Mohon dukung ceritanya dengan meninggalkan like dan share serta jangan lupa beri ulasan yang bagus ya teman-teman.
*Butiran embun masih melekat di daun mawar kelopaknya mekar dengan cantik sementara rumput masih basah sebelum matahari cukup panas untuk menguapkan sisa dingin semalam. Geliat kota tempat tinggalku mulai terasa hiruk pikuk dan keramaiannya sejak jam 05.00 pagi.Para pedagang dan pekerja mulai berlalu-lalang dengan kendaraan mereka, Pergi ke tujuan melewati jalan depan rumah dan menyadarkan bahwa ini adalah hari baru untuk memulai segalanya.Sambil turun dari tempat tidur, aku membacakan doa untuk diri sendiri sembari bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia masih memberiku kesempatan untuk menikmati kehidupan ini. Ada hari baru untuk lebih produktif dan memperbanyak amalan ibadah, aku banyak terinspirasi dari kedekatanku terhadap perkara agama setelah menikah dengan Mas Hisyam.Menjelang ramadhan ke dua belas bersamanya, kami telah dikaruniai seorang putri perempuan berumur 11 tahun yang sudah duduk di kelas 5 SD. Namanya Ferlina kunamakan dia seperti nama sahabatku di masa sekolah dulu. Putriku cantik dengan kulit eksotis mengikuti kulit ayahnya, rambutnya ikal mayang panjang dan terlihat berkilau begitu digerai, hidungnya mancung serta matanya yang indah membuatku selalu bersyukur memilikinya. Ya, satu-satunya dia anakku dalam hidup ini.Pun ayahnya, Mas Hisyam sangat menyayangi Ferlina, memanjakan dan berjanji akan melakukan apapun untuk kami berdua."Istri dan anakku adalah prioritas dalam hidup, tanpa kalian aku tak punya alasan untuk melanjutkan segalanya."Setidaknya itu kalimat pamungkas yang selalu menghibur hatiku, dia mengatakannya, selalu, sambil memegang tangan dan menatap mata ini, kemudian, ia mendaratkan kecupan di kening. Selalu penuh keromantisan dan aku yakin ini adalah salah satu dari esensi manisnya kehidupan pernikahan.Hari pertama puasa, kubangunkan dia untuk sahur, merangkul dia yang masih terlelap di balik selimut tebal dan dinginnya ac. Kebangunkan dia dengan penuh kasih sayang mendekatkan bibirku ke daun telinganya dan kubisikkan kata-kata bahwa ia harus segera terjaga, jangan sampai tidur membuatnya lalai akan ibadah."Mas, sahur yuk.""Hmm, ngantuk." Ia mengeluh parau. "Lelah sekali setelah lembur semalam." Dia menggeliat bergeser sedikit agar bisa meluruskan badan."Kamu lupa kalau besok kita harus berpuasa? jangan sampai kelelahan itu membuatmu lalai, Mas." Kubelai wajahnya sementara ia meraih tanganku lalu mengecup jemarinya."Baiklah, ayo." Dia mendesah perlahan kemudian bangkitlah pergi mencuci muka ke kamar mandi.Selagi kususun piring di atas meja makan, dari dapur kulihat siluet suamiku tengah memeriksa ponselnya, cahaya yang berpendar dari layar tersebut memantul ke wajah Mas hisyam hingga membuatku tersadar, sungguh, dari samping dia begitu tampan.Jujur, hatiku bergetar."Ah, kenapa aku harus memikirkan ketampanan suamiku sementara aku telah bersamanya selama 15 tahun sejak kami bersaling mengenal, saling menjajaki selama 3 tahun, lalu memutuskan untuk menikah. Kenapa aku terus merasakan debaran seolah kami baru pertama berjumpa?" Aku menepuk keningku sendiri sambil tertawa.Dia yang masih begitu serius dengan ponselnya segera aku panggil."Mas, makan yuk, sebelum imsak.""Eh, i-iya." Suamiku gelagapan dan ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya, andai ia tidak sigap untuk menangkapnya."Kenapa?" tanyaku sambil tersenyum."Masih ngantuk," balasnya singkat."Yuk, sini makan.""Iya, sayang."Aku bangunkan Elina lalu mengajaknya cuci muka dan bergabung ke meja makan bersama ayahnya."Putri Ayah yang solehah mau puasa kan?" Mas