Jawabanku berhasil membuatnya terbungkam, selagi ia panik membangunkan istrinya anak kami masih sibuk makan di meja makan. "Ayo pulang, Nak.""Aku mau lihat dia bangun dan menangis Bunda.""Dia mungkin tidak akan menangis karena dia sudah memenangkan banyak hal dari ayahmu.""Dia tak dapat apapun dariku," bantah Mas Hisyam begitu mendengar percakapan kami."Benarkah?" Sekali lagi aku menghela nafasku. "Aku ingat tentang bonus bulanan yang diceritakannya padaku saat kalian belanja, Aku sama sekali tidak tahu kalau kau ternyata punya bonus, kupikir kalau kau menerima hadiah dari perusahaanmu maka orang pertama yang akan kau bagikan adalah anakmu. Ternyata tidak!""Astaga, aku belum sempat bercerita karena aku baru mendapatkannya sore itu rencananya setelah pulang baru aku akan bicara padamu.""Nyatanya, kau mengajak wanita itu berbelanja lebih dulu daripada kami!""Apa kau iri?""Tentu, dan lihatlah rumah ini, sangat jauh dari rumah kami. Kami tinggal di komplek perumahan biasa dan ak
"Kupikir dia benar Mas, sebagaimana hancurnya hatiku, aku yakin dia lebih hancur daripada ini. Kau telah membohongi kami Mas, kau bohong!" ucap wanita itu sambil mengguncang bahu mas Hisyam."Aku memang bersalah, tapi satu-satunya yang murni di hatiku adalah cinta untuk kalian. Di mata kalian itu adalah dosa besar, tapi bagiku, aku berusaha melakukan yang terbaik demi istri istriku!""Apa?!" Aku tercengang dengan mulut terbuka, lalu aku tertawa sambil menyadari bahwa ini benar-benar tidak masuk akal. "Tapi aku tidak merasa bahwa kau adil padaku.""Apa kau tidak ingat aku selalu ada untukmu dan selalu menghabiskan waktu di rumah denganmu. Mestinya aku juga selalu ada untuk Eva, karena dia sedang hamil. Aku yakin dia membutuhkan bantuanku tapi aku lebih mementingkan dirimu." Masih bisa bertutur sementara aku hanya mendecih menolak semua alasan itu. Semuanya hanya terdengar seperti kepalsuan dan pembenaran akan kebohongannya."Dengan segala alasan, aku berusaha meyakinkan Eva bahwa se
"Kau bertanya tentang apa keputusanku?""Ya!"Dengan menyerahkan segala keputusan pada diriku, dia seakan-akan mendorong diri ini untuk meninggalkan dirinya. Dia tidak memberiku pilihan untuk bertahan atau mencoba membuat keadaan jadi lebih baik. Keputusannya untuk menyerahkan segalanya padaku membuat hati ini semakin yakin kalau dia tak lagi peduli pada kami. "Jadi kau ingin serahkan semua keputusan tentang keluarga ini padaku?""Ya, sebab aku sudah bersalah menyakitimu.""Kenapa kau tidak bicara jujur saja, kau berharap agar aku menuntut perceraian kan?" "Tidak. bukankah sudah kubilang kalau aku berharap kau dan Eva bisa bersaudara dan saling berdamai.""Dan apa upayamu agar aku dan dia saling berdamai?!"Dia kembali menundukkan kepala saat aku menatapnya dengan tatapan tajam, saat dia kembali membalas tatapanku aku yang masih tidak berkedip melihatnya, membuatnya merasa tak nyaman."Memang aku belum memberi upaya apa-apa tapi percayalah, aku benar-benar ingin keluarga kita tetap
"Aku menghargainya, hanya saja aku menyesalkan Kenapa mereka bisa sampai menikah? Hubungan mereka sudah lama, Kenapa tidak terpisi sedikitpun untuk memberitahuku?!""Sudah ibu bilang, apa gunanya kau tahu jika itu akan menghancurkan keluarga kita, bagiku wanita itu hanya bayang-bayang dari dirimu yang dicari Hisyam dari wanita lain. Kupikir dia telah mendapatkan istri yang sempurna tapi kau tahu naluri seorang lelaki kan?'Benarkah aku diminta untuk memaklumi keegoisan anak mereka dengan bahasa halus bahwa itu hanya naluri seorang lelaki? dan aku tetaplah sebagai istri yang utama karena wanita itu hanya selingan saja. Benarkah demikian, halus rendah itukah Mertuaku memandang istri kedua dari Mas Hisyam? Jika memang demikian apa semua perangai buruk ini, Apakah suamiku dan orang tuanya adalah sama-sama orang yang jahat?Aku tidak bisa menilai ibu mertua baik padaku hanya karena semua kata-katanya yang manis itu, boleh jadi ini hanya cara untuk main aman agar aku tidak membencinya dan
