"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
Mohon dukung ceritanya dengan meninggalkan like dan share serta jangan lupa beri ulasan yang bagus ya teman-teman.*Butiran embun masih melekat di daun mawar kelopaknya mekar dengan cantik sementara rumput masih basah sebelum matahari cukup panas untuk menguapkan sisa dingin semalam. Geliat kota tempat tinggalku mulai terasa hiruk pikuk dan keramaiannya sejak jam 05.00 pagi. Para pedagang dan pekerja mulai berlalu-lalang dengan kendaraan mereka, Pergi ke tujuan melewati jalan depan rumah dan menyadarkan bahwa ini adalah hari baru untuk memulai segalanya. Sambil turun dari tempat tidur, aku membacakan doa untuk diri sendiri sembari bersyukur kepada Tuhan bahwa Dia masih memberiku kesempatan untuk menikmati kehidupan ini. Ada hari baru untuk lebih produktif dan memperbanyak amalan ibadah, aku banyak terinspirasi dari kedekatanku terhadap perkara agama setelah menikah dengan Mas Hisyam.Menjelang ramadhan ke dua belas bersamanya, kami telah dikaruniai seorang putri perempuan berumur 1
Aku masih tercengang memperhatikan suamiku yang juga terbelalak dari balik kemudi, dia nampak ketakutan dan gugup bertemu denganku dengan cara seperti ini. Aku sendiri bingung kenapa seorang wanita duduk di sisinya dan lebih terkejut lagi saat wanita itu berteriak dan memanggilnya dengan ucapan, sayang. Aku tidak mengerti, apakah aku salah dengar atau tidak, pun anak kami, dia seakan tercekat untuk menyebut nama ayahnya sendiri."Bukankah itu ayah? siapa wanita itu, Bunda?""Iya, itu ayahmu, dengar, tapi tolong diam dulu Nak, kita lihat apa yang terjadi," bisikku. Selagi aku dan anakku mencoba untuk bangkit dari posisi kami yang terjatuh, mencoba untuk merangkum ke kurma yang tumpah dari kotaknya, tiba tiba wanita itu turun dari mobil Mas Hisyam. "Maafkan kami!" Dengan panik dan gemetar wanita itu mendekatiku, ia membantu putriku untuk bangkit, dan membersihkan pakaian Elina, juga mengulurkan tangannya padaku agar aku bisa berdiri dengan cepat. Aku tidak menyambut uluran tanganny
TOLONG DUKUNG CERITA INI YA BUNDA.Menjelang adzan maghrib berkumandang aku dan putriku tiba di rumah, rangkaian peristiwa yang terjadi di depan toko kurma membuat segalanya tiba-tiba berubah. Duniaku terbalik, seakan kiamat, pun tentang perasaan cinta dan kepercayaanku kepada Mas Hisyam seolah menguap begitu saja. Hatiku hancur berkeping keping, perasaanku terbakar menjadi abu tanpa sisa. Dari jauh suara tarhim yang mendayu dari masjid membuat perasaan remuk redam di hatiku semakin menjadi. Kuperhatikan betapa aku telah merapikan rumah dan menyiapkan makanan di atas meja untuk dirinya. Aku tak mampu menahan lelehan bening yang jatuh dari mataku saat mengingat betapa aku tulus padanya. Aku tak kuasa lagi menahan tangis, aku berlari menuju ke kamar, menutup pintunya lalu menangis sepuas puasnya. Kutumpahkan segala kekecewaan dan betapa aku tak menyangka bahwa dalam beberapa detik saja, sebuah fakta terungkap lalu keluarga kami terancam hancur begitu saja. Ya, sebuah rahasia besar yan
"Jangan bicara begitu, Zubaidah." Hanya kata sesingkat itu yang bisa ia katakan saat aku telah mengambil keputusan agar dia kembali pada istrinya yang tengah hamil itu."Aku mungkin bisa bertahan dengan anakku, tapi wanita itu pasti akan mati syok mengetahui bahwa suaminya punya istri lain. Apa kau mau dia mengalami tekanan darah tinggi dan celaka?""Tidak.""Menurutmu aku akan diam saja kalau kau tidak mengambil solusi?"Sangat perlahan perkataanku padanya, sangat lirih dengan nada rendah namun lelaki itu sontak merasa khawatir dan cemas. Ekspresi tatapan matanya membulat tapi ia segera menurunkan pandangannya lagi. "Menurutmu aku akan duduk manis di rumah dan tidak melakukan apapun?!""Aku mohon....""Lakukan sesuatu sebelum aku menemui mereka mengatakan yang sebenarnya.""Tolong jangan dulu, aku belum siap...""Lalu kenapa kau menikah jika kau belum sanggup mengkondisikan antara aku dan dirinya!"Satu bentakan saja membuatnya gugup, andai tidak kasihan pada anak mungkin gelas teb
"Takdir katamu, Mas?""Zu, bukan begitu..." "Tidaklah bertemu seorang pria dan wanita lalu berjodoh kalau bukan atas kehendak dan izin Allah." Dia mulai membuat alasan lagi. "Ada beberapa nasib yang bisa ditentukan dan dipilih sendiri! perjodohan adalah takdir yang diupayakan. Jangan berdalih ini pilihan Tuhan, ini kehendakmu sendiri!""Zu ...""Berhentilah memohon, kau menikahinya tanpa sepengetahuanku sudah membuktikan kau menganggapku remeh. Kau tidak segan atau takut, itu membuktikan bahwa kau tidak menghargaiku!" "Astaghfirullah, aku sangat menghargaimu dan aku memuliakanmu.""Jika demikian, kenapa kau tidak bisa mengendalikan perasaan hatimu untuk menduakanku. Kenapa kau tega melakukannya!"Aku berteriak, mendekatinya mencengkram pakaiannya dan mengguncangnya berkali-kali. Kendati sudah berusaha untuk tetap tenang dan diam saja tapi lama-lama aku tidak bisa menahan diri. Mas Hisyam sendiri hanya menggeleng lesu dan dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Carilah solusi untuk
Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya. Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar. "Bund, makanlah sesuatu.""Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin."Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya.""Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata. Sudah
Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar. Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan