TOLONG DUKUNG CERITA INI YA BUNDA.
Menjelang adzan maghrib berkumandang aku dan putriku tiba di rumah, rangkaian peristiwa yang terjadi di depan toko kurma membuat segalanya tiba-tiba berubah. Duniaku terbalik, seakan kiamat, pun tentang perasaan cinta dan kepercayaanku kepada Mas Hisyam seolah menguap begitu saja. Hatiku hancur berkeping keping, perasaanku terbakar menjadi abu tanpa sisa.Dari jauh suara tarhim yang mendayu dari masjid membuat perasaan remuk redam di hatiku semakin menjadi. Kuperhatikan betapa aku telah merapikan rumah dan menyiapkan makanan di atas meja untuk dirinya. Aku tak mampu menahan lelehan bening yang jatuh dari mataku saat mengingat betapa aku tulus padanya. Aku tak kuasa lagi menahan tangis, aku berlari menuju ke kamar, menutup pintunya lalu menangis sepuas puasnya. Kutumpahkan segala kekecewaan dan betapa aku tak menyangka bahwa dalam beberapa detik saja, sebuah fakta terungkap lalu keluarga kami terancam hancur begitu saja.Ya, sebuah rahasia besar yang tersimpan entah berapa purnama. Begitu hebatnya Mas Hisyam menyembunyikan rahasia dan bersikap bahwa semuanya seolah baik-baik saja. Aku tak mengerti sekarang, ribuan pertanyaan berputar-putar di kepalaku dan menghimpit perasaan ini. Apakah dia benar-benar mencintaiku atau dia pura-pura melakukan itu. Meski yakin dia tidak pernah mencintaiku tapi, sikap dan gelagatnya benar-benar sempurna.Beberapa saat yang lalu aku masih berpikir bahwa akulah ratu di hatinya, ratu yang menguasai segala perasaan dan hidupnya, tapi sekarang, semua anggapan itu terbanting jadi kekecewaan dan mendadak segalanya jadi bias."Aku apa untuknya, apakah aku berharga, ataukah aku hanya opsi terakhir untuk status dan tempat pulang saja?"Aku yang masih menangis sambil membekap mulutku terpaksa harus menghentikan dan menghapus air mataku saat pintu kamarku diketuk oleh Elina."Bunda, bunda nangis ya?""Enggak kok sayang._""Ayo keluar, bunda, sudah mau buka puasa.""Duluanlah, Nak."Meski ingin berdiri, aku tidak berdaya untuk bangkit dari posisiku, bahkan saat adzan maghrib berkumandang dan rasa haus semakin seperti duri yang menancap di tenggorokan, aku tidak mampu bergerak sedikitpun untuk mengambil segelas air dan meminumnya.Rasanya, rasa lapar dan haus itu menghilang begitu saja digantikan oleh kesengsaraan di dalam hatiku karena suamiku telah menikah lagi, dia sudah bahagia dengan istri barunya, lalu kini mereka akan menyambut bayi yang akan lahir. Sungguh, kehidupan Mas Hisyam sangat sempurna.Aku mencoba mengalihkan pikiranku, aku ingin berhenti menangis tapi hatiku sangat menderita, aku terluka dan pisau pengkhianatan itu seperti menancap di dada. Aku terluka batin dengan keadaan yang cukup parah."Tuhan, apa ini adalah ujian untuk menguatkan perasaanku ataukah ini adalah jalan untuk mengakhiri pernikahan kami?" Aku tercekat membayangkan aku dan dia duduk di persidangan lalu hakim mengetuk palu untuk memisahkan kami.Aku tak bisa membayangkan betapa mas Hisyam akan mengambil koper lalu menyeretnya pergi meninggalkanku dan putriku serta rumah kesayangan kami ini."Mengapa keluargaku yang sudah bahagia tanpa cela tiba-tiba hancur begitu saja ya, Tuhan? Kenapa Engkau tega sekali kepadaku?!"Aku ingin sekali marah dan memprotes tuhan tapi itu sama sekali tidak masuk akal. Tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah dan mencoba berpikir dengan jernih kira-kira Apa yang harus kulakukan selanjutnya.Entah berapa lama aku meringkuk dan memeluk diriku sendiri, entah sudah berapa banyak air mata yang menetes hingga membuat mataku menjadi bengkak dan perih.Sekonyong-konyong pintu kamar terbuka dan siluet suamiku berdiri di sana, aku tidak mengerti apa itu halusinasi karena aku kelaparan ataukah dia memang sudah pulang, aku hanya menatapnya dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Ingin berteriak marah dan mencabiknya, tapi aku tidak berdaya, aku lemas, tak mampu lagi berucap seakan-akan tenggorokanku gersang dan lidah ini menjadi kelu."Hei."Perlahan lelaki itu masuk, dia tahu dia bersalah, jadi ekspresi wajahnya nampak sangat murung. Dia datang ke pinggir tempat tidur di mana aku sedang meringkuk di lantainya."Apa kau sudah buka puasa?"Aku hanya