Setelah perdebatan panjang, aku dan dia memutuskan pergi ke rumah ibu mertua untuk memberitahu akan keputusan kami yang ingin berpisah. Untuk pertama kalinya sejak kemarahanku, aku mau semobil dengannya. Aku duduk di sisinya dan diam saja sembari menyadari bahwa ia terus curi-curi pandang ke arahku."Zu, masih ada waktu untuk memikirkannya dan aku akan memberimu keleluasaan untuk menimbang kembali keputusan itu,"ujarnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. Kulirik jemari tangannya, tak ada lagi cincin pernikahanku yang melingkar di sana, posisi itu sudah digantikan oleh cincin pernikahannya dengan Eva. Hatiku sakit luar biasa dan aku tidak mampu menahan air mata yang tergenang di pelupuknya. Sakit!Aku berpaling dan menyembunyikan kesedihanku dari pandangan matanya. Ya, Andai ia masih menyayangiku dan bertekad untuk adil pada kami tentu dia akan mengenakan kedua cincin itu dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu, meski ia membujukku tapi sebagian besar perasaannya sudah hambar
Entah angin apa yang membawa Eva sehingga tiba-tiba ia berdiri di hadapan pintu utama dengan mata yang sudah sembab oleh tangisan, bersama dengan bayinya, saat berpapasan denganku wanita itu tidak sanggup menahan tangisannya. "Eva kok kamu ada di sini?"Dia tidak menjawabku tapi tatapan matanya dan lelehan bening yang terus mengalir itu seolah-olah memberitahuku bahwa ia sedang sangat menderita."Silakan masuk," ucapku membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia mengikutiku sembari memeluk bayinya yang baru berumur seminggu dia menatap diri ini dengan sedih."Kenapa kau menangis?""Aku telah mendengar kabar dari Mas Hisyam bahwa Mbak sudah mengambil keputusan untuk berpisah.""Lalu?""Dan aku tak setuju, Mbak. Aku tidak akan bisa hidup dengan tenang setelah tahu bahwa aku mendapatkan kebahagiaan dengan mengorbankan kalian berdua. Aku tidak bisa menjalani hidup semacam itu Mbak," jawabnya dengan sedih."Dengar Eva... aku tak pernah sekalipun menyalahkanmu atas apa yang terjadi sek
Kumatikan seluruh lampu dan membiarkan sebuah lampu dinding yang bercahaya temaram menerangi ruangan. Kubuka pintu kamar dan kudapati Mas Hisyam sudah mengenakan piyama dan berbaring di atas tempat tidur dalam posisi miring dan memeluk guling. Aku mengarah ke meja rias melepas hijabku dan meletakkannya ke atas gantungan lalu duduk di depan kaca dan membiarkan rambutku tergerai. Kubersihkan wajahku sambil melihat pantulan suamiku dari kaca."Kemarilah Zu," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Dia memberi isyarat agar aku mau tidur dengannya, mau dipeluk olehnya dan mau membuka hatiku untuk menerima permintaan maafnya Namun, hatiku membeku, kering kerontang dan aku sulit untuk menerima lagi perbuatan manis darinya. "Kau masih punya pilihan Mas.""Apalagi maksudmu, Zu.""Kau boleh tidur dengan istri dan anak-anakmu," balasku."Zu, ini adalah rumahmu, dan aku sedang berada di kamarmu jadi jangan usir aku untuk berpaling darimu Zubaidah. Ini sungguh tidak pantas dilakukan oleh seorang is
Pagi ini terasa berbeda dan dengan kedatangan tamu yang tidak diundang dan memaksakan dirinya untuk tetap menginap di rumah kami. Aku sediakan sarapan untuk semua orang karena aku tetap berkewajiban sebagai tuan rumah yang baik untuk menyediakan makanan tamunya. Eva keluar dari kamar sambil menggendong anaknya lalu menyapa mas hisyam yang sedang duduk di meja makan. Aku sendiri sibuk mengaduk susu lalu mengantarnya ke meja."Selamat pagi," ujar Eva."Pagi," jawab Mas Hisyam. Wanita itu tersenyum lalu mencium tangan suaminya, Masih bisa membalasnya dengan sapaan hangat lalu menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang. Hatiku seperti setetes air yang jatuh ke atas kuali panas, rasanya menyakitkan sekali dan perih menyengat melihat pemandangan itu. "Anak ayah sudah bersih.""Iya dong Yah, anak bujang ayah," ujar Eva. Elina yang mendengar percakapan mereka keluar dari kamarnya,anak gadisku menyapa ayahnya dan Mas Hisyam langsung mengulurkan tangan untuk meraih anaknya Tapi Elina e
