."Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya.""Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata. Sudah
Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar. Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan
Pukul 07.00 pagi, anakku sudah rapi dengan seragamnya, meski tetap berangkat sekolah tapi putriku tetap berusaha untuk melengkapkan puasanya. Suamiku juga terlihat sudah rapi dan mengenakan sepatunya, seperti biasa dia dan anaknya akan berangkat bersama. "Bun boleh minta uang lebih tidak?""Untuk apa?""Aku naik angkot saja.""Tidak, kau akan berangkat dengan ayah!" Mas Hisyam segera menimpali percakapan kami. "Lebih enak naik angkot Bunda, ada temen-temen juga." Kan aku tidak menanggapi perkataan ayahnya tapi dia menghindar dan memilih untuk tetap naik angkot."Berangkat bersama Ayah akan lebih cepat dan tepat waktu. Kenapa kau seperti menghindari Ayah, seakan Ayah ini adalah najis.""Berangkat dulu ya Bunda sebelum aku telat," balasnya mencium pipiku. Gadis itu melewati ayahnya tanpa bicara apapun meski sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kau lihat itu?!" tanya Mas Hisyam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya keluargaku tak lagi menghargaiku.""Kau ingin dihargai tapi
Agar wanita itu tak semakin mendesak dan menggangguku maka kubiarkan dia untuk membayar belanjaan yang kubeli. Dia menggandeng ku ke arah kasir sementara mas hisyam mengikuti kami.Dia menawarkan barang-barang lain sebelum membayar belanjaanku itu."Mbak masih mau beli yang lain tidak?""Tidak, terima kasih." "Di kehamilanku yang sekarang, aku berharap tidak melakukan sesuatu yang membuat seseorang sakit hati, aku mencoba meminimalisir dosa dan terus berbagi agar aku mendapatkan berkah dan kehidupan yang lebih baik."Dia bilang kehamilanku yang sekarang apa sebelumnya ia pernah hamil? Berarti masih Islam sudah berhubungan lama dengannya."Oh, begitu ya, Semoga kau dapatkan Apa yang kau harapkan.""Makasih Mbak.""Total belanjaannya Rp2.100.000 nyonya." Kasir memberitahu wanita itu, wanita bernama Eva yang penampilannya telah membakar hatiku. Kaftan cantik dan rambut yang tergerai itu... Aku benar-benar cemburu padanya. "Pantas Mas Hisyam sangat tergila gila.""Mas minta kartunya, s
Aku tiba di rumah dengan hati remuk redam, tangisan kupecah sesaat setelah aku baru saja masuk ke dalam rumah, aku terjatuh rumah sakit tulang belulang tercerabut dari badan, aku menangis tak akan kehilangan separuh nyawa dan entah kenapa aku tidak bisa menghentikan gejolak kesedihan dan perasaan kecewa ini. Aku menangis sementara barang belanjaanku yang tadi jatuh begitu saja ke lantai. Meski berusaha untuk tetap tegar dan mencoba untuk tidak mendramatisir masalah tapi tetap saja ini adalah luka yang amat menyakitkan. Siapa yang bisa menyangkanya bahwa kehidupan kami yang harmonis hanya sia-sia saja.Siapa yang menduga kalau orang yang selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang itu, nyatanya punya orang lain yang dia idamkan. Sebagai satu-satunya wanita yang merasa sah menjadi istri dan memilikinya, tentu saja hatiku merasa hancur begitu tahu kalau ternyata ada yang lebih penting dibandingkan diri ini. Ya, wanita bernama Eva itu, dia amat cantik, eksotis dan mempesona, bahkan aku
Dia menangis di depanku, tapi aku jijik melihatnya. Aku ingin meludahi wajahnya tapi dia terus memelukku. Aku menangis meluapkan kekesalanku sementara ia menangis karena merasa bersalah.Entah sampai kapan kesedihan ini akan berakhir tapi yang jelas ini adalah penderitaan yang amat buruk.*Jujur setelah kejadian dan prahara itu, aku mulai merasa kalau mentalku terguncang, aku mulai merasa kehilangan setengah kewarasan dan sudah tidak fokus melakukan tugas-tugasku.Hari-hariku dipenuhi dengan air mata dalam kesengsaraan hati, aku tak lagi menemukan semangat atau punya alasan bertahan hidup dan melakukan yang terbaik. Aku yang selalu berdedikasi pada tugas rumah tangga dan peranku sebagai istri, kehilangan jati diri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali seperti semula. Aku hanya bisa murung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tercenung dan duduk sendirian, meringkuk sambil mengemas air mataku. Aku lebih sering meringkuk di sisi jendela kamar sambil menun
Napas pagi terasa begitu lambat dengan mendung pekat yang menjelaga di langit. Rintik hujan terdengar begitu syahdu, menciptakan sensasi serupa dukungan kesedihan di dalam hatiku. Alam dan keadaan sekitar seolah-olah ingin mengundang tangisanku untuk meleleh kembali dari pelupuk mata. Seperti posisiku semalam aku terbangun dan mendapati diriku meringkuk di lantai dalam keadaan kedinginan dan tidak ada seorangpun di kamar ini. Sebelum ini aku tidak pernah sengsara, suamiku akan memelukku di tempat tidur dan memastikan kalau selimut menutupi badan ini. Selagi aku belum mengetahui rahasianya, tidak semalam pun dia lewatkan tanpa bersama dengan anak dan istrinya, bahkan beberapa malam jadi malam yang penuh keromantisan dan karena dia pandai menuangkan madu asmara yang membuat segalanya jadi lebih manis. Ah, mengenang semua itu aku hanya mampu memejamkan mata dan mendesah, lalu kembali, air mata yang terasa asin membuat netra semakin pedih. "Seburuk ini rupanya." Aku berdoa agar cukup