Share

2. syok

Aku masih tercengang memperhatikan suamiku yang juga terbelalak dari balik kemudi, dia nampak ketakutan dan gugup bertemu denganku dengan cara seperti ini. Aku sendiri bingung kenapa seorang wanita duduk di sisinya dan lebih terkejut lagi saat wanita itu berteriak dan memanggilnya dengan ucapan, sayang.

Aku tidak mengerti, apakah aku salah dengar atau tidak, pun anak kami, dia seakan tercekat untuk menyebut nama ayahnya sendiri.

"Bukankah itu ayah? siapa wanita itu, Bunda?"

"Iya, itu ayahmu, dengar, tapi tolong diam dulu Nak, kita lihat apa yang terjadi," bisikku.

Selagi aku dan anakku mencoba untuk bangkit dari posisi kami yang terjatuh, mencoba untuk merangkum ke kurma yang tumpah dari kotaknya, tiba tiba wanita itu turun dari mobil Mas Hisyam.

"Maafkan kami!"

Dengan panik dan gemetar wanita itu mendekatiku, ia membantu putriku untuk bangkit, dan membersihkan pakaian Elina, juga mengulurkan tangannya padaku agar aku bisa berdiri dengan cepat. Aku tidak menyambut uluran tangannya, aku berdiri sambil terus menatapnya dengan lekat.

"Maafkan saya, saya dan suami saya tengan berdebat saat dia tak sengaja melajukan mobilnya dengan cepat," ujarnya dengan nafas terengah.

Mungkin nyawaku hampir terlepas dari badan saat dia mengatakan satu kata yang membuat tungkaiku langsung lemas, suamiku! Telingaku berdengung begitu ia mengaku kalau dia adalah istri dari suamiku, aku terbelalak, tapi aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena sensasi terkejut dan syok itu benar-benar memukul mentalku.

"A-apa?"

"Maafkan saya Mbak, sungguh." Wanita itu meraih lenganku dan menangis dia terlihat ketakutan dan cemas, sedang suaminya terus duduk di balik kemudi dia dan masih dengan ekspresi yang sama.

"Jadi, dia suamimu?"

"Hmm, aku telah mengalihkan fokusnya sehingga ia tak sengaja melakukan itu, maafkan dia Mbak, tolong jangan tuntut kami," ujarnya dengan nafas terengah.

Melihatnya yang sedang hamil besar aku tak mampu membendung air mata, sementara dia yang melihat air mataku semakin cemas saja dan semakin berat tarikan nafasnya, aku pahambahwa kehamilan di trisemester ketiga akan membuat seseorang mudah lelah dan terengah-engah, aku tidak tahu harus bagaimana, akankah aku mengatakan bahwa orang yang hampir ditabrak suaminya, adalah istrinya sendiri ataukah aku diam saja.

"Mbak, Mbak baik-baik saja kan?" Melihat komunitaskan air mata dia pun juga ikut menangis, Mungkin dia takut karena sekarang keramaian dan orang-orang mengerubungi kami.

"Sungguh, maafkan kami, Mbak. Astaghfirullah, aku benar-benar tidak menduga ini ...."dia mengelus dadanya sendiri dan memberi isyarat agar mas Hisyam keluar dari mobilnya.

"Sayang, sini dong."

Kuperhatikan sekali lagi, wanita itu cukup cantik, wajahnya khas wanita timur tengah yang eksotis, riasannya menyempurnakan kecantikannya, rambutnya sedikit ikal, tapi panjang dan mempesona, ia mengenakan dress berwarna hitam yang membuatnya benar-benar terlihat sempurna.

"Sayang, Bantu Mbak ini," pintanya sekali lagi.

Dengan langkah ragu-ragu mas Hisyam mendekati kami, merasa bahwa gerakan suaminya cukup lambat wanita itu meraih tangan suaminya dengan cepat dan mengarahkannya ke hadapan kami.

"Ayo minta maaf Sayang, lihatlah, kita menumpahkan kurma mereka dan membuat mereka ketakutan," ujar wanita itu dengan cemas.

Mas Hisyam menatap diriku, menatap netra dan air mataku, menatap putri kami yang terlihat kebingungan dengan situasi ini, untungnya Elina sedikit pengertian dan segera memahami maksudku sehingga anakku hanya diam menatap ayahnya digandeng oleh wanita baru.