Seperti yang diharapkan semua orang kecuali aku dan mertuaku, akhirnya proses perceraian itu berjalan.Benar aku akhirnya memilih jalan ini, tapi aku tidak pernah berencana menghancurkan pernikahanku sejak awal. Hanya himpitan hati yang akhirnya membuatku terpaksa memilih menyendiri. Sekuat apapun berusaha Aku tetap tidak siap melihat kebersamaan Eva dan Mas Hisyam. Terlampau sakit melihat wanita lain menyentuh orang yang kucintai lalu responnya sangat mesra sekali. Sementara aku ada di antara mereka dan hanya bisa menahan air mata.Kalaupun bisa dalam sehari atau dua hari, apa selamanya aku akan tetap bertahan seperti itu? Bisakah aku berdampingan hidup dengan penderitaan dan rasa cemburu. Jika rasa cemburu itu hilang tentu saja itu pudar seiring dengan terhapusnya rasa cinta. Indikasi bahwa seseorang mencintai adalah kecemburuan ,dan jika tidak ada lagi rasa cemburu, maka cinta patut dipertanyakan.Dengan cinta yang begitu besar inilah aku memilih membiarkan masih hisyam berdua de
"Kau teterlaluan Mas!" Desisku saat kami berjalan beriringan keluar dari ruang persilangan. Kini tidak ada yang tersisa di hatiku selain kebencian dendam.Padahal beberapa saat yang lalu aku masih mencintainya dan ridho dia bahagia dengan wanita lain tapi sekarang kebencian itu memuncak dan membuatku muak atas sikapnya. "Seharusnya kau menghargai keputusanku! Aku tidak nyaman lagi hidup denganmu jadi biarkan aku bebas!" "Aku yakin ini hanya kemarahan sesaat yang bisa hilang jika aku meyakinkanmu," ujarnya sambil memegang kedua bahuku. Aku menepisnya sambil mendecak dan kesal sekali."Cukup Mas, jangan berusaha merekatkan kaca yang sudah pecah berkeping-keping. Kalaupun bisa menyatu maka bekasnya tidak akan pernah hilang! Aku tidak akan pernah nyaman melihatmu dengan wanita itu sementara kau masih terikat denganku tolong pahamilah bahwa aku menderita!""Dan sebagai suamimu aku akan lakukan apapun agar penderitaan itu berkurang Zubaidah, alih alih cerai, Kenapa kau tidak memberiku ke
Dengan taksi, kubawa beberapa koper dan anakku, kubawa juga tangisan beserta luka hati yang sudah menumpuk-numpuk, menggunung melebihi tinggi badan dan kesabaranku. Sebanyak perjalanan aku hanya membisu tapi air mataku meluncur dengan deras, mestinya ini adalah tangisan terakhir di mana aku tidak pantas lagi mengeluarkan air mata untuk seorang penghianat. Anakku juga diam saja sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Melihatku berkaca-kaca Gadis itu hanya menghela nafas sambil mengalihkan pandangannya."Kalau Bunda berat kita bisa kembali," ujarnya."Tidak, kita tidak akan kembali." "Kalau begitu semuanya sudah selesai.""Ya anakku, tidak akan ada yang kembali karena segalanya sudah hancur.""Sekarang kita mau ke mana?""Ke tempat kakekmu.""Apa kita boleh pulang ke sana?""Tentu saja itu adalah rumah orang tua Bunda, kau adalah cucunya jadi kita pasti akan diterima."*Sesampainya di depan rumah ibuku, saat itu hujan gerimis, sopir taksi menurunkan koper sementara aku hanya terman
"apanya yang di luar kendali anakku, apa pernikahanmu dengan wanita itu di luar kendalimu?""Tidak, aku tahu persis apa yang kulakukan dan aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk bicara dan jujur pada keluarga kita.""Baik, kuanggap kau masih menganggapku keluarga dan menghargaiku, jadi aku akan mendengar penjelasanmu.""Aku ingin jujur pada ayah dan juga pada istriku, tapi ... dia mengetahuinya sebelum aku memberitahunya, jadi dia murka dan memutuskan untuk meninggalkanku.""Menurutmu yang dilakukan anakku benar atau salah?""Dia melakukannya dalam keadaan emosi jadi aku tidak akan menyalahkannya," balasnya.Aku yang duduk di dekat ayah merasa terbakar hatiku, penuturannya yang lemah lembut dan seakan tidak bersalah itu membuatku muak dan kesal. Dia bicara seakan hatinya polos dan tidak melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain. Aku benar benar kesal."Bicara tentang kesalahan, apa kau sama sekali tidak menyadari kesalahanmu?""Tentu, Zu. Aku menyadari semua kesalahanku dan aku
