Setelah sekian lama bungkam, sementara suamiku hanya tercenung di posisinya setelah mendengar sindiran putrinya yang menyakitkan. Aku berinisiatif untuk bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas air.
Aku sadar menyiksa diriku seperti ini akan menambah kesengsaraan dalam hidupku, aku harus makan dan minum, sebab membutuhkan tenaga untuk menghadapi ujian dan kenyataan pahit ini. Aku tidak bisa lari ke belakang atau kabur dari kenyataan, oleh karenanya, satu-satunya jalan adalah menghadapi semuanya satu persatu dan berusaha memecahkannya.Kuangkat nampan dan sepiring kurma yang tadi dibawakan oleh Mas Hisyam, aku membawa benda itu keluar."Bund, makanlah sesuatu.""Tentu, aku tak akan mati karena perbuatanmu," balasku dingin."Kau berhak mengatakan apapun untuk melampiaskan perasaanmu, aku tidak akan melawannya.""Seburuk apapun kemarahan dan penderitaan hatiku, tetaplah kau pemenangnya Mas." Aku tertawa sambil menyapu air mata terakhir yang menetes dari pelupuk mata.Sudah 7 jam aku menangis seperti ini, sudah 7 jam aku merasakan hatiku seperti digelungi oleh kawat besi yang tajam, aku menderita, aku tidak percaya dengan kenyataan tapi aku yakin hari-hari kedepannya akan jadi lebih berat dari ini.Suasana rumah begitu lengang dan gelap, hanya lampu itu temaram dinding berwarna kuning yang menerangi setiap sudut rumah. Entah kenapa lampu utama tidak dinyalakan, keadaan menjadi suram sesuram hati penghuni rumah.Aku duduk di meja makan, memperhatikan aneka makanan kesukaan suami yang tadi siang kumasak dengan penuh cinta dan antusias. Makanan itu masih belum tersentuh sedikitpun.Kutarik nafas dalam lalu kubalik piringku, kutuangkan nasi dan lauk lalu mulai memakannya. Baru saja sekali menyuapkan nasi ke mulut, aku kembali teringat kejadian siang tadi di mana aku dan putriku terjatuh ke aspal lalu wanita itu berteriak memanggil nama suamiku dengan sebutan suaminya.Ah, air mataku tak terbendung lagi, terjatuh ke atas nasi begitu saja, hatiku perih luar biasa saat mulai menyadari bahwa mulai sekarang keadaan tidak akan sama seperti semula. Makanan ini, rumah ini, diriku dan putriku, semuanya seperti jembatan persinggahan, di mana pelabuhan terakhirnya adalah wanita baru dalam hidup suamiku.Aku tak sanggup lagi untuk makan, membayangkan betapa suamiku sangat memanjakan pengantin barunya, aku yakin dia merayu wanita itu sama seperti dia merayuku, pasti sikap romantis, kemesraan dan bagaimana cara ia memperlakukanku, akan ia lakukan pada wanita itu dengan cara yang sama.Aku kesal menyadari bahwa segala cinta dan kasih sayangnya ternyata dibagi dua. Aku geram hidup dalam kepalsuan dan penipuan ini. Jelas sudah, aku dikhianati oleh satu-satunya alasan diri ini bertahan hidup.Kuusap air mata, lalu kuakhiri makan tanpa menghabiskan makanan tersebut. Kutinggalkan meja makan setelah menutup tudung saji lalu Seperti biasa aku periksa pintu rumah dan menutup semua gorden jendela.Tring tring!Ponsel suamiku yang tertinggal di meja ruang tamu berdering.Ada nama Eva yang tertulis di layar ponselnya. Tanpa berpikir lebih lama aku tahu itu adalah wanita tadi. Tanpa memanggil Mas Hisyam aku langsung mengangkatnya, tapi aku tidak mengatakan apapun."Sayang, apa yang terjadi? kenapa kita tidak jadi berbuka puasa bersama? Sesibuk itukah pekerjaanmu sampai kau tidak bisa menyempatkan waktu?!"Bagaimana akan menyempatkan waktu jika selama ini dia sibuk bekerja dan pulang padaku tepat waktu. Wanita itu tidak sadar kalau dia hanya istri kedua."Aku tahu kau sangat sibuk dan cenderung jarang pulang. Tapi kau tahu kan' aku adalah istrimu dan aku sedang hamil. Aku dan calon anak kita ini membutuhkanmu Mas. Kadang aku berpikir bahwa aku bukan satu-satunya jalan pulangmu, kadang aku berpikir bahwa pernikahan ini seperti sandwara saja."Wanita itu mencecar tanpa menyadari bahwa akulah yang mengangkat telepon suaminya. Dia terdengar sedih dan galau sekali, terdengar terluka dan putus asa.Ya, aku mengerti sekali bahwa wanita hamil cenderung sedikit manja dan momen bulan Ramadan adalah hal yang ditunggu untuk berkumpul keluarga, makan bersama lalu beribadah."Aku tahu Mas, aku hanyalah anak yatim yang tidak diketahui asal-usulnya, aku tumbuh sebatang kara dan begitu mendapatkan suami aku sangat bahagia . Aku hanya