Sekembalinya aku dari umroh, semua anggota keluargaku datang untuk menemui dan merayakan syukur bahwa kami berhasil kembali dengan selamat. Kami makan-makan bersama serta aku membagikan oleh-oleh tasbih dan air zam-zam untuk mereka. Ada juga yang aku bawakan Alquran, perhiasan jilbab dan gamis, Mereka senang sekali dan berterima kasih menerimanya."Kau terlihat lebih cantik dan lebih tenang setelah pulang dari Mekah, aku harap pikiranmu benar-benar merasa jernih setelah ini," ujar Tanteku, adik ibuku. "Insya Allah, saya pun merasa lega.""Kamu sudah boleh mengambil keputusan terbijak untuk dirimu sendiri.""Akan kuutarakan jika aku bertemu dengan Mas Hisyam.""Baiklah, tetapi semua orang tetap berharap yang terbaik untukmu. Jika bertahan membuatmu bahagia, maka kami mendukung, tidak ada seorangpun di sini yang menginginkan keretakan rumah tangga kalian.""Saya akan berusaha sebaik mungkin tante.""Ya, kami juga berharap yang terbaik, Nak." **Dua hari setelah kepulangan, Mas Hisya
Setelah perdebatan panjang, aku dan dia memutuskan pergi ke rumah ibu mertua untuk memberitahu akan keputusan kami yang ingin berpisah. Untuk pertama kalinya sejak kemarahanku, aku mau semobil dengannya. