Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.
Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar.Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan untuk anak dan suamiku."Aku tahu kalau kau lelah, jadi aku sudah menghangatkan makanan yang tadi."Aku tidak menjawab, melainkan langsung ke kamar anakku untuk membangunkan dan memintanya untuk sahur."Nak, makan dulu.""Nanti saja Bunda," jawabnya dari balik selimutnya."Ayah sudah menunggumu di meja makan.""Aku sudah mengambil sekotak susu dan apel, Bund. Aku ga mau sahur.""Kok tumben?"Aku bertanya padahal aku tahu alasannya, dia pasti masih kesal pada ayahnya."Ngantuk, Bun. Aku mau tidur aja."Aku kembali sambil menutup pintu, Mas Hisyam menatapku, berharap aku akan bergabung ke meja makan dan sahur dengannya. Aku hanya menggeleng sekilas lalu masuk ke dalam kamar."Kau tidak makan?""Tidak.""Tapi, besok kau akan puasa.""Aku baik baik saja," balasku dingin.Kututup pintu, mematikan lampu kamar lalu merebahkan diriku, meski aku sadar bahwa seranjang dan disentuh olehnya mungkin akan jadi sesuatu yang aneh, aku tidak bisa berbuat banyak selain pasrah dan meneteskan air mata."Mengapa tiba-tiba musibah ini datang dalam kehidupan kami? Mengapa harus poligami? Kenapa dia tidak menyiksa saja diriku dibandingkan dia harus membagi cintanya?"Ah, kenapa sakitnya begitu menyiksa seperti ini. Aku tidak mendaftar pernikahan untuk menghadapi ujian seberat ini. Hatiku ingin menjerit bahwa aku tak sanggup, tapi aku harus menjerit pada siapa.Sekitar setengah jam kemudian, aku masih belum mampu memejamkan mata, mas hisyam masuk ke dalam kamar dan bergabung ke tempat tidur. Dia membuka selimut lalu membaringkan dirinya. "Tidak biasanya kamu langsung tidur setelah sahur, biasanya kamu baca Alquran dan dilanjutkan dengan salat subuh.""Untuk apa aku beribadah sekuat tenaga dan berdoa agar Tuhan menjagamu, jika semua itu sia sia?""Astagfirullah Bunda kenapa kau berputus asa dengan doamu?""Karena semuanya sudah gagal, Mas.""Bunda...."lelaki itu menyentuh bahuku dari belakang, aku mencoba menepisnya dan membuat dia menjauh dariku."Jangan menyentuhku.""Aku minta maaf Bunda.""Pasti menyenangkan bagimu untuk membagi cinta dan kemesraan di tempat tidur. Apa wanita itu membangkitkan sisi kegairahanmu yang tersembunyi selama ini?!""Astaghfirullah.""Cukuplah bersikap religius padahal sebenarnya kau adalah iblis yang jahat.""Bund, menikah itu tidaklah dosa. Dan aku tidak akan menyakitimu jika aku bisa bersikap adil.""Meski kau ingin melakukannya itu tidak akan terjadi, Mas. Seorang pria pasti condong pada salah satu istrinya. Jangan munafik lagi, Mas. Tunjukkan saja bahwa kau memang lebih peduli padanya dibandingkan dengan kami.""Bund, aku tidak mau terus bertengkar seperti ini.""Nyatanya ... kau telah menyulut kebencian di dalam hatiku.""Aku bisa apa sekarang?""Bisakah kau memilih antara aku dan dia?""Tidak, Zubaidah. Aku mencintai kalian berdua dan aku yakin dengan segala keyakinan di hatiku, bahwa suatu saat kalian bisa saling menerima.""Oh ya, kau pikir aku dan dia mau pura-pura akrab dan saling menyayangi karena dirimu! omong kosong dari mana itu?!" Pertengkaran kembali tidak terelakkan hingga membuat putriku kembali mengetuk pintu kamar.Suamiku menyalakan lampu dan mendapati putrinya memandangi kami berada di ranjang yang sama."Ayah, boleh aku tidur sebentar?!""Tentu Nak.""Kalau begitu, tolong tenanglah.""Aku berusaha untuk menenangkan ibumu.""Satu-satunya cara adalah Ayah jangan sekamar dengan Bunda. Keluar dan menjauhlah.""Ayah tidak bisa begitu, Nak.""Kalau begitu bayangkan kalau ayah yang jadi Bunda! Kira-kira ayah akan bagaimana?!""Hah?!" Mas hisyam terperanjat.Kurasa tidak ada salahnya untuk mendidik putriku lebih dewasa daripada umurnya, karena dia berhasil memukul mental ayahnya dengan perkataan sederhana itu.Pukul 07.00 pagi, anakku sudah rapi dengan seragamnya, meski tetap berangkat sekolah tapi putriku tetap berusaha untuk melengkapkan