Seperti yang diharapkan semua orang kecuali aku dan mertuaku, akhirnya proses perceraian itu berjalan.Benar aku akhirnya memilih jalan ini, tapi aku tidak pernah berencana menghancurkan pernikahanku sejak awal. Hanya himpitan hati yang akhirnya membuatku terpaksa memilih menyendiri. Sekuat apapun berusaha Aku tetap tidak siap melihat kebersamaan Eva dan Mas Hisyam. Terlampau sakit melihat wanita lain menyentuh orang yang kucintai lalu responnya sangat mesra sekali. Sementara aku ada di antara mereka dan hanya bisa menahan air mata.Kalaupun bisa dalam sehari atau dua hari, apa selamanya aku akan tetap bertahan seperti itu? Bisakah aku berdampingan hidup dengan penderitaan dan rasa cemburu. Jika rasa cemburu itu hilang tentu saja itu pudar seiring dengan terhapusnya rasa cinta. Indikasi bahwa seseorang mencintai adalah kecemburuan ,dan jika tidak ada lagi rasa cemburu, maka cinta patut dipertanyakan.Dengan cinta yang begitu besar inilah aku memilih membiarkan masih hisyam berdua de
"Kau teterlaluan Mas!" Desisku saat kami berjalan beriringan keluar dari ruang persilangan. Kini tidak ada yang tersisa di hatiku selain kebencian dendam.Padahal beberapa saat yang lalu aku masih mencintainya dan ridho dia bahagia dengan wanita lain tapi sekarang kebencian itu memuncak dan membuatku muak atas sikapnya. "Seharusnya kau menghargai keputusanku! Aku tidak nyaman lagi hidup denganmu jadi biarkan aku bebas!" "Aku yakin ini hanya kemarahan sesaat yang bisa hilang jika aku meyakinkanmu," ujarnya sambil memegang kedua bahuku. Aku menepisnya sambil mendecak dan kesal sekali."Cukup Mas, jangan berusaha merekatkan kaca yang sudah pecah berkeping-keping. Kalaupun bisa menyatu maka bekasnya tidak akan pernah hilang! Aku tidak akan pernah nyaman melihatmu dengan wanita itu sementara kau masih terikat denganku tolong pahamilah bahwa aku menderita!""Dan sebagai suamimu aku akan lakukan apapun agar penderitaan itu berkurang Zubaidah, alih alih cerai, Kenapa kau tidak memberiku ke
Dengan taksi, kubawa beberapa koper dan anakku, kubawa juga tangisan beserta luka hati yang sudah menumpuk-numpuk, menggunung melebihi tinggi badan dan kesabaranku. Sebanyak perjalanan aku hanya membisu tapi air mataku meluncur dengan deras, mestinya ini adalah tangisan terakhir di mana aku tidak pantas lagi mengeluarkan air mata untuk seorang penghianat. Anakku juga diam saja sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Melihatku berkaca-kaca Gadis itu hanya menghela nafas sambil mengalihkan pandangannya."Kalau Bunda berat kita bisa kembali," ujarnya."Tidak, kita tidak akan kembali." "Kalau begitu semuanya sudah selesai.""Ya anakku, tidak akan ada yang kembali karena segalanya sudah hancur.""Sekarang kita mau ke mana?""Ke tempat kakekmu.""Apa kita boleh pulang ke sana?""Tentu saja itu adalah rumah orang tua Bunda, kau adalah cucunya jadi kita pasti akan diterima."*Sesampainya di depan rumah ibuku, saat itu hujan gerimis, sopir taksi menurunkan koper sementara aku hanya terman
"apanya yang di luar kendali anakku, apa pernikahanmu dengan wanita itu di luar kendalimu?""Tidak, aku tahu persis apa yang kulakukan dan aku mencoba mencari waktu yang tepat untuk bicara dan jujur pada keluarga kita.""Baik, kuanggap kau masih menganggapku keluarga dan menghargaiku, jadi aku akan mendengar penjelasanmu.""Aku ingin jujur pada ayah dan juga pada istriku, tapi ... dia mengetahuinya sebelum aku memberitahunya, jadi dia murka dan memutuskan untuk meninggalkanku.""Menurutmu yang dilakukan anakku benar atau salah?""Dia melakukannya dalam keadaan emosi jadi aku tidak akan menyalahkannya," balasnya.Aku yang duduk di dekat ayah merasa terbakar hatiku, penuturannya yang lemah lembut dan seakan tidak bersalah itu membuatku muak dan kesal. Dia bicara seakan hatinya polos dan tidak melakukan sesuatu yang menyakiti orang lain. Aku benar benar kesal."Bicara tentang kesalahan, apa kau sama sekali tidak menyadari kesalahanmu?""Tentu, Zu. Aku menyadari semua kesalahanku dan aku