memilikimu di dunia ini jadi seharusnya kau ada di sisiku!" Wanita itu mulai menangis tersedu, membuat hatiku ikut terluka bersamaan dengan tangisannya yang pilu."Bisakah sekali saja kau menghabiskan dua hari menginap denganku, kenapa kau memperlakukanku seperti wanita murahan yang hanya dikunjungi saat kau butuhkan!? Aku ini apa untukmu, Mas!" Dia menangis sekali lagi dengan nada yang amat putus asa dan pilu.Mendengar tangisannya yang menyayat hati aku jadi sadar bahwa bukan akulah satu-satunya yang akan sengsara di dunia ini akibat perbuatan mas Hisyam.Kumatikan ponsel karena sudah tidak kuasa mendengar wanita itu menangis, ditambah ia adalah orang ketiga dalam pernikahanku membuat hati ini akan semakin sakit saja padanya.Kuletakkan kembali ponsel mas Hisyam di atas meja. Lalu aku pergi ke mihrab untuk salat. Kubasuh wajahku di keran bersamaan dengan air mata yang terus menetes. Kuhamparkan sajadah dan mengenakan mukena lalu menunaikan salat isya, dilanjutkan dengan salat sunnah lainnya.Demi menenangkan diri dan terbakarnya perasaan aku mencoba untuk membaca ayat suci Alquran. Terus mengucapkan istighfar di dalam hati agar gejolak kemarahan ini tidak membuatku semakin berdosa dan menimbulkan prahara yang lebih besar. Entah berapa lama aku di sana aku tertidur karena lelah menangis, hingga tiba-tiba suamiku membangunkan diri ini dan mengguncang bahuku perlahan."Bunda, ayo sahur."Aku menggeliat sebentar dan mencoba membuka mata, kulirik waktu telah menunjukkan pukul 03.00 pagi di mana aku seharusnya segera menyiapkan makanan
Pukul 07.00 pagi, anakku sudah rapi dengan seragamnya, meski tetap berangkat sekolah tapi putriku tetap berusaha untuk melengkapkan puasanya. Suamiku juga terlihat sudah rapi dan mengenakan sepatunya, seperti biasa dia dan anaknya akan berangkat bersama. "Bun boleh minta uang lebih tidak?""Untuk apa?""Aku naik angkot saja.""Tidak, kau akan berangkat dengan ayah!" Mas Hisyam segera menimpali percakapan kami. "Lebih enak naik angkot Bunda, ada temen-temen juga." Kan aku tidak menanggapi perkataan ayahnya tapi dia menghindar dan memilih untuk tetap naik angkot."Berangkat bersama Ayah akan lebih cepat dan tepat waktu. Kenapa kau seperti menghindari Ayah, seakan Ayah ini adalah najis.""Berangkat dulu ya Bunda sebelum aku telat," balasnya mencium pipiku. Gadis itu melewati ayahnya tanpa bicara apapun meski sekedar mengulurkan tangan untuk bersalaman. "Kau lihat itu?!" tanya Mas Hisyam sambil berkacak pinggang. "Sepertinya keluargaku tak lagi menghargaiku.""Kau ingin dihargai tapi
Agar wanita itu tak semakin mendesak dan menggangguku maka kubiarkan dia untuk membayar belanjaan yang kubeli. Dia menggandeng ku ke arah kasir sementara mas hisyam mengikuti kami.Dia menawarkan barang-barang lain sebelum membayar belanjaanku itu."Mbak masih mau beli yang lain tidak?""Tidak, terima kasih." "Di kehamilanku yang sekarang, aku berharap tidak melakukan sesuatu yang membuat seseorang sakit hati, aku mencoba meminimalisir dosa dan terus berbagi agar aku mendapatkan berkah dan kehidupan yang lebih baik."Dia bilang kehamilanku yang sekarang apa sebelumnya ia pernah hamil? Berarti masih Islam sudah berhubungan lama dengannya."Oh, begitu ya, Semoga kau dapatkan Apa yang kau harapkan.""Makasih Mbak.""Total belanjaannya Rp2.100.000 nyonya." Kasir memberitahu wanita itu, wanita bernama Eva yang penampilannya telah membakar hatiku. Kaftan cantik dan rambut yang tergerai itu... Aku benar-benar cemburu padanya. "Pantas Mas Hisyam sangat tergila gila.""Mas minta kartunya, s
Aku tiba di rumah dengan hati remuk redam, tangisan kupecah sesaat setelah aku baru saja masuk ke dalam rumah, aku terjatuh rumah sakit tulang belulang tercerabut dari badan, aku menangis tak akan kehilangan separuh nyawa dan entah kenapa aku tidak bisa menghentikan gejolak kesedihan dan perasaan kecewa ini. Aku menangis sementara barang belanjaanku yang tadi jatuh begitu saja ke lantai. Meski berusaha untuk tetap tegar dan mencoba untuk tidak mendramatisir masalah tapi tetap saja ini adalah luka yang amat menyakitkan. Siapa yang bisa menyangkanya bahwa kehidupan kami yang harmonis hanya sia-sia saja.Siapa yang menduga kalau orang yang selalu penuh dengan cinta dan kasih sayang itu, nyatanya punya orang lain yang dia idamkan. Sebagai satu-satunya wanita yang merasa sah menjadi istri dan memilikinya, tentu saja hatiku merasa hancur begitu tahu kalau ternyata ada yang lebih penting dibandingkan diri ini. Ya, wanita bernama Eva itu, dia amat cantik, eksotis dan mempesona, bahkan aku
