Dengan taksi, kubawa beberapa koper dan anakku, kubawa juga tangisan beserta luka hati yang sudah menumpuk-numpuk, menggunung melebihi tinggi badan dan kesabaranku. Sebanyak perjalanan aku hanya membisu tapi air mataku meluncur dengan deras, mestinya ini adalah tangisan terakhir di mana aku tidak pantas lagi mengeluarkan air mata untuk seorang penghianat. Anakku juga diam saja sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Melihatku berkaca-kaca Gadis itu hanya menghela nafas sambil mengalihkan pandangannya."Kalau Bunda berat kita bisa kembali," ujarnya."Tidak, kita tidak akan kembali." "Kalau begitu semuanya sudah selesai.""Ya anakku, tidak akan ada yang kembali karena segalanya sudah hancur.""Sekarang kita mau ke mana?""Ke tempat kakekmu.""Apa kita boleh pulang ke sana?""Tentu saja itu adalah rumah orang tua Bunda, kau adalah cucunya jadi kita pasti akan diterima."*Sesampainya di depan rumah ibuku, saat itu hujan gerimis, sopir taksi menurunkan koper sementara aku hanya terman
"apanya yang di luar kendali anakku, apa pernikahanmu dengan wanita itu di luar kendalimu?""Tidak, aku tahu persis apa yang kulakukan dan aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk bicara dan jujur pada keluarga kita.""Baik, kuanggap kau masih menganggapku keluarga dan menghargaiku, jadi aku akan mendengar penjelasanmu.""Aku ingin jujur pada ayah dan juga pada istriku, tapi ... dia mengetahuinya sebelum aku memberitahunya, jadi dia murka dan memutuskan untuk meninggalkanku.""Menurutmu yang dilakukan anakku benar atau salah?""Dia melakukannya dalam keadaan emosi jadi aku tidak akan menyalahkannya," balasnya.Aku yang duduk di dekat ayah merasa terbakar hatiku, penuturannya yang lemah lembut dan seakan tidak bersalah itu membuatku muak dan kesal. Dia bicara seakan hatinya polos dan tidak melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain. Aku benar benar kesal."Bicara tentang kesalahan, apa kau sama sekali tidak menyadari kesalahanmu?""Tentu, Zu. Aku menyadari semua kesalahanku dan aku
Keesokan harinya,Bersama dengan Eva Mas Hisyam datang ke rumah orang tuaku, mereka menyapa kami yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu. "Assalamualaikum."Melihat Eva datang bersama anaknya dan mengenakan baju lengan panjang serta jilbab, aku tertegun. Biasanya wanita itu berpenampilan terbuka dan menunjukkan rambutnya yang indah, tapi sekarang dia memakai hijab dan dia melipat hijabnya itu sama seperti gayaku. "Assalamualaikum mbak Zubaidah.""Walaikum salam." Aku langsung berdiri begitu orang tuaku menyalami mereka berdua dan seperti biasa ayah dan ibuku selalu menunjukkan senyum keramahan mereka, meski mereka kecewa pada Mas Hisyam."Apa kabar kalian?" tanya Ayahku."Om, maaf karena kedatangan saya telah mengganggu dan mungkin tidak tepat waktu.""Oh, tidak sama sekali, Nak. Duduklah.""Jadi kau yang bernama Eva?" "Iya."Ibuku memandang wanita itu dari atas ke bawah, dia yang dipandangi seperti itu merasa gugup dan malu lalu menundukkan wajahnya. Dia membawa bayi di gendong
"Mas, apa kau baru saja menjatuhkan talak?" tanya Eva mengguncang bahu Mas Hisyam."Ya," jawab lelaki itu tanpa berkedip sedikitpun air matanya jatuh begitu saja di pipinya.Aku tidak mampu lagi mengatakan apa-apa selain menahan lelehan bening di kelopak mata agar tidak terlihat begitu deras di matanya. Saat istrinya menyeretnya pergi tatapan mata lelaki itu masih lekat padaku bahkan ia tak mampu berbaring meski langkah kakinya perlahan meninggalkan rumah ayahku.Untuk air mata yang kusapu terakhir kali, aku mungkin aku harus berjanji pada diriku sendiri bahwa ini adalah penutup dari segala kesengsaranku. Bahwa setelah ini aku harus tegar dan melupakan dirinya, benar-benar menutup pintu hatiku untuk segala kenangan manis dan kedatangannya di kemudian hari. *Tiga hari di rumah orang tuaku aku memutuskan untuk pulang, Jangan tanya betapa marahnya ayah begitu aku memberitahu kalau masih hisyam telah menjatuhkan talak di hadapan Eva. "Kabulkan saja permintaannya, ayah bersumpah, suatu
