Aku tiba di rumah dengan hati remuk redam, tangisan kupecah sesaat setelah aku baru saja masuk ke dalam rumah, aku terjatuh rumah sakit tulang belulang tercerabut dari badan, aku menangis tak akan kehilangan separuh nyawa dan entah kenapa aku tidak bisa menghentikan gejolak kesedihan dan perasaan kecewa ini. Aku menangis sementara barang belanjaanku yang tadi jatuh begitu saja ke lantai. Meski berusaha untuk tetap tegar dan mencoba untuk tidak mendramatisir masalah tapi tetap saja ini adalah luka yang amat menyakitkan. Siapa yang bisa menyangkanya bahwa kehidupan kami yang harmonis hanya sia-sia saja.Siapa yang menduga kalau orang yang selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang itu, nyatanya punya orang lain yang dia idamkan. Sebagai satu-satunya wanita yang merasa sah menjadi istri dan memilikinya, tentu saja hatiku merasa hancur begitu tahu kalau ternyata ada yang lebih penting dibandingkan diri ini. Ya, wanita bernama Eva itu, dia amat cantik, eksotis dan mempesona, bahkan aku
Dia menangis di depanku, tapi aku jijik melihatnya. Aku ingin meludahi wajahnya tapi dia terus memelukku. Aku menangis meluapkan kekesalanku sementara ia menangis karena merasa bersalah.Entah sampai kapan kesedihan ini akan berakhir tapi yang jelas ini adalah penderitaan yang amat buruk.*Jujur setelah kejadian dan prahara itu, aku mulai merasa kalau mentalku terguncang, aku mulai merasa kehilangan setengah kewarasan dan sudah tidak fokus melakukan tugas-tugasku.Hari-hariku dipenuhi dengan air mata dalam kesengsaraan hati, aku tak lagi menemukan semangat atau punya alasan bertahan hidup dan melakukan yang terbaik. Aku yang selalu berdedikasi pada tugas rumah tangga dan peranku sebagai istri, kehilangan jati diri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali seperti semula. Aku hanya bisa murung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tercenung dan duduk sendirian, meringkuk sambil mengemas air mataku. Aku lebih sering meringkuk di sisi jendela kamar sambil menun
Napas pagi terasa begitu lambat dengan mendung pekat yang menjelaga di langit. Rintik hujan terdengar begitu syahdu, menciptakan sensasi serupa dukungan kesedihan di dalam hatiku. Alam dan keadaan sekitar seolah-olah ingin mengundang tangisanku untuk meleleh kembali dari pelupuk mata. Seperti posisiku semalam aku terbangun dan mendapati diriku meringkuk di lantai dalam keadaan kedinginan dan tidak ada seorangpun di kamar ini. Sebelum ini aku tidak pernah sengsara, suamiku akan memelukku di tempat tidur dan memastikan kalau selimut menutupi badan ini. Selagi aku belum mengetahui rahasianya, tidak semalam pun dia lewatkan tanpa bersama dengan anak dan istrinya, bahkan beberapa malam jadi malam yang penuh keromantisan dan karena dia pandai menuangkan madu asmara yang membuat segalanya jadi lebih manis. Ah, mengenang semua itu aku hanya mampu memejamkan mata dan mendesah, lalu kembali, air mata yang terasa asin membuat netra semakin pedih. "Seburuk ini rupanya." Aku berdoa agar cukup
Ada dorongan tersendiri di hatiku serupa seperti bisikan ajaib yang memaksaku untuk mengikuti dan ingin melihat seperti apa hunian wanita itu. Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana dan sudah sejauh apa hubungan mereka. Syukur syukur, jika kebetulan aku bertemu dengan lelaki itu dan kita lihat ledakan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku bergandengan tangan dengan anakku sementara wanita itu menunjukkan jalan pada kami, "Aku ingin lihat rumahnya," bisik anakku pelan."Ya, mari kita lihat omong kosong yang dibangun ayahmu," balasku pelan juga. Lepas keluar dari pantai, kami berjalan sekitar 200 meter dan menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah komplek perumahan baru yang cukup bagus. Rumah wanita itu ada di blok B nomor 25, dia membukakan pintu gerbang dan menyambut kami dengan ucapan selamat datang. "Selamat datang di rumah saya Mbak.""Terima kasih, tapi aku penasaran kenapa kau begitu baik pada orang asing seperti kami. Padahal perjumpaan kita tanpa sengaja dan kau telah memba