mendongak sekilas menatapnya, tatapan kami bertemu, dia dengan wajahnya yang penuh dengan rasa bersalah begitu memuakkan di mataku, air mataku tumpah begitu saja. Aku ingin berteriak, bertanya sejak kapan dia berselingkuh dan menikahi wanita lain tanpa sepengetahuanku, tapi seluruh anggota tubuhku lemah seakan aku baru saja menjadi korban pengeroyokan."Akan kuambilkan air dan kurma."Dia segera menuju ke dapur, di ambang pintu dia berjumpa dengan ferlina putri kami."Ayah sudah pulang?""Iya, Nak.""Wanita tadi istrimu ayah?"Elina terlihat begitu penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi."Kita bicarakan semuanya nanti ya...."Mas Hisyam hendak membelai kepala anaknya Tapi putriku mengelak dan langsung meninggalkannya begitu saja.Tak lama kemudian Mas Hisyam kembali dengan segelas air dingin dan sepiring kecil kurma. Dia meletakkan benda itu di hadapanku dan memintaku untuk segera berbuka puasa."Ayo minum dulu." Dia berjongkok di hadapanku dan mengangsurkan nampan berisi benda itu."Kau masih berharap aku bisa makan dan minum?"Dia hanya menelan ludah dengan ekspresi cemas, mau bagaimanapun dia tetap saja telah melakukan sebuah kesahalan besar."Apa yang kau harapkan setelah ini?" ucapku parau."Aku minta maaf, seharusnya aku menjelaskannya padamu sejak lama," jawab lelaki itu sambil menggigit bibirnya."Jika menurutmu kau harus menyembunyikan maka tidak mengapa, aku tidak berhak untuk marah. Aku hanya melihat satu solusi sekarang."Dia mendongak ke arahku seakan ia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Uruslah perceraian di antara kita berdua, agar istrimu tidak marah. Kupikir dia lebih membutuhkanmu karena sebentar lagi dia akan melahirkan. wanita hamil tidak boleh terluka dan tertekan, jadi, kembalilah padanya dan tinggalkanlah kami."Aku mengatakan itu dengan segala air mata yang terus menetas di pipiku, hatiku hancur, aku ingin murka dan menghujatnya tapi itu sudah tidak ada artinya sekarang."Jangan bicara begitu, Zubaidah." Hanya kata sesingkat itu yang bisa ia katakan saat aku telah mengambil keputusan agar dia kembali pada istrinya yang tengah hamil itu."Aku mungkin bisa bertahan dengan anakku, tapi wanita itu pasti akan mati syok mengetahui bahwa suaminya punya istri lain. Apa kau mau dia mengalami tekanan darah tinggi dan celaka?""Tidak.""Menurutmu aku akan diam saja kalau kau tidak mengambil solusi?"Sangat perlahan perkataanku padanya, sangat lirih dengan nada rendah namun lelaki itu sontak merasa khawatir dan cemas. Ekspresi tatapan matanya membulat tapi ia segera menurunkan pandangannya lagi. "Menurutmu aku akan duduk manis di rumah dan tidak melakukan apapun?!""Aku mohon....""Lakukan sesuatu sebelum aku menemui mereka mengatakan yang sebenarnya.""Tolong jangan dulu, aku belum siap...""Lalu kenapa kau menikah jika kau belum sanggup mengkondisikan antara aku dan dirinya!"Satu bentakan saja membuatnya gugup, andai tidak kasihan pada anak mungkin gelas teb
"Takdir katamu, Mas?""Zu, bukan begitu..." "Tidaklah bertemu seorang pria dan wanita lalu berjodoh kalau bukan atas kehendak dan izin Allah." Dia mulai membuat alasan lagi. "Ada beberapa nasib yang bisa ditentukan dan dipilih sendiri! perjodohan adalah takdir yang diupayakan. Jangan berdalih ini pilihan Tuhan, ini kehendakmu sendiri!""Zu ...""Berhentilah memohon, kau menikahinya tanpa sepengetahuanku sudah membuktikan kau menganggapku remeh. Kau tidak segan atau takut, itu membuktikan bahwa kau tidak menghargaiku!" "Astaghfirullah, aku sangat menghargaimu dan aku memuliakanmu.""Jika demikian, kenapa kau tidak bisa mengendalikan perasaan hatimu untuk menduakanku. Kenapa kau tega melakukannya!"Aku berteriak, mendekatinya mencengkram pakaiannya dan mengguncangnya berkali-kali. Kendati sudah berusaha untuk tetap tenang dan diam saja tapi lama-lama aku tidak bisa menahan diri. Mas Hisyam sendiri hanya menggeleng lesu dan dia tidak bisa mengatakan apapun lagi. "Carilah solusi untuk
Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya. Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar. "Bund, makanlah sesuatu.""Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin."Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya.""Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata. Sudah
Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar. Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan
Pukul 07.00 pagi, anakku sudah rapi dengan seragamnya, meski tetap berangkat sekolah tapi putriku tetap berusaha untuk melengkapkan puasanya. Suamiku juga terlihat sudah rapi dan mengenakan sepatunya, seperti biasa dia dan anaknya akan berangkat bersama. "Bun boleh minta uang lebih tidak?""Untuk apa?""Aku naik angkot saja.""Tidak, kau akan berangkat dengan ayah!" Mas Hisyam segera menimpali percakapan kami. "Lebih enak naik angkot Bunda, ada temen-temen juga." Kan aku tidak menanggapi perkataan ayahnya tapi dia menghindar dan memilih untuk tetap naik angkot."Berangkat bersama Ayah akan lebih cepat dan tepat waktu. Kenapa kau seperti menghindari Ayah, seakan Ayah ini adalah najis.""Berangkat dulu ya Bunda sebelum aku telat," balasnya mencium pipiku. Gadis itu melewati ayahnya tanpa bicara apapun meski sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kau lihat itu?!" tanya Mas Hisyam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya keluargaku tak lagi menghargaiku.""Kau ingin dihargai tapi
Agar wanita itu tak semakin mendesak dan menggangguku maka kubiarkan dia untuk membayar belanjaan yang kubeli. Dia menggandeng ku ke arah kasir sementara mas hisyam mengikuti kami.Dia menawarkan barang-barang lain sebelum membayar belanjaanku itu."Mbak masih mau beli yang lain tidak?""Tidak, terima kasih." "Di kehamilanku yang sekarang, aku berharap tidak melakukan sesuatu yang membuat seseorang sakit hati, aku mencoba meminimalisir dosa dan terus berbagi agar aku mendapatkan berkah dan kehidupan yang lebih baik."Dia bilang kehamilanku yang sekarang apa sebelumnya ia pernah hamil? Berarti masih Islam sudah berhubungan lama dengannya."Oh, begitu ya, Semoga kau dapatkan Apa yang kau harapkan.""Makasih Mbak.""Total belanjaannya Rp2.100.000 nyonya." Kasir memberitahu wanita itu, wanita bernama Eva yang penampilannya telah membakar hatiku. Kaftan cantik dan rambut yang tergerai itu... Aku benar-benar cemburu padanya. "Pantas Mas Hisyam sangat tergila gila.""Mas minta kartunya, s
Aku tiba di rumah dengan hati remuk redam, tangisan kupecah sesaat setelah aku baru saja masuk ke dalam rumah, aku terjatuh rumah sakit tulang belulang tercerabut dari badan, aku menangis tak akan kehilangan separuh nyawa dan entah kenapa aku tidak bisa menghentikan gejolak kesedihan dan perasaan kecewa ini. Aku menangis sementara barang belanjaanku yang tadi jatuh begitu saja ke lantai. Meski berusaha untuk tetap tegar dan mencoba untuk tidak mendramatisir masalah tapi tetap saja ini adalah luka yang amat menyakitkan. Siapa yang bisa menyangkanya bahwa kehidupan kami yang harmonis hanya sia-sia saja.Siapa yang menduga kalau orang yang selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang itu, nyatanya punya orang lain yang dia idamkan. Sebagai satu-satunya wanita yang merasa sah menjadi istri dan memilikinya, tentu saja hatiku merasa hancur begitu tahu kalau ternyata ada yang lebih penting dibandingkan diri ini. Ya, wanita bernama Eva itu, dia amat cantik, eksotis dan mempesona, bahkan aku
Dia menangis di depanku, tapi aku jijik melihatnya. Aku ingin meludahi wajahnya tapi dia terus memelukku. Aku menangis meluapkan kekesalanku sementara ia menangis karena merasa bersalah.Entah sampai kapan kesedihan ini akan berakhir tapi yang jelas ini adalah penderitaan yang amat buruk.*Jujur setelah kejadian dan prahara itu, aku mulai merasa kalau mentalku terguncang, aku mulai merasa kehilangan setengah kewarasan dan sudah tidak fokus melakukan tugas-tugasku.Hari-hariku dipenuhi dengan air mata dalam kesengsaraan hati, aku tak lagi menemukan semangat atau punya alasan bertahan hidup dan melakukan yang terbaik. Aku yang selalu berdedikasi pada tugas rumah tangga dan peranku sebagai istri, kehilangan jati diri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali seperti semula. Aku hanya bisa murung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tercenung dan duduk sendirian, meringkuk sambil mengemas air mataku. Aku lebih sering meringkuk di sisi jendela kamar sambil menun