"A-aku...."

Dia hendak mengulurkan tangannya dan menyebut namaku tapi aku segera memberi isyarat agar dia menghentikan niatnya itu, aku menggelengkan kepalaku dan dia langsung membungkam.

"Mas, Ayo katakan sesuatu Mas," desak istri barunya yang sedang hamil itu.

"Ma-ma-maafkan kami. Kami tidak sengaja."

Teriring dengan ucapan yang terlontar dari bibirnya, putriku langsung menangis dan merangkul pinggangku, dia menangis dengan pilu membuat hatiku semakin merasa tertusuk dan kesedihanku semakin menjadi-jadi. Tentu saja, ia sudah cukup besar untuk memahami apa yang terjadi, cukup dengan mendengar bahwa wanita itu memanggil ayahnya dengan ucapan sayang, maka anakku sudah tahu kalau ayahnya sudah poligami.

"Bunda ya Allah...." Apalagi yang lebih menyakitkan saat kita menyaksikan anak sendiri menangis kekecewaannya pada Cinta pertamanya. Sungguh, aku tak tahu aku harus bagaimana.

"Kalian seharusnya melihat jalan kalian!" ujarku kesal.

"Suamiku panik karena tiba tiba aku mengeluh sakit perut. Kami meluncur ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan, tapi kami malah nyaris mencelakakan kalian, maafkan kami ya, Mbak."

Wanita itu menangis gemetar dan ketakutan sambil menggenggam tanganku, karena aku tidak memberikan respon apapun sejak tadi, dia jadi gelisah dan merasa terancam.

"Iya, lain kali katakan pada suamimu untuk berhati-hati! Dia bisa saja membuat kami meninggal dunia sore ini."

"Iya, mbak, jika Mbak terluka, ayo sekalian bersama kami ke rumah sakit."

"Bukan tentang itu! tapi ini tentang kehati-hatian!"

Langsung melepaskan tangannya yang masih melekat di tanganku dengan kasar, kurayu anakku laluku gandeng ia untuk pergi dari tempat itu.

"Saya akan mengganti kurma yang jatuh Mbak." Dia berusaha mengejarku sementara mas hisyam masih berdiri dan dimarahi oleh banyak orang, karena seharusnya dia berhati-hati.

"Tidak usah aku bisa membeli kurma sendiri," balasku.

Jelas wanita itu tidak mengenalku mungkin mas. hisyam tidak pernah memberitahunya tentang kami, kecanggungan dan betapa sakitnya situasi yang terjadi sekarang, membuatku pusing dan tak tahu harus berkata apa.

Entah kenapa, ini seolah badai api mengejutkan yang membuat wajahku terbakar, hatiku dan perasaanku, semuanya terbakar!

"Mbak... Kalau mbak pergi begitu saja saya akan cemas, istilahnya biarkan saya mengganti kurma itu atau merawat lukamu."

"Tidak, cukup, jangan kejar saya lagi, saya tidak mau banyak bicara dan sampai hilang amal puasaku! Cukup lupakan saja!" Aku marah padanya sambil meraih motorku.

"Tapi...."

"Jangan bicara apapun lagi, pergilah ke rumah sakit dan periksakan kandunganmu aku berdoa semoga bayi itu baik-baik saja," jawabku dengan suara gemetar di mana aku sudah tak sanggup lagi membendung air mata.

Kukendarai motorku dengan hati remuk redam sementara di belakangku putriku masih sok dan murung, aku tahu setelah ini akan terjadi semua pertengkaran besar di rumah kami.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Armi Malingi
cerita mengada2...jauh dari realita..kok bs pd saat itu si istri tdk mebgatakan at marah pdhl tau suami brengsek nya pny istri lg..malah bersikap sprt pengecut
goodnovel comment avatar
Agus Roma
Lebih pada anak yang disampingnya akan bagaimana nanti sudah pasti trauma ayah yang selama ini jadi imam keluarga harus ada dihadapan dengan wanita mengandung apalagi berkata itu suaminya
goodnovel comment avatar
Suhari Ajay
seharusnya suami itu menjaga,isteri nya dan anak nya bukan berarti"berfindah kehati wanita lain sabar ajah
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status