Ayah menyetir mobilnya dengan kencang, lelaki itu nampak kesal dengan apa yang terjadi di rumah ibu mertua. Adzan maghrib berkumandang diiringi dengan senja yang berganti menjadi gelap malam, Ayah segera membelokkan mobilnya di sebuah rumah makan terdekat."Meski ke hatiku terbakar tapi kita harus tetap berbuka puasa tepat waktu.""Iya, ayah ayo turun," ujarku pelan.Ibu dan adikku juga turun menyusul kami, setelah memilih sebuah meja yang cukup besar kami langsung memesan makanan dan berbuka puasa dengan itu. *"Jadi apa yang akan kau lakukan?" tanya ayah, setelah beliau selesai makan."Aku tidak tahu ayah.""Apa kau mau pulang ke rumah ayahmu atau kau ingin pulang ke rumahmu sendiri setelah ini?""Sebaiknya aku pulang ke rumahku sendiri karena tidak ada yang bisa ku pertahankan selain satu-satunya rumah itu untuk anak kami.""Lalu bagaimana tentang Hisyam?" "Aku tidak tahu ayah, lelaki itu baik, tetapi dia telah menduakanku.""Maka satu-satunya pertanyaan yang harus kau jawab untu
"Tolong!" Teriakan wanita itu membuat mas hisyam terhenyak. Tak lama setelahnya air ketuban wanita itu pecah beriringan dengan darah yang keluar dari sela pahanya."Tolong aku, sakit!" teriaknya sekali lagi. Suaminya berlari mendekat lalu melompat mendekati istri kesayangannya itu, dia panik melihat darah yang membasahi gamis wanita berambut panjang itu."Ahhh, aku akan mati Mas, aku kesakitan tolong aku!""Zubaidah! Kau benar-benar arogan dan jahat, lihatlah apa yang telah kau lakukan!" Mas Hisyam panik lalu berusaha mencari pertolongan."Jika ada yang terjadi pada Eva Aku tidak akan memaafkanmu!" ancamnya. Dia menyalakan mobilnya lalu berusaha mencari seseorang yang bisa membantunya untuk menggotong Eva di ke atas mobilnya. Selagi ia mengancamku, aku mulai menyadari bahwa cinta yang ada di hatinya hanya tertuju untuk Eva. Aku sadar betul dengan posisiku yang sekarang, karena jika dia masih menyayangiku, tentu dia pun akan menjaga perasaanku dan tidak memarahiku seperti itu. "To
Sepanjang malam sampai subuh aku tidak tertidur, aku hanya duduk di sofa dengan air mata yang tak berhenti bergulir mengingat semua ucapan Mas Hisyam yang kasar. Dia telah menghardik dan mengutuk diri ini, juga mengancam akan menuntutku jika terjadi sesuatu kepada Eva. Dia telah menunjukkan jati diri dan perasaan yang sebenarnya terpendam selama ini setelah apa yang terjadi semalam. Aku yakin, setelah kelahiran putra yang sangat ia tunggu dan idam-idamkan lelaki itu akan teralihkan dan tidak akan diingat untuk pulang lagi ke rumah ini. Ia telah temukan cinta sejati dan kebahagiaan sesungguhnya di rumah Eva jadi berharap agar lelaki itu kembali padaku adalah sesuatu yang mustahil. "Pagi, Bunda." Kan aku keluar dari kamarnya dengan pakaian sekolah yang telah lengkap."Apa sepanjang malam bunda di situ?" "Ya.""Ayah belum pulang juga?""Mungkin ayahmu menjaga adik bayi.""Oh," jawab Elina dengan ekspresi sedikit kecewa dan kecil hati."Dengar, kau satu-satunya anak kesayangan bunda
"Di hari pernikahan Aku telah berjanji pada ayah kalau aku akan bahagia tapi aku malah mengecewakan Ayah.""Tidak nak hal yang terjadi padamu di luar kendalimu, ayah datang ke sini untuk membela dan berdiri di pihakmu. Ayah akan selalu ada untuk menemani dan mendampingimu saat kau perlukan jadi Jangan menyalahkan diri seperti itu.""Lalu pada akhirnya... pantaskah aku melepaskan suamiku?""Keputusan itu ada padamu, jika bagimu dia berharga maka jangan tinggalkan dia tapi jika semua usaha tidak ada artinya maka sebaiknya berpisah. Masa depan masih panjang dan hal-hal terbaik menunggu di hari esok.""Apa aku masih boleh berharap akan kebahagiaan di masa depan ayah?" Air mata mengalir ke sudut bibir dan terasa asin di ujung lidah, aku semakin tak mampu membendung tangisanku."Barangkali ada jodoh yang lebih baik atau mungkin kau bisa bangkit dan mengubah keadaan menjadi lebih baik," jawab Ayah. "Tapi anakku ... Aku tidak menyuruhmu untuk berpisah jika kau tak mau. Semua kembali padamu."