Meski bibir ini berkata mengusirnya, namun aku ingin sekali dia tetap ada bersama kami dan membuktikan bahwa dia lebih mencintai kami. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa suamiku masih mencintaiku tapi segala angan-angan itu hanya berupa omong kosong saja.Suamiku sedang menggebu-gebu dalam cintanya untuk Eva. Jadi aku seperti orang ketiga yang hadir diantara Cinta mereka. Aku hanya seperti tembok penghalang di mata suamiku. Tidak ada yang lebih menggembirakan hatinya bila aku memberinya izin untuk menjumpai istrinya yang sedang hamil, jadi kulontarkan saja kalimat bahwa ia boleh ke sana. "Akan butuh waktu 20 menit dari rumah ini dan kau bisa tiba di sana sebelum adzan magrib lalu berbuka bersama istri tercintamu. Silakan berangkat sekarang.""Aku berharap bahwa kita bisa harmonis kembali dan makan bersama aku benar-benar menambahkan kebahagiaan itu.""Tapi kau tidak mengatur cara agar kita bisa bahagia seperti itu Mas. Andai kau minta izin baik-baik, mungkin aku akan lebih menghargai
Puasa terus bergulir, disela banyaknya masalah yang terjadi akhir-akhir ini aku tetap fokus berusaha menjalankan ibadah sebaik mungkin. Tetap salat tepat waktu, baca Alquran setelahnya dan tak lupa bersedekah ke masjid menjelang waktu berbuka puasa.Aku memang tidak yakin bahwa diriku sepenuhnya mendapatkan pahala yang sempurna, namun aku berusaha agar aku tidak mempermalukan diriku di mata Tuhan. Aku tahu ujian ini cukup berat, tapi Tuhan telah memberikan ini dalam takdirku jadi Dia pasti yakin aku bisa menghadapinya. Hari-hari setelah mengetahui kalau mas Hisyam telah menikah lagi telah mengubahku menjadi pribadi yang menyendiri. Di tengah keramaian dan lingkungan yang selalu mengundang diri ini pengajian dan kegiatan lainnya, aku merasa sebatang kara. Aku kesepian seakan tak seorangpun mengerti perasaan dan apa yang kurasakan. Pagi hari aku akan membersihkan rumah seperti biasa kemudian mengantar putriku ke sekolah, lalu, setelah itu aku akan pergi berbelanja. Siang hari ku h
"Siapa wanita ini?" tanya Ayahku sambil menatap lekat pada ibu mertua. "Mas, itulah yang ingin aku bicarakan pada kalian." Ibu mertua tersenyum sinis dan berusaha meminta kedua orang tuaku untuk duduk kembali di kursi mereka.Ayahku semakin terbakar hatinya melihat wanita itu mendekat pada mas hisyam dan meraih tangannya lalu mengecupnya, beliau terbelalak tapi berusaha tenang saat melihatku yang hanya mampu menundukkan kepala.Tentu saja orang tuaku langsung mengerti dan paham siapa wanita itu. Kalau bukan istri dari suamiku, lalu siapa dia? Keluarga telah 15 tahun saling menyambung silaturahmi karena pernikahan kami, jadi hampir semua orang sudah saling mengenal. Kedua orang tuaku mengetahui semua kerabat mertuaku, bahkan cucu yang baru lahir sekalipun, jadi begitu Eva datang, tentu saja Ibuku mengerti kalau dia adalah menantu baru dalam keluarga ini. "Benar-benar tidak mengerti situasi sekarang, ?Mbak," ucap Ibuku."Uhm, aku harus bagaimana untuk memulainya tapi aku ingin jujur
Ayah menyetir mobilnya dengan kencang, lelaki itu nampak kesal dengan apa yang terjadi di rumah ibu mertua. Adzan maghrib berkumandang diiringi dengan senja yang berganti menjadi gelap malam, Ayah segera membelokkan mobilnya di sebuah rumah makan terdekat."Meski ke hatiku terbakar tapi kita harus tetap berbuka puasa tepat waktu.""Iya, ayah ayo turun," ujarku pelan.Ibu dan adikku juga turun menyusul kami, setelah memilih sebuah meja yang cukup besar kami langsung memesan makanan dan berbuka puasa dengan itu. *"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya ayah, setelah beliau selesai makan."Aku tidak tahu ayah.""Apa kau mau pulang ke rumah ayahmu atau kau ingin pulang ke rumahmu sendiri setelah ini?""Sebaiknya aku pulang ke rumahku sendiri karena tidak ada yang bisa ku pertahankan selain satu-satunya rumah itu untuk anak kami.""Lalu bagaimana tentang Hisyam?" "Aku tidak tahu ayah, lelaki itu baik, tetapi dia telah menduakanku.""Maka satu-satunya pertanyaan yang harus kau jawab untu