Ada dorongan tersendiri di hatiku serupa seperti bisikan ajaib yang memaksaku untuk mengikuti dan ingin melihat seperti apa hunian wanita itu. Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana dan sudah sejauh apa hubungan mereka. Syukur syukur, jika kebetulan aku bertemu dengan lelaki itu dan kita lihat ledakan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku bergandengan tangan dengan anakku sementara wanita itu menunjukkan jalan pada kami, "Aku ingin lihat rumahnya," bisik anakku pelan."Ya, mari kita lihat omong kosong yang dibangun ayahmu," balasku pelan juga. Lepas keluar dari pantai, kami berjalan sekitar 200 meter dan menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah komplek perumahan baru yang cukup bagus. Rumah wanita itu ada di blok B nomor 25, dia membukakan pintu gerbang dan menyambut kami dengan ucapan selamat datang. "Selamat datang di rumah saya Mbak.""Terima kasih, tapi aku penasaran kenapa kau begitu baik pada orang asing seperti kami. Padahal perjumpaan kita tanpa sengaja dan kau telah memba
Aku sudah tak tahan lagi berada di rumah wanita itu lebih lama lagi, meski aku tahu mengikutinya akan membuat hatiku semakin sakit tapi entah kenapa aku tadinya begitu penasaran. Seperti ekspektasiku, aku menemukan rahasia baru yang membuat perasaan ini semakin nelangsa dan berdarah-darah. "Tahukah Tante bahwa suami tante adalah ...."Mungkin karena merasa sudah sakit hati dan tak tahan lagi dengan penderitaan ibunya, putriku langsung berkata dengan lantang dan hendak mengatakan yang sebenarnya tentang ayahnya. "Adalah apa Nak?" Punya wanita hamil itu sambil tersenyum dan menata piring di atas meja, dia tetap menyiapkan berbuka puasa untuk aku dan anakku. Putriku melirik diri ini dan aku memberi isyarat dengan gelengan kepala. "Belum waktunya.""Adalah pria yang baik, tante.""Ah, kau pintar sekali, pasti ibumu bangga memiliki anak yang bijaksana dan pintar sepertimu, Nak.""Mudah-mudahan Tante, mudah-mudahan aku jadi alasan kebahagiaan untuk Bunda.""Kau benar-benar bijaksana dan
Jawabanku berhasil membuatnya terbungkam, selagi ia panik membangunkan istrinya anak kami masih sibuk makan di meja makan. "Ayo pulang, Nak.""Aku mau lihat dia bangun dan menangis Bunda.""Dia mungkin tidak akan menangis karena dia sudah memenangkan banyak hal dari ayahmu.""Dia tak dapat apapun dariku," bantah Mas Hisyam begitu mendengar percakapan kami."Benarkah?" Sekali lagi aku menghela nafasku. "Aku ingat tentang bonus bulanan yang diceritakannya padaku saat kalian belanja, Aku sama sekali tidak tahu kalau kau ternyata punya bonus, kupikir kalau kau menerima hadiah dari perusahaanmu maka orang pertama yang akan kau bagikan adalah anakmu. Ternyata tidak!""Astaga, aku belum sempat bercerita karena aku baru mendapatkannya sore itu rencananya setelah pulang baru aku akan bicara padamu.""Nyatanya, kau mengajak wanita itu berbelanja lebih dulu daripada kami!""Apa kau iri?""Tentu, dan lihatlah rumah ini, sangat jauh dari rumah kami. Kami tinggal di komplek perumahan biasa dan ak
"Kupikir dia benar Mas, sebagaimana hancurnya hatiku, aku yakin dia lebih hancur daripada ini. Kau telah membohongi kami Mas, kau bohong!" ucap wanita itu sambil mengguncang bahu mas Hisyam."Aku memang bersalah, tapi satu-satunya yang murni di hatiku adalah cinta untuk kalian. Di mata kalian itu adalah dosa besar, tapi bagiku, aku berusaha melakukan yang terbaik demi istri istriku!""Apa?!" Aku tercengang dengan mulut terbuka, lalu aku tertawa sambil menyadari bahwa ini benar-benar tidak masuk akal. "Tapi aku tidak merasa bahwa kau adil padaku.""Apa kau tidak ingat aku selalu ada untukmu dan selalu menghabiskan waktu di rumah denganmu. Mestinya aku juga selalu ada untuk Eva, karena dia sedang hamil. Aku yakin dia membutuhkan bantuanku tapi aku lebih mementingkan dirimu." Masih bisa bertutur sementara aku hanya mendecih menolak semua alasan itu. Semuanya hanya terdengar seperti kepalsuan dan pembenaran akan kebohongannya."Dengan segala alasan, aku berusaha meyakinkan Eva bahwa se