"Mbak!" Aku yang mau pergi dipanggil oleh Eva, wanita yang baru saja melahirkan dua hari lalu itu, menyusul ke pintu depan dan mendapati kami sedang berbicara dengan Mas Hisyam."Mau kemana, kenapa tidak masuk dulu," ujarnya. Aku hanya menulis sesaat agar tidak perlu menunjukkan air mataku, wanita itu nampak tertatih dengan dasternya, rambutnya diikat ke atas meski tidak mengenakan kosmetik tapi dia tetap terlihat cantik. "Mas, Kenapa Mbak Zu tidak diajak masuk?""Kami hanya sebentar, hanya datang untuk minta izin.""Tapi tetap saja... Kenapa harus bicara di depan pintu seakan-akan kita saling membenci Mbak, rumah ini juga adalah rumahmu.""Maaf, kedatangan kami telah mengganggumu," ujarku sambil menggandeng anakku menjauh. Tapi wanita itu gigih, dia mengejar dan menahan kami."Mbak aku minta maaf atas kesalahanku yang telah datang ke rumahmu, Aku benar-benar ingin kita saling memaafkan," ujarnya dengan ekspresi penuh pengharapan.Aku melirik suaminya, lalu melihat tangannya yang men
Sekembalinya aku dari umroh, semua anggota keluargaku datang untuk menemui dan merayakan syukur bahwa kami berhasil kembali dengan selamat. Kami makan-makan bersama serta aku membagikan oleh-oleh tasbih dan air zam-zam untuk mereka. Ada juga yang aku bawakan Alquran, perhiasan jilbab dan gamis, Mereka senang sekali dan berterima kasih menerimanya."Kau terlihat lebih cantik dan lebih tenang setelah pulang dari Mekah, aku harap pikiranmu benar-benar merasa jernih setelah ini," ujar Tanteku, adik ibuku. "Insya Allah, saya pun merasa lega.""Kamu sudah boleh mengambil keputusan terbijak untuk dirimu sendiri.""Akan kuutarakan jika aku bertemu dengan Mas Hisyam.""Baiklah, tetapi semua orang tetap berharap yang terbaik untukmu. Jika bertahan membuatmu bahagia, maka kami mendukung, tidak ada seorangpun di sini yang menginginkan keretakan rumah tangga kalian.""Saya akan berusaha sebaik mungkin tante.""Ya, kami juga berharap yang terbaik, Nak." **Dua hari setelah kepulangan, Mas Hisya
Setelah perdebatan panjang, aku dan dia memutuskan pergi ke rumah ibu mertua untuk memberitahu akan keputusan kami yang ingin berpisah. Untuk pertama kalinya sejak kemarahanku, aku mau semobil dengannya. Aku duduk di sisinya dan diam saja sembari menyadari bahwa ia terus curi-curi pandang ke arahku."Zu, masih ada waktu untuk memikirkannya dan aku akan memberimu keleluasaan untuk menimbang kembali keputusan itu,"ujarnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. Kulirik jemari tangannya, tak ada lagi cincin pernikahanku yang melingkar di sana, posisi itu sudah digantikan oleh cincin pernikahannya dengan Eva. Hatiku sakit luar biasa dan aku tidak mampu menahan air mata yang tergenang di pelupuknya. Sakit!Aku berpaling dan menyembunyikan kesedihanku dari pandangan matanya. Ya, Andai ia masih menyayangiku dan bertekad untuk adil pada kami tentu dia akan mengenakan kedua cincin itu dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu, meski ia membujukku tapi sebagian besar perasaannya sudah hambar
Entah angin apa yang membawa Eva sehingga tiba-tiba ia berdiri di hadapan pintu utama dengan mata yang sudah sembab oleh tangisan, bersama dengan bayinya, saat berpapasan denganku wanita itu tidak sanggup menahan tangisannya. "Eva kok kamu ada di sini?"Dia tidak menjawabku tapi tatapan matanya dan lelehan bening yang terus mengalir itu seolah-olah memberitahuku bahwa ia sedang sangat menderita."Silakan masuk," ucapku membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia mengikutiku sembari memeluk bayinya yang baru berumur seminggu dia menatap diri ini dengan sedih."Kenapa kau menangis?""Aku telah mendengar kabar dari Mas Hisyam bahwa Mbak sudah mengambil keputusan untuk berpisah.""Lalu?""Dan aku tak setuju, Mbak. Aku tidak akan bisa hidup dengan tenang setelah tahu bahwa aku mendapatkan kebahagiaan dengan mengorbankan kalian berdua. Aku tidak bisa menjalani hidup semacam itu Mbak," jawabnya dengan sedih."Dengar Eva... aku tak pernah sekalipun menyalahkanmu atas apa yang terjadi sek