Aku sudah tak tahan lagi berada di rumah wanita itu lebih lama lagi, meski aku tahu mengikutinya akan membuat hatiku semakin sakit tapi entah kenapa aku tadinya begitu penasaran. Seperti ekspektasiku, aku menemukan rahasia baru yang membuat perasaan ini semakin nelangsa dan berdarah-darah. "Tahukah Tante bahwa suami tante adalah ...."Mungkin karena merasa sudah sakit hati dan tak tahan lagi dengan penderitaan ibunya, putriku langsung berkata dengan lantang dan hendak mengatakan yang sebenarnya tentang ayahnya. "Adalah apa Nak?" Punya wanita hamil itu sambil tersenyum dan menata piring di atas meja, dia tetap menyiapkan berbuka puasa untuk aku dan anakku. Putriku melirik diri ini dan aku memberi isyarat dengan gelengan kepala. "Belum waktunya.""Adalah pria yang baik, tante.""Ah, kau pintar sekali, pasti ibumu bangga memiliki anak yang bijaksana dan pintar sepertimu, Nak.""Mudah-mudahan Tante, mudah-mudahan aku jadi alasan kebahagiaan untuk Bunda.""Kau benar-benar bijaksana dan
Jawabanku berhasil membuatnya terbungkam, selagi ia panik membangunkan istrinya anak kami masih sibuk makan di meja makan. "Ayo pulang, Nak.""Aku mau lihat dia bangun dan menangis Bunda.""Dia mungkin tidak akan menangis karena dia sudah memenangkan banyak hal dari ayahmu.""Dia tak dapat apapun dariku," bantah Mas Hisyam begitu mendengar percakapan kami."Benarkah?" Sekali lagi aku menghela nafasku. "Aku ingat tentang bonus bulanan yang diceritakannya padaku saat kalian belanja, Aku sama sekali tidak tahu kalau kau ternyata punya bonus, kupikir kalau kau menerima hadiah dari perusahaanmu maka orang pertama yang akan kau bagikan adalah anakmu. Ternyata tidak!""Astaga, aku belum sempat bercerita karena aku baru mendapatkannya sore itu rencananya setelah pulang baru aku akan bicara padamu.""Nyatanya, kau mengajak wanita itu berbelanja lebih dulu daripada kami!""Apa kau iri?""Tentu, dan lihatlah rumah ini, sangat jauh dari rumah kami. Kami tinggal di komplek perumahan biasa dan ak
"Kupikir dia benar Mas, sebagaimana hancurnya hatiku, aku yakin dia lebih hancur daripada ini. Kau telah membohongi kami Mas, kau bohong!" ucap wanita itu sambil mengguncang bahu mas Hisyam."Aku memang bersalah, tapi satu-satunya yang murni di hatiku adalah cinta untuk kalian. Di mata kalian itu adalah dosa besar, tapi bagiku, aku berusaha melakukan yang terbaik demi istri istriku!""Apa?!" Aku tercengang dengan mulut terbuka, lalu aku tertawa sambil menyadari bahwa ini benar-benar tidak masuk akal. "Tapi aku tidak merasa bahwa kau adil padaku.""Apa kau tidak ingat aku selalu ada untukmu dan selalu menghabiskan waktu di rumah denganmu. Mestinya aku juga selalu ada untuk Eva, karena dia sedang hamil. Aku yakin dia membutuhkan bantuanku tapi aku lebih mementingkan dirimu." Masih bisa bertutur sementara aku hanya mendecih menolak semua alasan itu. Semuanya hanya terdengar seperti kepalsuan dan pembenaran akan kebohongannya."Dengan segala alasan, aku berusaha meyakinkan Eva bahwa se
"Kau bertanya tentang apa keputusanku?""Ya!"Dengan menyerahkan segala keputusan pada diriku, dia seakan-akan mendorong diri ini untuk meninggalkan dirinya. Dia tidak memberiku pilihan untuk bertahan atau mencoba membuat keadaan jadi lebih baik. Keputusannya untuk menyerahkan segalanya padaku membuat hati ini semakin yakin kalau dia tak lagi peduli pada kami. "Jadi kau ingin serahkan semua keputusan tentang keluarga ini padaku?""Ya, sebab aku sudah bersalah menyakitimu.""Kenapa kau tidak bicara jujur saja, kau berharap agar aku menuntut perceraian kan?" "Tidak. bukankah sudah kubilang kalau aku berharap kau dan Eva bisa bersaudara dan saling berdamai.""Dan apa upayamu agar aku dan dia saling berdamai?!"Dia kembali menundukkan kepala saat aku menatapnya dengan tatapan tajam, saat dia kembali membalas tatapanku aku yang masih tidak berkedip melihatnya, membuatnya merasa tak nyaman."Memang aku belum memberi upaya apa-apa tapi percayalah, aku benar-benar ingin keluarga kita tetap