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
"kasihan juga ya Mas," bisikku."Ya, juga. Tapi itu adalah jalan hidup yang harus mereka lewati. Kita hanya bisa mendoakan," balas suamiku. "Aku nggak nyangka juga Mas, mereka hidup di hunian mewah dan bergelimangan harta tidak kurang satu apapun, tapi tiba-tiba mereka terpisahkan dan kini istrinya harus jadi sales perumahan. Dari anak panti asuhan kembali menjadi gelandangan."Hidupnya tidak seburuk itu Bun, tapi tetap saja, keadaan telah menjungkirbalikkan wanita itu," balas suamiku sambil mengesap kopinya."Benarkah menurutmu mereka akan berpisah?""Orang yang sudah terbiasa hidup enak tiba-tiba jatuh miskin dan kehilangan segalanya akan sulit menerima kenyataan Bunda. Baik jika wanita itu bisa berdamai dengan suaminya kemudian berjuang lagi dari nol, tapi, Jika dia tidak mau maka besar kemungkinan perceraian akan terjadi.""Bukan maksud untuk meresahkan diri... Jika itu benar-benar terjadi lalu mas hisyam dengan siapa?" "Entahlah, kurasa, Dia terpaksa harus tinggal dengan ibuny
Apa artinya kini Hisyam sudah menyerah? Kurasa ya!Dirampok hingga jatuh miskin, kehilangan harta dan rumah yang harus dijual untuk perawatannya. Ditambah kehilangan pekerjaan karena harus cuti panjang, istri yang terus mengeluh karena harus mengurus bayi sekaligus bekerja, kupikir semua itu adalah paket combo yang membuat Mas Hisyam sudah tidak punya waktu untuk mengganggu kami lagi. Dia harus fokus menata kehidupannya, dia harus menyembuhkan dirinya sendiri, dan mulai berkeliling untuk mencari pekerjaan yang layak, dulu pekerjaannya sebagai orang proyek membuat lelaki itu mudah sekali mendapatkan uang dan menghamburkannya, namun sekarang, sungguh jauh kenyataan dari harapan, segala sesuatu pupus begitu saja dalam genggaman.*Hari bergulir, berjalan dengan normal seperti kehidupan orang pada umumnya, rumah tangga kami berlangsung dengan harmonis meski kami belum kunjung mendapatkan garis dua. Prioritas untuk mendapatkan anak itu tidak terlalu ada di urutan pertama mengingat aku dan
Sejak kepergian wanita pengusik ketenangan kami itu, suamiku terus gelisah, bahkan setelah mengantarkan Fira dan Ali kembali ke rumah neneknya pria itu tidak bisa memejamkan matanya, hanya terus bolak-balik, bangun tidur dan gelisah di kamar kami."Kenapa Mas," ujarku sambil menyentuh bahu dan mendekatinya,"ini sudah malam, kenapa belum tidur, besok harus mengajar di kampus dan sekolah.""Aku tahu, tapi aku benar-benar gelisah.""sebab apa?""Aku ingin melindungi keluargaku Ida. Aku ingin kalian selalu hidup dalam ketentraman dan bahagia, aku tidak mau ada seorangpun yang mengganggu kalian.""Aku paham itu, Mas, aku tahu, dan kau sudah lakukan yang terbaik.""Tapi kenapa keluarga mantanmu seolah mengincar kehidupan kita dan bertekad untuk membuat kita tidak tenang! Ya Allah, Ida, aku harus bagaimana?" keluh lelaki itu dengan sedih. Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu sebab aku sendiri tidak mengerti kenapa keluarga mas Hisyam masih terus mengincar kami. "Wanita itu mengha
"Kau harus lebih tenang Mas. Tersulutnya emosimu saat mas Hisyam menyindirmu membuat dia memenangkan dan mempermainkan emosimu. Kau langsung marah dan mengusir mereka, belum memberi mereka alasan untuk terus mengolokmu, kau harus lebih sabar." Aku menyentuh pundaknya, sambil membelainya perlahan. "Apa boleh buat ucapan mereka sangat menyakitkan hatiku!""Mereka hanya mempermainkanmu. Sebagai istrimu aku lebih mempercayai dan yakin pada akhlakmu yang baik.""Kau pun sudah 14 tahun bersama dengan keluarga itu, Ida. Apa kau sama sekali tidak terganggu dengan sifat mereka.""Tadinya mereka semua baik Mas. Tapi perceraian mengubah keadaan dan pernikahanku denganmu semakin membuat mereka kesal.""Manusia yang punya hasad dan dengki di hatinya sangat berbahaya, Ida. Aku dan kamu harus berhati-hati, karena jika tidak mereka bisa saja memfitnah dan merusak keluarga kita.""Semoga itu tidak terjadi.""Membayangkan saja membuatku takut," ucap Mas Jaka sambil menghela napas perlahan.**Seminggu
Dua bulan kemudian, Pada ujian kenaikan kelas putri kami berhasil mendapatkan nilai yang sempurna, demi mengapresiasi usaha dan prestasi belajarnya maka Mas Jaka berniat untuk membelikan dia sebuah hadiah dengan sedikit uang yang telah ditabungnya selama berbulan-bulan. "Aku berniat menghadiahkan Elina barang yang akan membantunya kemana-mana.""Tidak usah Mas, tidak usah repot-repot.""Dengar, Aku adalah Ayah sambungnya jadi aku harus bertanggung jawab membahagiakan dan memastikan bahwa hidupnya baik-baik saja.""Dia baik-baik saja kok.""Sejak ayahnya tidak bekerja, mereka tak lagi mengirimkan uang. Aku bisa melihat perubahan Putri kita yang hanya bisa menahan perasaannya ketika menginginkan sesuatu.""Oh ya, apa begitu, Mas?" Aku mulai menyadari bahwa sejak mas Hisyam tidak mengirimkan nafkah, anakku tak lagi merengek saat hendak minta sesuatu atau kebutuhan sekolahnya, dia lebih banyak diam dan menjalani apa adanya. "Aku sering memperhatikannya dan menanyai apa sebenarnya yang
"Bersabarlah eva.""Aku tidak yakin Apakah aku bisa sabar dalam ujian ini, aku benar-benar putus asa Mbak, trauma dan takut juga, bahkan aku trauma melihat rumahku.""Kau harus tegar, karena jika kau lemah siapa yang akan merawat suami dan anakmu!" ujarku tegas, aku tidak tersenyum atau bersikap lembut padanya sama sekali. "Aku kebingungan sekarang, perampok itu merampas ponsel kami sehingga aku tidak bisa memeriksa m-banking, tapi aku yakin 100% kalau mereka sudah menguras isinya!""Bukankah mereka tidak tahu pin-nya?""Tapi mereka bisa saja mengacaknya Mbak, terlebih mereka juga membawa lari dompet dan dokumen-dokumen kami, tidak ada yang tersisa sedikitpun bahkan mereka merampas cincin pernikahan kami dari jemariku." "Astaghfirullah....""Aku benar-benar ketakutan seakan nyawa kami berada di ujung tanduk Mbak, mereka menodongkan pistol dan hendak menggorok leherku leherku, aku sampai bersujud untuk memohon atas nyawaku dan anakku," tuturnya dengan air mata berderai. Terlihat seka
Demi apa, Karma itu benar-benar terjad! aku mendapatkan kabar yang begitu membuatku terbelalak dan kaget luar biasa, karena semalam tadi rumah Mas Hisyam disatroni kawanan perampok. Sebenarnya, pagi-pagi ini kami baru bangun dan mau menikmati secangkir kopi, bersama dengan suamiku kami bercanda dan mau menyiapkan sarapan, tapi tiba-tiba saat televisi dinyalakan, berita pagi menampilkan kejadian di rumah Mas Hisyam. "... Korban mengalami kerugian sebanyak 200 juta, kehilangan barang-barang berharga dan mengalami luka-luka." Begitu kalimat yang disampaikan oleh news anchor, aku terpana mendengarnya. "Kawanan tersebut melakukan penganiayaan sehingga korban mengalami luka yang cukup serius dan harus dirawat di rumah sakit. Sementara istri dari korban mengalami trauma berat." Begitu kalimat penutup dari berita yang tampil pagi ini. "Apa itu benar?" tanya Mas Jaka sambil menatapku."Iya, Mas, tapi...."Lagi Aku ragu menjawab pertanyaan suamiku tiba-tiba Elina keluar dari kamarnya denga
Alangkah terkejutnya Mas Jaka saat di beliau berkunjung ke rumah kami. Hari itu aku memilih lebih cepat pulang dari sekolah sehingga dia yang merasa khawatir langsung menyusul. Dan betapa kagetnya dia mendapatiku yang sedang berkemas-kemas dengan Elina. Rumah kami sudah sangat berantakan dengan tumpukan kardus barang-barang."Ada apa ini?""Kami akan pindah Mas?""Ke mana Kenapa tidak beritahu aku?""Ada kontrakan yang tidak jauh dari tempat kita mengajar, harganya satu juta sebulan jadi aku menyewanya.""Tapi ada apa dengan rumah ini?""Sudah dikembalikan?""Aku tidak bermaksud ikut campur Zubaidah tapi bukankah, ini milik Elina?""Emang betul tapi?""Apa mereka merampasnya karena kita akan menikah?""Terlepas dari aku akan menikah atau tidak, mereka tidak akan melepaskan dan membiarkanku tenang sebelum aku benar-benar mengembalikan semua harta itu, Mas. Jadi jangan merasa bersalah.""Ya Tuhan... Sini kubantu.""Makasih Mas.""Kenapa tidak beritahu aku dari kemarin-kemarin?""Kau sib