hisyam merangkul putrinya dan menciumnya."Iya, Ayah.""Bagus, kalau puasanya lengkap 30 hari, ayah akan belikan hadiah yang bagus.""Benarkah?" Putriku langsung berbinar matanya yang indah menunjukkan ekspresi antusias yang luar biasa."Iya, apapun yang Elina mau.""Wah, asyik, tapi Ayah harus beli kurma kesukaan Elina.""Tentu, kita beli kurma sukkari kesukaanmu dan Bunda."Asyik, makasih ayah." Elina bertepuk tangan dan langsung menyedokkan makana ke piringnya dengan semangat."Yuk, berdoa dulu." Aku dan anggota keluargaku menangkupkan tangan kami dan berdoa, tapi, tapi doanya tidak benar-benar bisa fokus karena ponsel suamiku berdering dari dalam kamar dan itu berlangsung dengan intens."Siapa kira-kira yang menelpon di jam 03.00 pagi?""Temanku, dia tanya tentang deadline pekerjaan dan presentasi yang akan kita lakukan pagi ini."Mas Hisyam yang meninggalkan meja makan lalu segera meraih ponselnya. Dia tidak menjawab panggilan tersebut melainkan mematikannya lalu terlihat mengetik pesan."Kenapa tidak dijawab saja alih-alih mengetik pesan yang sulit dimengerti?""Tahu kan... sangat malas bagiku untuk bicara setelah bangun tidur. Apalagi ini adalah momen keluarga dan makan sahur.""Oh, jadi Mas tidak mau momentmu dengan keluarga diganggu orang lain?" Aku tertawa menggodanya."Tentu saja," balasnya yang lalu kembali ke kursi dan mulai makan.**Hari pertama puasa berlangsung dengan lancar, menjelang Magrib mas Hisyam pulang dengan sekotak kurma kesukaan kami. Buka puasa dan salat magrib bersama berlangsung dengan khidmat, penuh ketulusan serta penghayatan arti ibadah yang sesungguhnya."Mas doakan aku." Aku cium tangannya sambil bersimpuh di hadapannya dia mengecup keningku sambil mendoakan diri ini."Semoga ibadahmu lancar Bun, semoga tahun ini tidak ada kendala dalam ibadah kita, aku sungguh berharap kita sekeluarga tetap harmonis di dunia dan ke surga bersama-sama.""Aamiin, selaras dengan harapanmu aku juga berdoa akan hal yang sama."Ucapan suamiku seperti embun murni yang menyiram hati, seperti tetesan salju yang langsung turun dari langit dan membasuh segala luka dan noda. Menatap wajahnya yang penuh ketulusan dan memperhatikan bagaimana ia memperlakukan kami sehari-hari ... Sungguh, aku seperti mendapatkan kepingan kehidupan dari surga.Lalu nikmat Tuhan manakah yang harus aku dustai?Kami tinggal di dalam rumah berlantai 2 di cluster impian semua orang, hidup kami berkecukupan karena suamiku punya posisi yang bagus serta gaji yang memadai, kesehatan kami stabil dan tentu saja kami punya tabungan dan surat asuransi yang bisa dipakai saat kami membutuhkannya. Apalagi yang kucari selain fokus menikmati peranku sebagai ibu rumah tangga dan sesekali turun melakukan bakti sosial pada komunitas kami. Kurasaa Aku menjalani hidupku yang bahagia. Amat sempurna dan layak disyukuri.*"Mas, kurma habis, nanti pulang kerja sekalian mampir di toko Wan Hamid lalu belikan kurma yang baru ya.""Tentu, istriku sayang. Tapi kalau aku lupa kau jangan marah yaa." Dia menggoda sambil bercanda dan mengenakan sepatunya."Sebenarnya aku selalu tidak sabar menunggumu pulang, setelah anak kita beranjak remaja dan punya kesibukan sendiri dengan teman-temannya, aku mulai merasa kesepian dan butuh teman.""Kau bisa minta Elina untuk mengajak teman-temannya ke rumah.""Mereka lebih asik belajar di rumah Rika sahabatnya, sepulang sekolah dia akan les, dilanjutkan dengan mengaji kemudian mengerjakan tugas-tugas kelompok bersama sahabatnya.""Rupanya putriku membuat ibunya kesepian ya..." Mas Hisyam menyentuh pipiku."Uh-hmm, kurasa begitu.""Makanya aku selalu mendorongmu untuk melahirkan satu anak lagi, agar kita punya anak laki laki."Bukannya