"Kau bertanya tentang apa keputusanku?""Ya!"Dengan menyerahkan segala keputusan pada diriku, dia seakan-akan mendorong diri ini untuk meninggalkan dirinya. Dia tidak memberiku pilihan untuk bertahan atau mencoba membuat keadaan jadi lebih baik. Keputusannya untuk menyerahkan segalanya padaku membuat hati ini semakin yakin kalau dia tak lagi peduli pada kami. "Jadi kau ingin serahkan semua keputusan tentang keluarga ini padaku?""Ya, sebab aku sudah bersalah menyakitimu.""Kenapa kau tidak bicara jujur saja, kau berharap agar aku menuntut perceraian kan?" "Tidak. bukankah sudah kubilang kalau aku berharap kau dan Eva bisa bersaudara dan saling berdamai.""Dan apa upayamu agar aku dan dia saling berdamai?!"Dia kembali menundukkan kepala saat aku menatapnya dengan tatapan tajam, saat dia kembali membalas tatapanku aku yang masih tidak berkedip melihatnya, membuatnya merasa tak nyaman."Memang aku belum memberi upaya apa-apa tapi percayalah, aku benar-benar ingin keluarga kita tetap
"Aku menghargainya, hanya saja aku menyesalkan Kenapa mereka bisa sampai menikah? Hubungan mereka sudah lama, Kenapa tidak terpisi sedikitpun untuk memberitahuku?!""Sudah ibu bilang, apa gunanya kau tahu jika itu akan menghancurkan keluarga kita, bagiku wanita itu hanya bayang-bayang dari dirimu yang dicari Hisyam dari wanita lain. Kupikir dia telah mendapatkan istri yang sempurna tapi kau tahu naluri seorang lelaki kan?'Benarkah aku diminta untuk memaklumi keegoisan anak mereka dengan bahasa halus bahwa itu hanya naluri seorang lelaki? dan aku tetaplah sebagai istri yang utama karena wanita itu hanya selingan saja. Benarkah demikian, halus rendah itukah Mertuaku memandang istri kedua dari Mas Hisyam? Jika memang demikian apa semua perangai buruk ini, Apakah suamiku dan orang tuanya adalah sama-sama orang yang jahat?Aku tidak bisa menilai ibu mertua baik padaku hanya karena semua kata-katanya yang manis itu, boleh jadi ini hanya cara untuk main aman agar aku tidak membencinya dan
Meski bibir ini berkata mengusirnya, namun aku ingin sekali dia tetap ada bersama kami dan membuktikan bahwa dia lebih mencintai kami. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa suamiku masih mencintaiku tapi segala angan-angan itu hanya berupa omong kosong saja.Suamiku sedang menggebu-gebu dalam cintanya untuk Eva. Jadi aku seperti orang ketiga yang hadir diantara Cinta mereka. Aku hanya seperti tembok penghalang di mata suamiku. Tidak ada yang lebih menggembirakan hatinya bila aku memberinya izin untuk menjumpai istrinya yang sedang hamil, jadi kulontarkan saja kalimat bahwa ia boleh ke sana. "Akan butuh waktu 20 menit dari rumah ini dan kau bisa tiba di sana sebelum adzan magrib lalu berbuka bersama istri tercintamu. Silakan berangkat sekarang.""Aku berharap bahwa kita bisa harmonis kembali dan makan bersama aku benar-benar menambahkan kebahagiaan itu.""Tapi kau tidak mengatur cara agar kita bisa bahagia seperti itu Mas. Andai kau minta izin baik-baik, mungkin aku akan lebih menghargai
Puasa terus bergulir, disela banyaknya masalah yang terjadi akhir-akhir ini aku tetap fokus berusaha menjalankan ibadah sebaik mungkin. Tetap salat tepat waktu, baca Alquran setelahnya dan tak lupa bersedekah ke masjid menjelang waktu berbuka puasa.Aku memang tidak yakin bahwa diriku sepenuhnya mendapatkan pahala yang sempurna, namun aku berusaha agar aku tidak mempermalukan diriku di mata Tuhan. Aku tahu ujian ini cukup berat, tapi Tuhan telah memberikan ini dalam takdirku jadi Dia pasti yakin aku bisa menghadapinya. Hari-hari setelah mengetahui kalau mas Hisyam telah menikah lagi telah mengubahku menjadi pribadi yang menyendiri. Di tengah keramaian dan lingkungan yang selalu mengundang diri ini pengajian dan kegiatan lainnya, aku merasa sebatang kara. Aku kesepian seakan tak seorangpun mengerti perasaan dan apa yang kurasakan. Pagi hari aku akan membersihkan rumah seperti biasa kemudian mengantar putriku ke sekolah, lalu, setelah itu aku akan pergi berbelanja. Siang hari ku h