Sepanjang perjalanan pulang dari pengadilan, Aku hanya terdiam sambil menerawang ke arah jendela taksi, hiruk pikuk kota dan bagaimana para penjual ornamen dan kue idul Fitri terlihat semarak di sisi kanan dan kiri jalan. Geliat penghujung Ramadhan terlihat begitu meriah, disambut dengan penuh sukacita dan semua keluarga berharap untuk berkumpul dan berbagi kasih sayang di hari yang penuh kemuliaan. Semuanya terlihat begitu indah tapi tidak seirama dengan perasaanku sekarang.Aku baru saja kehilangan suami, perceraian merampas separuh hati dan kesadaranku sehingga aku sama sekali tidak bergairah untuk menyambut idul fitri. Biasanya tahun-tahun sebelumnya kami akan bersemangat beli baju seragam, memikirkan rencana liburan, akan menginap di rumah Mertua atau rumah keluargaku, memikirkan menu dan kue serta acara open house yang selalu berlangsung meriah dengan warga-warga sekitar komplek rumah kami.Sekarang apa yang mau kupikirkan, tentang bagaimana menata hati dan bagaimana pura-pura
Mulai dari jam 06.00 pagi aku telah bersiap-siap menuju ke tanah lapang di mana salat ied akan dilaksanakan. Aku dan putriku berjalan beriringan, ternyata, sudah banyak jemaah yang menghamparkan sajadah dan duduk menunggu imam. Di antara para tetangga, aku mendapatkan tempat di sana, seakan sedang bersimpati padaku, mereka berebut untuk untuk memberi kami tempat di sela-sela mereka. "Mbak duduk sini." Seorang wanita memberi isyarat agar aku duduk di dekatnya. "Sini aja Mbak, lebih luas," ujar yang lain."Elina, sini sama anak Tante," timpal yang lainnya. Menanggapi sikap baik mereka aku hanya tersenyum dan mengangguk hormat, duduk di garis belakang bersama anakku, yang mungkin tak lama lagi jemaah akan mengisinya dan semakin bertambah banyak.Lantunan takbir tak berhenti sedetikpun, bergema bersahutan membawa suasana tersendiri di dalam hati. Orang-orang berdatangan dengan sanak family memakai pakaian dan alat salat terbaik. Idul Fitri adalah hari yang dirindukan semua orang, penu
"Jangan bilang begitu, kamu bukan anak yatim, Nak." Aku mencoba merangkul anakku di dibalik pintu gerbang rumah ayahnya. Sungguh ironis, di saat ia mencoba membahagiakan anak orang, tapi anaknya sendiri menderita karena perbuatannya."Ayah sama sekali tidak melihatku, dia menyalami dan memberi amplop tanpa perasaan.""Astaghfirullah, Nak.""Ayo pergi saja, percuma di sini, Kita seharusnya tidak di sini ujar putriku yang air matanya menetes deras membuatku semakin murka tiada terkira. Aku yang sudah tidak tahan langsung menarik tangan anakku masuk ke pekarangan rumah ayahnya yang luas, dengan amplop di tanganku aku menghampirinya."Hisyam!" Teriakanku yang keras menghentikan semua keriuhan itu. anak-anak yang sedang berebut amplop kaget dan langsung menghentikan kegiatan merekaalu bersurut memberiku ruang agar aku bisa maju ke depan lelaki itu, mereka berbaris dan memberiku jalan di tengah-tengah mereka. Melihatku menggandeng putrinya lelaki itu terbelalak, dia ternganga dan salah
Pernikahanku dengan orang yang kucintai menciptakan prahara. Ya, aku benar-benar tidak menyadari bahwa niat untuk menemukan jodoh yang tepat malah berujung pada kesalahan yang akan kusesali. Aku aku mengenalnya dengan baik, kami satu kantor dan dia adalah manajer kami. Dia Lelaki yang sangat santun dan lembut hati, mengayomi karyawan di bawahnya dan selalu membimbing kami dengan penuh perhatian. Mungkin aku telah menyenanginya dari awal perjumpaanku, saat aku bergabung di kantor tersebut. Dia Lelaki yang sangat agamis dan pandai menjaga jarak, dia juga menundukkan matanya begitu melihat wanita yang terlampau terbuka, aku jadi mengaguminya. Hari demi hari berganti, kami semakin dekat dengan pertemuan yang intens dan perjalanan ke luar kota yang selalu memasangkan diriku dengan Mas Hisyam, kami kompak sebagai satu tim, sukses dengan semua proyek dan presentasi kami. Aku dan diateman bicara yang seru di mana Mas Hisyam selalu menyambung atau semua topik obrolan. Perasaan di hatiku se