puasanya. Suamiku juga terlihat sudah rapi dan mengenakan sepatunya, seperti biasa dia dan anaknya akan berangkat bersama. "Bun boleh minta uang lebih tidak?""Untuk apa?""Aku naik angkot saja.""Tidak, kau akan berangkat dengan ayah!" Mas Hisyam segera menimpali percakapan kami. "Lebih enak naik angkot Bunda, ada temen-temen juga." Kan aku tidak menanggapi perkataan ayahnya tapi dia menghindar dan memilih untuk tetap naik angkot."Berangkat bersama Ayah akan lebih cepat dan tepat waktu. Kenapa kau seperti menghindari Ayah, seakan Ayah ini adalah najis.""Berangkat dulu ya Bunda sebelum aku telat," balasnya mencium pipiku. Gadis itu melewati ayahnya tanpa bicara apapun meski sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kau lihat itu?!" tanya Mas Hisyam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya keluargaku tak lagi menghargaiku.""Kau ingin dihargai tapi
Agar wanita itu tak semakin mendesak dan menggangguku maka kubiarkan dia untuk membayar belanjaan yang kubeli. Dia menggandeng ku ke arah kasir sementara mas hisyam mengikuti kami.Dia menawarkan barang-barang lain sebelum membayar belanjaanku itu."Mbak masih mau beli yang lain tidak?""Tidak, terima kasih." "Di kehamilanku yang sekarang, aku berharap tidak melakukan sesuatu yang membuat seseorang sakit hati, aku mencoba meminimalisir dosa dan terus berbagi agar aku mendapatkan berkah dan kehidupan yang lebih baik."Dia bilang kehamilanku yang sekarang apa sebelumnya ia pernah hamil? Berarti masih Islam sudah berhubungan lama dengannya."Oh, begitu ya, Semoga kau dapatkan Apa yang kau harapkan.""Makasih Mbak.""Total belanjaannya Rp2.100.000 nyonya." Kasir memberitahu wanita itu, wanita bernama Eva yang penampilannya telah membakar hatiku. Kaftan cantik dan rambut yang tergerai itu... Aku benar-benar cemburu padanya. "Pantas Mas Hisyam sangat tergila gila.""Mas minta kartunya, s
Aku tiba di rumah dengan hati remuk redam, tangisan kupecah sesaat setelah aku baru saja masuk ke dalam rumah, aku terjatuh rumah sakit tulang belulang tercerabut dari badan, aku menangis tak akan kehilangan separuh nyawa dan entah kenapa aku tidak bisa menghentikan gejolak kesedihan dan perasaan kecewa ini. Aku menangis sementara barang belanjaanku yang tadi jatuh begitu saja ke lantai. Meski berusaha untuk tetap tegar dan mencoba untuk tidak mendramatisir masalah tapi tetap saja ini adalah luka yang amat menyakitkan. Siapa yang bisa menyangkanya bahwa kehidupan kami yang harmonis hanya sia-sia saja.Siapa yang menduga kalau orang yang selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang itu, nyatanya punya orang lain yang dia idamkan. Sebagai satu-satunya wanita yang merasa sah menjadi istri dan memilikinya, tentu saja hatiku merasa hancur begitu tahu kalau ternyata ada yang lebih penting dibandingkan diri ini. Ya, wanita bernama Eva itu, dia amat cantik, eksotis dan mempesona, bahkan aku
Dia menangis di depanku, tapi aku jijik melihatnya. Aku ingin meludahi wajahnya tapi dia terus memelukku. Aku menangis meluapkan kekesalanku sementara ia menangis karena merasa bersalah.Entah sampai kapan kesedihan ini akan berakhir tapi yang jelas ini adalah penderitaan yang amat buruk.*Jujur setelah kejadian dan prahara itu, aku mulai merasa kalau mentalku terguncang, aku mulai merasa kehilangan setengah kewarasan dan sudah tidak fokus melakukan tugas-tugasku.Hari-hariku dipenuhi dengan air mata dalam kesengsaraan hati, aku tak lagi menemukan semangat atau punya alasan bertahan hidup dan melakukan yang terbaik. Aku yang selalu berdedikasi pada tugas rumah tangga dan peranku sebagai istri, kehilangan jati diri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali seperti semula. Aku hanya bisa murung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tercenung dan duduk sendirian, meringkuk sambil mengemas air mataku. Aku lebih sering meringkuk di sisi jendela kamar sambil menun