tak mau, saat Elina masih kecil aku selalu mempertimbangkan masalah ekonomi untuk melahirkan anak yang berikutnya, khawatir kami tak sanggup membiayai hidupnya sehingga akan membuatnya menderita aku memutuskan untuk menunda kahamilan. Di tahun ke-6 pernikahan aku tak lagi ber-KB, sibuk mengikuti program kehamilan dan menjaga kesehatan, namun sampai saat ini Tuhan masih belum memberikan karunia tersebut."Iya aku berdoa semoga harapanmu terkabul, Mas." Hanya itu yang bisa aku katakan untuknya."Iya, kalau begitu aku berangkat dulu ya sayang.""Iya." Kuantar dia ke ambang pintu kemudian menyaksikan dia naik ke atas mobil dan melambaikan tanganku mengiringi kepergiannya.*Sore hari,Udara sedikit hangat di hari ke tujuh bulan Ramadan, sembari menunggu waktu berbuka dan Mas hisyam yang selalu telat pulang akhir-akhir ini, kuputuskan untuk 'ngabuburit' jalan-jalan naik motor bersama anakku, lalu kami mampir ke toko buku untuk mencari buku-buku terbaru tentang kajian agama dan hikmah menjadi perempuan muslimah.Kebetulan di sana aku bertemu Rima sahabatku. Dia menyapaku, dia teman sejak SMPku yang kini sudah jadi istri pengusaha dan tengah hamil anak ketiga."Hei, apa kabar.""Baik.""Ayolah berkunjung ke rumahku karena aku membutuhkan energi dan teman curhat, kehamilan ini benar-benar menguras tenagaku." Dia merangkul diri ini."Aku sungguh ingin hamil sepertimu tapi Tuhan belum memberiku.""Kau tahu... anak ini adalah alasan untuk mempererat tali pernikahan kami, kau tahu kan' suamiku pengusaha yang selalu kemana-mana dan bertemu dengan banyak wanita, kehidupan kami rentan ... tapi setelah aku hamil dia mulai berubah." Ada raut kesedihan di wajah rima dan sesuatu yang tidak perlu dijelaskan namun sudah kutangkap maksudnya."Syukurlah kalau dia mulai berubah.""Aku iri dengan kehidupanmu meski kau bukan wanita karir dan tidak melahirkan banyak anak tapi suamimu sangat setia dan seperti figur yang diinginkan oleh semua orang....""Ya, aku bersyukur dan aku selalu berdoa semoga dia tidak pernah berubah."Usai berbincang-bincang bersama sahabatku, aku keluar dari toko buku setalah berhasil menemukan dua buah buku tentang Sayyidah Aisyah.Tak jauh dari sana, ada toko kurma yang sedang menggelar aneka kurma dan bermacam kudapan manis dari negeri timur tengah di etalase tokonya.Karena terpikirkan tentang suamiku jadi aku menghubunginya dan bertanya apakah dia sudah membeli kurma atau belum, karena jika belum, maka aku akan membelinya.Lama aku tunggu ia mengangkat teleponnya sampai akhirnya pria itu menjawab."Halo.""Assalamualaikum Mas.""Iya, ada apa." Sepertinya Mas Hisyam sedang berada dalam keadaan tertekan sampai Ia lupa menjawab salam."Apa kau telah membeli kurma?""Sungguh aku lupa sekali, tapi aku dalam perjalanan.""Baiklah kalau begitu biar aku saja yang beli.""Ya, ya, Terima kasih aku sangat menghargainya.""Kau akan segera pulang kan?""Sekitar satu jam lagi aku akan tiba di rumah sebelum azan Maghrib berkumandang.""Baguslah, sampai nanti."Aku menggandeng Elina ke toko tersebut, membeli sekotak kurma setengah matang kesukaanku dan kurma sukkari yang masih dipenuhi oleh sari dan madu.Usai membayar aku hendak menyeberang jalan untuk meraih motorku, kugenggam tangan anak lalu menyeberang, tapi sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku, entah apa yang terjadi pada pengendaranya, karena ia tidak melihat depannya, sehingga ia hampir menabrak.Aku berteriak sambil memeluk anakku, kami terjatuh, mobil mobil membunyikan klakson, teriakan orang-orang menggema dan mobil tersebut mengerem secepatnya, sehingga bannya berdecit keras bergesekan dengan aspal sore itu.Masih dengan sekotak kurma di tanganku, dengan