Keesokan harinya,Bersama dengan Eva Mas Hisyam datang ke rumah orang tuaku, mereka menyapa kami yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu. "Assalamualaikum."Melihat Eva datang bersama anaknya dan mengenakan baju lengan panjang serta jilbab, aku tertegun. Biasanya wanita itu berpenampilan terbuka dan menunjukkan rambutnya yang indah, tapi sekarang dia memakai hijab dan dia melipat hijabnya itu sama seperti gayaku. "Assalamualaikum mbak Zubaidah.""Walaikum salam." Aku langsung berdiri begitu orang tuaku menyalami mereka berdua dan seperti biasa ayah dan ibuku selalu menunjukkan senyum keramahan mereka, meski mereka kecewa pada Mas Hisyam."Apa kabar kalian?" tanya Ayahku."Om, maaf karena kedatangan saya telah mengganggu dan mungkin tidak tepat waktu.""Oh, tidak sama sekali, Nak. Duduklah.""Jadi kau yang bernama Eva?" "Iya."Ibuku memandang wanita itu dari atas ke bawah, dia yang dipandangi seperti itu merasa gugup dan malu lalu menundukkan wajahnya. Dia membawa bayi di gendong
"Mas, apa kau baru saja menjatuhkan talak?" tanya Eva mengguncang bahu Mas Hisyam."Ya," jawab lelaki itu tanpa berkedip sedikitpun air matanya jatuh begitu saja di pipinya.Aku tidak mampu lagi mengatakan apa-apa selain menahan lelehan bening di kelopak mata agar tidak terlihat begitu deras di matanya. Saat istrinya menyeretnya pergi tatapan mata lelaki itu masih lekat padaku bahkan ia tak mampu berbaring meski langkah kakinya perlahan meninggalkan rumah ayahku.Untuk air mata yang kusapu terakhir kali, aku mungkin aku harus berjanji pada diriku sendiri bahwa ini adalah penutup dari segala kesengsaranku. Bahwa setelah ini aku harus tegar dan melupakan dirinya, benar-benar menutup pintu hatiku untuk segala kenangan manis dan kedatangannya di kemudian hari. *Tiga hari di rumah orang tuaku aku memutuskan untuk pulang, Jangan tanya betapa marahnya ayah begitu aku memberitahu kalau masih hisyam telah menjatuhkan talak di hadapan Eva. "Kabulkan saja permintaannya, ayah bersumpah, suatu
Sepanjang perjalanan pulang dari pengadilan, Aku hanya terdiam sambil menerawang ke arah jendela taksi, hiruk pikuk kota dan bagaimana para penjual ornamen dan kue idul Fitri terlihat semarak di sisi kanan dan kiri jalan. Geliat penghujung Ramadhan terlihat begitu meriah, disambut dengan penuh sukacita dan semua keluarga berharap untuk berkumpul dan berbagi kasih sayang di hari yang penuh kemuliaan. Semuanya terlihat begitu indah tapi tidak seirama dengan perasaanku sekarang.Aku baru saja kehilangan suami, perceraian merampas separuh hati dan kesadaranku sehingga aku sama sekali tidak bergairah untuk menyambut idul fitri. Biasanya tahun-tahun sebelumnya kami akan bersemangat beli baju seragam, memikirkan rencana liburan, akan menginap di rumah Mertua atau rumah keluargaku, memikirkan menu dan kue serta acara open house yang selalu berlangsung meriah dengan warga-warga sekitar komplek rumah kami.Sekarang apa yang mau kupikirkan, tentang bagaimana menata hati dan bagaimana pura-pura
Mulai dari jam 06.00 pagi aku telah bersiap-siap menuju ke tanah lapang di mana salat ied akan dilaksanakan. Aku dan putriku berjalan beriringan, ternyata, sudah banyak jemaah yang menghamparkan sajadah dan duduk menunggu imam. Di antara para tetangga, aku mendapatkan tempat di sana, seakan sedang bersimpati padaku, mereka berebut untuk untuk memberi kami tempat di sela-sela mereka. "Mbak duduk sini." Seorang wanita memberi isyarat agar aku duduk di dekatnya. "Sini aja Mbak, lebih luas," ujar yang lain."Elina, sini sama anak Tante," timpal yang lainnya. Menanggapi sikap baik mereka aku hanya tersenyum dan mengangguk hormat, duduk di garis belakang bersama anakku, yang mungkin tak lama lagi jemaah akan mengisinya dan semakin bertambah banyak.Lantunan takbir tak berhenti sedetikpun, bergema bersahutan membawa suasana tersendiri di dalam hati. Orang-orang berdatangan dengan sanak family memakai pakaian dan alat salat terbaik. Idul Fitri adalah hari yang dirindukan semua orang, penu