Dia menangis di depanku, tapi aku jijik melihatnya. Aku ingin meludahi wajahnya tapi dia terus memelukku. Aku menangis meluapkan kekesalanku sementara ia menangis karena merasa bersalah.Entah sampai kapan kesedihan ini akan berakhir tapi yang jelas ini adalah penderitaan yang amat buruk.*Jujur setelah kejadian dan prahara itu, aku mulai merasa kalau mentalku terguncang, aku mulai merasa kehilangan setengah kewarasan dan sudah tidak fokus melakukan tugas-tugasku.Hari-hariku dipenuhi dengan air mata dalam kesengsaraan hati, aku tak lagi menemukan semangat atau punya alasan bertahan hidup dan melakukan yang terbaik. Aku yang selalu berdedikasi pada tugas rumah tangga dan peranku sebagai istri, kehilangan jati diri dan tak tahu lagi apa yang harus kulakukan agar semuanya kembali seperti semula. Aku hanya bisa murung menghabiskan lebih banyak waktu untuk tercenung dan duduk sendirian, meringkuk sambil mengemas air mataku. Aku lebih sering meringkuk di sisi jendela kamar sambil menun
Napas pagi terasa begitu lambat dengan mendung pekat yang menjelaga di langit. Rintik hujan terdengar begitu syahdu, menciptakan sensasi serupa dukungan kesedihan di dalam hatiku. Alam dan keadaan sekitar seolah-olah ingin mengundang tangisanku untuk meleleh kembali dari pelupuk mata. Seperti posisiku semalam aku terbangun dan mendapati diriku meringkuk di lantai dalam keadaan kedinginan dan tidak ada seorangpun di kamar ini. Sebelum ini aku tidak pernah sengsara, suamiku akan memelukku di tempat tidur dan memastikan kalau selimut menutupi badan ini. Selagi aku belum mengetahui rahasianya, tidak semalam pun dia lewatkan tanpa bersama dengan anak dan istrinya, bahkan beberapa malam jadi malam yang penuh keromantisan dan karena dia pandai menuangkan madu asmara yang membuat segalanya jadi lebih manis. Ah, mengenang semua itu aku hanya mampu memejamkan mata dan mendesah, lalu kembali, air mata yang terasa asin membuat netra semakin pedih. "Seburuk ini rupanya." Aku berdoa agar cukup
Ada dorongan tersendiri di hatiku serupa seperti bisikan ajaib yang memaksaku untuk mengikuti dan ingin melihat seperti apa hunian wanita itu. Aku ingin tahu apa yang terjadi di sana dan sudah sejauh apa hubungan mereka. Syukur syukur, jika kebetulan aku bertemu dengan lelaki itu dan kita lihat ledakan apa yang akan terjadi berikutnya. Aku bergandengan tangan dengan anakku sementara wanita itu menunjukkan jalan pada kami, "Aku ingin lihat rumahnya," bisik anakku pelan."Ya, mari kita lihat omong kosong yang dibangun ayahmu," balasku pelan juga. Lepas keluar dari pantai, kami berjalan sekitar 200 meter dan menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah komplek perumahan baru yang cukup bagus. Rumah wanita itu ada di blok B nomor 25, dia membukakan pintu gerbang dan menyambut kami dengan ucapan selamat datang. "Selamat datang di rumah saya Mbak.""Terima kasih, tapi aku penasaran kenapa kau begitu baik pada orang asing seperti kami. Padahal perjumpaan kita tanpa sengaja dan kau telah memba
Aku sudah tak tahan lagi berada di rumah wanita itu lebih lama lagi, meski aku tahu mengikutinya akan membuat hatiku semakin sakit tapi entah kenapa aku tadinya begitu penasaran. Seperti ekspektasiku, aku menemukan rahasia baru yang membuat perasaan ini semakin nelangsa dan berdarah-darah. "Tahukah Tante bahwa suami tante adalah ...."Mungkin karena merasa sudah sakit hati dan tak tahan lagi dengan penderitaan ibunya, putriku langsung berkata dengan lantang dan hendak mengatakan yang sebenarnya tentang ayahnya. "Adalah apa Nak?" Punya wanita hamil itu sambil tersenyum dan menata piring di atas meja, dia tetap menyiapkan berbuka puasa untuk aku dan anakku. Putriku melirik diri ini dan aku memberi isyarat dengan gelengan kepala. "Belum waktunya.""Adalah pria yang baik, tante.""Ah, kau pintar sekali, pasti ibumu bangga memiliki anak yang bijaksana dan pintar sepertimu, Nak.""Mudah-mudahan Tante, mudah-mudahan aku jadi alasan kebahagiaan untuk Bunda.""Kau benar-benar bijaksana dan