tangan satu lagi memeluk anakku, perlahan aku yang masih syok mencoba bangkit, mencoba kuat dan menenangkan anakku yang menangis. Tapi, tiba tiba aku kaget menyaksikan sesuatu yang kupikir adalah tipuan mataku, mungkin syok atau sensasi lemas karena berpuasa membuatku berhalusinasi, tapi, berulang kali menajamkan penglihatanku, tetap saja, itu adalah hal yang sama! Suamiku sedang duduk bersama seorang wanita di dalam mobilnya.Sama denganku yang pucat pasti karena terkejut, mereka berdua juga tak kalah terkejutnya."Sayang! Kamu habis nabrak orang!" Wanita itu berteriak dari dalam mobil dan membuat sekotak kurma di tanganku jatuh dan bertebaran di aspal.Telingaku langsung berdenging, aeketika segala bunyi-bunyian yang ada di sekitarku menghilang berganti hanya dengan desau angin dan betapa aku tak mampu mengalihkan penglihatanku dari seorang wanita dan suamiku yang duduk di sisinya.Aku masih tercengang memperhatikan suamiku yang juga terbelalak dari balik kemudi, dia nampak ketakutan dan gugup bertemu denganku dengan cara seperti ini. Aku sendiri bingung kenapa seorang wanita duduk di sisinya dan lebih terkejut lagi saat wanita itu berteriak dan memanggilnya dengan ucapan, sayang. Aku tidak mengerti, apakah aku salah dengar atau tidak, pun anak kami, dia seakan tercekat untuk menyebut nama ayahnya sendiri."Bukankah itu ayah? siapa wanita itu, Bunda?""Iya, itu ayahmu, dengar, tapi tolong diam dulu Nak, kita lihat apa yang terjadi," bisikku. Selagi aku dan anakku mencoba untuk bangkit dari posisi kami yang terjatuh, mencoba untuk merangkum ke kurma yang tumpah dari kotaknya, tiba tiba wanita itu turun dari mobil Mas Hisyam. "Maafkan kami!" Dengan panik dan gemetar wanita itu mendekatiku, ia membantu putriku untuk bangkit, dan membersihkan pakaian Elina, juga mengulurkan tangannya padaku agar aku bisa berdiri dengan cepat. Aku tidak menyambut uluran tanganny
TOLONG DUKUNG CERITA INI YA BUNDA.Menjelang adzan maghrib berkumandang aku dan putriku tiba di rumah, rangkaian peristiwa yang terjadi di depan toko kurma membuat segalanya tiba-tiba berubah. Duniaku terbalik, seakan kiamat, pun tentang perasaan cinta dan kepercayaanku kepada Mas Hisyam seolah menguap begitu saja. Hatiku hancur berkeping keping, perasaanku terbakar menjadi abu tanpa sisa. Dari jauh suara tarhim yang mendayu dari masjid membuat perasaan remuk redam di hatiku semakin menjadi. Kuperhatikan betapa aku telah merapikan rumah dan menyiapkan makanan di atas meja untuk dirinya. Aku tak mampu menahan lelehan bening yang jatuh dari mataku saat mengingat betapa aku tulus padanya. Aku tak kuasa lagi menahan tangis, aku berlari menuju ke kamar, menutup pintunya lalu menangis sepuas puasnya. Kutumpahkan segala kekecewaan dan betapa aku tak menyangka bahwa dalam beberapa detik saja, sebuah fakta terungkap lalu keluarga kami terancam hancur begitu saja. Ya, sebuah rahasia besar yan
"Jangan bicara begitu, Zubaidah." Hanya kata sesingkat itu yang bisa ia katakan saat aku telah mengambil keputusan agar dia kembali pada istrinya yang tengah hamil itu."Aku mungkin bisa bertahan dengan anakku, tapi wanita itu pasti akan mati syok mengetahui bahwa suaminya punya istri lain. Apa kau mau dia mengalami tekanan darah tinggi dan celaka?""Tidak.""Menurutmu aku akan diam saja kalau kau tidak mengambil solusi?"Sangat perlahan perkataanku padanya, sangat lirih dengan nada rendah namun lelaki itu sontak merasa khawatir dan cemas. Ekspresi tatapan matanya membulat tapi ia segera menurunkan pandangannya lagi. "Menurutmu aku akan duduk manis di rumah dan tidak melakukan apapun?!""Aku mohon....""Lakukan sesuatu sebelum aku menemui mereka mengatakan yang sebenarnya.""Tolong jangan dulu, aku belum siap...""Lalu kenapa kau menikah jika kau belum sanggup mengkondisikan antara aku dan dirinya!"Satu bentakan saja membuatnya gugup, andai tidak kasihan pada anak mungkin gelas teb