Napas pagi terasa begitu lambat dengan mendung pekat yang menjelaga di langit. Rintik hujan terdengar begitu syahdu, menciptakan sensasi serupa dukungan kesedihan di dalam hatiku. Alam dan keadaan sekitar seolah-olah ingin mengundang tangisanku untuk meleleh kembali dari pelupuk mata. Seperti posisiku semalam aku terbangun dan mendapati diriku meringkuk di lantai dalam keadaan kedinginan dan tidak ada seorangpun di kamar ini. Sebelum ini aku tidak pernah sengsara, suamiku akan memelukku di tempat tidur dan memastikan kalau selimut menutupi badan ini. Selagi aku belum mengetahui rahasianya, tidak semalam pun dia lewatkan tanpa bersama dengan anak dan istrinya, bahkan beberapa malam jadi malam yang penuh keromantisan dan karena dia pandai menuangkan madu asmara yang membuat segalanya jadi lebih manis. Ah, mengenang semua itu aku hanya mampu memejamkan mata dan mendesah, lalu kembali, air mata yang terasa asin membuat netra semakin pedih. "Seburuk ini rupanya." Aku berdoa agar cukup
Ada dorongan tersendiri di hatiku serupa seperti bisikan ajaib yang memaksaku untuk mengikuti dan ingin melihat seperti apa hunian wanita itu. Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana dan sudah sejauh apa hubungan mereka. Syukur syukur, jika kebetulan aku bertemu dengan lelaki itu dan kita lihat ledakan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku bergandengan tangan dengan anakku sementara wanita itu menunjukkan jalan pada kami, "Aku ingin lihat rumahnya," bisik anakku pelan."Ya, mari kita lihat omong kosong yang dibangun ayahmu," balasku pelan juga. Lepas keluar dari pantai, kami berjalan sekitar 200 meter dan menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah komplek perumahan baru yang cukup bagus. Rumah wanita itu ada di blok B nomor 25, dia membukakan pintu gerbang dan menyambut kami dengan ucapan selamat datang. "Selamat datang di rumah saya Mbak.""Terima kasih, tapi aku penasaran kenapa kau begitu baik pada orang asing seperti kami. Padahal perjumpaan kita tanpa sengaja dan kau telah memba
Aku sudah tak tahan lagi berada di rumah wanita itu lebih lama lagi, meski aku tahu mengikutinya akan membuat hatiku semakin sakit tapi entah kenapa aku tadinya begitu penasaran. Seperti ekspektasiku, aku menemukan rahasia baru yang membuat perasaan ini semakin nelangsa dan berdarah-darah. "Tahukah Tante bahwa suami tante adalah ...."Mungkin karena merasa sudah sakit hati dan tak tahan lagi dengan penderitaan ibunya, putriku langsung berkata dengan lantang dan hendak mengatakan yang sebenarnya tentang ayahnya. "Adalah apa Nak?" Punya wanita hamil itu sambil tersenyum dan menata piring di atas meja, dia tetap menyiapkan berbuka puasa untuk aku dan anakku. Putriku melirik diri ini dan aku memberi isyarat dengan gelengan kepala. "Belum waktunya.""Adalah pria yang baik, tante.""Ah, kau pintar sekali, pasti ibumu bangga memiliki anak yang bijaksana dan pintar sepertimu, Nak.""Mudah-mudahan Tante, mudah-mudahan aku jadi alasan kebahagiaan untuk Bunda.""Kau benar-benar bijaksana dan
Jawabanku berhasil membuatnya terbungkam, selagi ia panik membangunkan istrinya anak kami masih sibuk makan di meja makan. "Ayo pulang, Nak.""Aku mau lihat dia bangun dan menangis Bunda.""Dia mungkin tidak akan menangis karena dia sudah memenangkan banyak hal dari ayahmu.""Dia tak dapat apapun dariku," bantah Mas Hisyam begitu mendengar percakapan kami."Benarkah?" Sekali lagi aku menghela nafasku. "Aku ingat tentang bonus bulanan yang diceritakannya padaku saat kalian belanja, Aku sama sekali tidak tahu kalau kau ternyata punya bonus, kupikir kalau kau menerima hadiah dari perusahaanmu maka orang pertama yang akan kau bagikan adalah anakmu. Ternyata tidak!""Astaga, aku belum sempat bercerita karena aku baru mendapatkannya sore itu rencananya setelah pulang baru aku akan bicara padamu.""Nyatanya, kau mengajak wanita itu berbelanja lebih dulu daripada kami!""Apa kau iri?""Tentu, dan lihatlah rumah ini, sangat jauh dari rumah kami. Kami tinggal di komplek perumahan biasa dan ak