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
Apa artinya kini Hisyam sudah menyerah? Kurasa ya!Dirampok hingga jatuh miskin, kehilangan harta dan rumah yang harus dijual untuk perawatannya. Ditambah kehilangan pekerjaan karena harus cuti panjang, istri yang terus mengeluh karena harus mengurus bayi sekaligus bekerja, kupikir semua itu adalah paket combo yang membuat Mas Hisyam sudah tidak punya waktu untuk mengganggu kami lagi. Dia harus fokus menata kehidupannya, dia harus menyembuhkan dirinya sendiri, dan mulai berkeliling untuk mencari pekerjaan yang layak, dulu pekerjaannya sebagai orang proyek membuat lelaki itu mudah sekali mendapatkan uang dan menghamburkannya, namun sekarang, sungguh jauh kenyataan dari harapan, segala sesuatu pupus begitu saja dalam genggaman.*Hari bergulir, berjalan dengan normal seperti kehidupan orang pada umumnya, rumah tangga kami berlangsung dengan harmonis meski kami belum kunjung mendapatkan garis dua. Prioritas untuk mendapatkan anak itu tidak terlalu ada di urutan pertama mengingat aku dan
Sejak kepergian wanita pengusik ketenangan kami itu, suamiku terus gelisah, bahkan setelah mengantarkan Fira dan Ali kembali ke rumah neneknya pria itu tidak bisa memejamkan matanya, hanya terus bolak-balik, bangun tidur dan gelisah di kamar kami."Kenapa Mas," ujarku sambil menyentuh bahu dan mendekatinya,"ini sudah malam, kenapa belum tidur, besok harus mengajar di kampus dan sekolah.""Aku tahu, tapi aku benar-benar gelisah.""sebab apa?""Aku ingin melindungi keluargaku Ida. Aku ingin kalian selalu hidup dalam ketentraman dan bahagia, aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu kalian.""Aku paham itu, Mas, aku tahu, dan kau sudah lakukan yang terbaik.""Tapi kenapa keluarga mantanmu seolah mengincar kehidupan kita dan bertekad untuk membuat kita tidak tenang! Ya Allah, Ida, aku harus bagaimana?" keluh lelaki itu dengan sedih. Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu sebab aku sendiri tidak mengerti kenapa keluarga mas Hisyam masih terus mengincar kami. "Wanita itu mengha
"Kau harus lebih tenang Mas. Tersulutnya emosimu saat mas Hisyam menyindirmu membuat dia memenangkan dan mempermainkan emosimu. Kau langsung marah dan mengusir mereka, belum memberi mereka alasan untuk terus mengolokmu, kau harus lebih sabar." Aku menyentuh pundaknya, sambil membelainya perlahan. "Apa boleh buat ucapan mereka sangat menyakitkan hatiku!""Mereka hanya mempermainkanmu. Sebagai istrimu aku lebih mempercayai dan yakin pada akhlakmu yang baik.""Kau pun sudah 14 tahun bersama dengan keluarga itu, Ida. Apa kau sama sekali tidak terganggu dengan sifat mereka.""Tadinya mereka semua baik Mas. Tapi perceraian mengubah keadaan dan pernikahanku denganmu semakin membuat mereka kesal.""Manusia yang punya hasad dan dengki di hatinya sangat berbahaya, Ida. Aku dan kamu harus berhati-hati, karena jika tidak mereka bisa saja memfitnah dan merusak keluarga kita.""Semoga itu tidak terjadi.""Membayangkan saja membuatku takut," ucap Mas Jaka sambil menghela napas perlahan.**Seminggu