"Takdir katamu, Mas?""Zu, bukan begitu..." "Tidaklah bertemu seorang pria dan wanita lalu berjodoh kalau bukan atas kehendak dan izin Allah." Dia mulai membuat alasan lagi. "Ada beberapa nasib yang bisa ditentukan dan dipilih sendiri! perjodohan adalah takdir yang diupayakan. Jangan berdalih ini pilihan Tuhan, ini kehendakmu sendiri!""Zu ...""Berhentilah memohon, kau menikahinya tanpa sepengetahuanku sudah membuktikan kau menganggapku remeh. Kau tidak segan atau takut, itu membuktikan bahwa kau tidak menghargaiku!" "Astaghfirullah, aku sangat menghargaimu dan aku memuliakanmu.""Jika demikian, kenapa kau tidak bisa mengendalikan perasaan hatimu untuk menduakanku. Kenapa kau tega melakukannya!"Aku berteriak, mendekatinya mencengkram pakaiannya dan mengguncangnya berkali-kali. Kendati sudah berusaha untuk tetap tenang dan diam saja tapi lama-lama aku tidak bisa menahan diri. Mas Hisyam sendiri hanya menggeleng lesu dan dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Carilah solusi untuk
Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya. Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar. "Bund, makanlah sesuatu.""Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin."Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya.""Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata. Sudah
Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar. Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan
Pukul 07.00 pagi, anakku sudah rapi dengan seragamnya, meski tetap berangkat sekolah tapi putriku tetap berusaha untuk melengkapkan puasanya. Suamiku juga terlihat sudah rapi dan mengenakan sepatunya, seperti biasa dia dan anaknya akan berangkat bersama. "Bun boleh minta uang lebih tidak?""Untuk apa?""Aku naik angkot saja.""Tidak, kau akan berangkat dengan ayah!" Mas Hisyam segera menimpali percakapan kami. "Lebih enak naik angkot Bunda, ada temen-temen juga." Kan aku tidak menanggapi perkataan ayahnya tapi dia menghindar dan memilih untuk tetap naik angkot."Berangkat bersama Ayah akan lebih cepat dan tepat waktu. Kenapa kau seperti menghindari Ayah, seakan Ayah ini adalah najis.""Berangkat dulu ya Bunda sebelum aku telat," balasnya mencium pipiku. Gadis itu melewati ayahnya tanpa bicara apapun meski sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kau lihat itu?!" tanya Mas Hisyam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya keluargaku tak lagi menghargaiku.""Kau ingin dihargai tapi
Agar wanita itu tak semakin mendesak dan menggangguku maka kubiarkan dia untuk membayar belanjaan yang kubeli. Dia menggandeng ku ke arah kasir sementara mas hisyam mengikuti kami.Dia menawarkan barang-barang lain sebelum membayar belanjaanku itu."Mbak masih mau beli yang lain tidak?""Tidak, terima kasih." "Di kehamilanku yang sekarang, aku berharap tidak melakukan sesuatu yang membuat seseorang sakit hati, aku mencoba meminimalisir dosa dan terus berbagi agar aku mendapatkan berkah dan kehidupan yang lebih baik."Dia bilang kehamilanku yang sekarang apa sebelumnya ia pernah hamil? Berarti masih Islam sudah berhubungan lama dengannya."Oh, begitu ya, Semoga kau dapatkan Apa yang kau harapkan.""Makasih Mbak.""Total belanjaannya Rp2.100.000 nyonya." Kasir memberitahu wanita itu, wanita bernama Eva yang penampilannya telah membakar hatiku. Kaftan cantik dan rambut yang tergerai itu... Aku benar-benar cemburu padanya. "Pantas Mas Hisyam sangat tergila gila.""Mas minta kartunya, s