Sejak kepergian wanita pengusik ketenangan kami itu, suamiku terus gelisah, bahkan setelah mengantarkan Fira dan Ali kembali ke rumah neneknya pria itu tidak bisa memejamkan matanya, hanya terus bolak-balik, bangun tidur dan gelisah di kamar kami."Kenapa Mas," ujarku sambil menyentuh bahu dan mendekatinya,"ini sudah malam, kenapa belum tidur, besok harus mengajar di kampus dan sekolah.""Aku tahu, tapi aku benar-benar gelisah.""sebab apa?""Aku ingin melindungi keluargaku Ida. Aku ingin kalian selalu hidup dalam ketentraman dan bahagia, aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu kalian.""Aku paham itu, Mas, aku tahu, dan kau sudah lakukan yang terbaik.""Tapi kenapa keluarga mantanmu seolah mengincar kehidupan kita dan bertekad untuk membuat kita tidak tenang! Ya Allah, Ida, aku harus bagaimana?" keluh lelaki itu dengan sedih. Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu sebab aku sendiri tidak mengerti kenapa keluarga mas Hisyam masih terus mengincar kami. "Wanita itu mengha
Apa artinya kini Hisyam sudah menyerah? Kurasa ya!Dirampok hingga jatuh miskin, kehilangan harta dan rumah yang harus dijual untuk perawatannya. Ditambah kehilangan pekerjaan karena harus cuti panjang, istri yang terus mengeluh karena harus mengurus bayi sekaligus bekerja, kupikir semua itu adalah paket combo yang membuat Mas Hisyam sudah tidak punya waktu untuk mengganggu kami lagi. Dia harus fokus menata kehidupannya, dia harus menyembuhkan dirinya sendiri, dan mulai berkeliling untuk mencari pekerjaan yang layak, dulu pekerjaannya sebagai orang proyek membuat lelaki itu mudah sekali mendapatkan uang dan menghamburkannya, namun sekarang, sungguh jauh kenyataan dari harapan, segala sesuatu pupus begitu saja dalam genggaman.*Hari bergulir, berjalan dengan normal seperti kehidupan orang pada umumnya, rumah tangga kami berlangsung dengan harmonis meski kami belum kunjung mendapatkan garis dua. Prioritas untuk mendapatkan anak itu tidak terlalu ada di urutan pertama mengingat aku dan
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
Mohon dukung ceritanya dengan meninggalkan like dan share serta jangan lupa beri ulasan yang bagus ya teman-teman.*Butiran embun masih melekat di daun mawar kelopaknya mekar dengan cantik sementara rumput masih basah sebelum matahari cukup panas untuk menguapkan sisa dingin semalam. Geliat kota tempat tinggalku mulai terasa hiruk pikuk dan keramaiannya sejak jam 05.00 pagi. Para pedagang dan pekerja mulai berlalu-lalang dengan kendaraan mereka, Pergi ke tujuan melewati jalan depan rumah dan menyadarkan bahwa ini adalah hari baru untuk memulai segalanya. Sambil turun dari tempat tidur, aku membacakan doa untuk diri sendiri sembari bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia masih memberiku kesempatan untuk menikmati kehidupan ini. Ada hari baru untuk lebih produktif dan memperbanyak amalan ibadah, aku banyak terinspirasi dari kedekatanku terhadap perkara agama setelah menikah dengan Mas Hisyam.Menjelang ramadhan ke dua belas bersamanya, kami telah dikaruniai seorang putri perempuan berumur 1
Aku masih tercengang memperhatikan suamiku yang juga terbelalak dari balik kemudi, dia nampak ketakutan dan gugup bertemu denganku dengan cara seperti ini. Aku sendiri bingung kenapa seorang wanita duduk di sisinya dan lebih terkejut lagi saat wanita itu berteriak dan memanggilnya dengan ucapan, sayang. Aku tidak mengerti, apakah aku salah dengar atau tidak, pun anak kami, dia seakan tercekat untuk menyebut nama ayahnya sendiri."Bukankah itu ayah? siapa wanita itu, Bunda?""Iya, itu ayahmu, dengar, tapi tolong diam dulu Nak, kita lihat apa yang terjadi," bisikku. Selagi aku dan anakku mencoba untuk bangkit dari posisi kami yang terjatuh, mencoba untuk merangkum ke kurma yang tumpah dari kotaknya, tiba tiba wanita itu turun dari mobil Mas Hisyam. "Maafkan kami!" Dengan panik dan gemetar wanita itu mendekatiku, ia membantu putriku untuk bangkit, dan membersihkan pakaian Elina, juga mengulurkan tangannya padaku agar aku bisa berdiri dengan cepat. Aku tidak menyambut uluran tanganny
TOLONG DUKUNG CERITA INI YA BUNDA.Menjelang adzan maghrib berkumandang aku dan putriku tiba di rumah, rangkaian peristiwa yang terjadi di depan toko kurma membuat segalanya tiba-tiba berubah. Duniaku terbalik, seakan kiamat, pun tentang perasaan cinta dan kepercayaanku kepada Mas Hisyam seolah menguap begitu saja. Hatiku hancur berkeping keping, perasaanku terbakar menjadi abu tanpa sisa. Dari jauh suara tarhim yang mendayu dari masjid membuat perasaan remuk redam di hatiku semakin menjadi. Kuperhatikan betapa aku telah merapikan rumah dan menyiapkan makanan di atas meja untuk dirinya. Aku tak mampu menahan lelehan bening yang jatuh dari mataku saat mengingat betapa aku tulus padanya. Aku tak kuasa lagi menahan tangis, aku berlari menuju ke kamar, menutup pintunya lalu menangis sepuas puasnya. Kutumpahkan segala kekecewaan dan betapa aku tak menyangka bahwa dalam beberapa detik saja, sebuah fakta terungkap lalu keluarga kami terancam hancur begitu saja. Ya, sebuah rahasia besar yan
"Jangan bicara begitu, Zubaidah." Hanya kata sesingkat itu yang bisa ia katakan saat aku telah mengambil keputusan agar dia kembali pada istrinya yang tengah hamil itu."Aku mungkin bisa bertahan dengan anakku, tapi wanita itu pasti akan mati syok mengetahui bahwa suaminya punya istri lain. Apa kau mau dia mengalami tekanan darah tinggi dan celaka?""Tidak.""Menurutmu aku akan diam saja kalau kau tidak mengambil solusi?"Sangat perlahan perkataanku padanya, sangat lirih dengan nada rendah namun lelaki itu sontak merasa khawatir dan cemas. Ekspresi tatapan matanya membulat tapi ia segera menurunkan pandangannya lagi. "Menurutmu aku akan duduk manis di rumah dan tidak melakukan apapun?!""Aku mohon....""Lakukan sesuatu sebelum aku menemui mereka mengatakan yang sebenarnya.""Tolong jangan dulu, aku belum siap...""Lalu kenapa kau menikah jika kau belum sanggup mengkondisikan antara aku dan dirinya!"Satu bentakan saja membuatnya gugup, andai tidak kasihan pada anak mungkin gelas teb