Dua bulan kemudian, Pada ujian kenaikan kelas putri kami berhasil mendapatkan nilai yang sempurna, demi mengapresiasi usaha dan prestasi belajarnya maka Mas Jaka berniat untuk membelikan dia sebuah hadiah dengan sedikit uang yang telah ditabungnya selama berbulan-bulan. "Aku berniat menghadiahkan Elina barang yang akan membantunya kemana-mana.""Tidak usah Mas, tidak usah repot-repot.""Dengar, Aku adalah Ayah sambungnya jadi aku harus bertanggung jawab membahagiakan dan memastikan bahwa hidupnya baik-baik saja.""Dia baik-baik saja kok.""Sejak ayahnya tidak bekerja, mereka tak lagi mengirimkan uang. Aku bisa melihat perubahan Putri kita yang hanya bisa menahan perasaannya ketika menginginkan sesuatu.""Oh ya, apa begitu, Mas?" Aku mulai menyadari bahwa sejak mas Hisyam tidak mengirimkan nafkah, anakku tak lagi merengek saat hendak minta sesuatu atau kebutuhan sekolahnya, dia lebih banyak diam dan menjalani apa adanya. "Aku sering memperhatikannya dan menanyai apa sebenarnya yang
"Bersabarlah eva.""Aku tidak yakin Apakah aku bisa sabar dalam ujian ini, aku benar-benar putus asa Mbak, trauma dan takut juga, bahkan aku trauma melihat rumahku.""Kau harus tegar, karena jika kau lemah siapa yang akan merawat suami dan anakmu!" ujarku tegas, aku tidak tersenyum atau bersikap lembut padanya sama sekali. "Aku kebingungan sekarang, perampok itu merampas ponsel kami sehingga aku tidak bisa memeriksa m-banking, tapi aku yakin 100% kalau mereka sudah menguras isinya!""Bukankah mereka tidak tahu pin-nya?""Tapi mereka bisa saja mengacaknya Mbak, terlebih mereka juga membawa lari dompet dan dokumen-dokumen kami, tidak ada yang tersisa sedikitpun bahkan mereka merampas cincin pernikahan kami dari jemariku." "Astaghfirullah....""Aku benar-benar ketakutan seakan nyawa kami berada di ujung tanduk Mbak, mereka menodongkan pistol dan hendak menggorok leherku leherku, aku sampai bersujud untuk memohon atas nyawaku dan anakku," tuturnya dengan air mata berderai. Terlihat seka
Demi apa, Karma itu benar-benar terjad! aku mendapatkan kabar yang begitu membuatku terbelalak dan kaget luar biasa, karena semalam tadi rumah Mas Hisyam disatroni kawanan perampok. Sebenarnya, pagi-pagi ini kami baru bangun dan mau menikmati secangkir kopi, bersama dengan suamiku kami bercanda dan mau menyiapkan sarapan, tapi tiba-tiba saat televisi dinyalakan, berita pagi menampilkan kejadian di rumah Mas Hisyam. "... Korban mengalami kerugian sebanyak 200 juta, kehilangan barang-barang berharga dan mengalami luka-luka." Begitu kalimat yang disampaikan oleh news anchor, aku terpana mendengarnya. "Kawanan tersebut melakukan penganiayaan sehingga korban mengalami luka yang cukup serius dan harus dirawat di rumah sakit. Sementara istri dari korban mengalami trauma berat." Begitu kalimat penutup dari berita yang tampil pagi ini. "Apa itu benar?" tanya Mas Jaka sambil menatapku."Iya, Mas, tapi...."Lagi Aku ragu menjawab pertanyaan suamiku tiba-tiba Elina keluar dari kamarnya denga
Alangkah terkejutnya Mas Jaka saat di beliau berkunjung ke rumah kami. Hari itu aku memilih lebih cepat pulang dari sekolah sehingga dia yang merasa khawatir langsung menyusul. Dan betapa kagetnya dia mendapatiku yang sedang berkemas-kemas dengan Elina. Rumah kami sudah sangat berantakan dengan tumpukan kardus barang-barang."Ada apa ini?""Kami akan pindah Mas?""Ke mana Kenapa tidak beritahu aku?""Ada kontrakan yang tidak jauh dari tempat kita mengajar, harganya satu juta sebulan jadi aku menyewanya.""Tapi ada apa dengan rumah ini?""Sudah dikembalikan?""Aku tidak bermaksud ikut campur Zubaidah tapi bukankah, ini milik Elina?""Emang betul tapi?""Apa mereka merampasnya karena kita akan menikah?""Terlepas dari aku akan menikah atau tidak, mereka tidak akan melepaskan dan membiarkanku tenang sebelum aku benar-benar mengembalikan semua harta itu, Mas. Jadi jangan merasa bersalah.""Ya Tuhan... Sini kubantu.""Makasih Mas.""Kenapa tidak beritahu aku dari kemarin-kemarin?""Kau sib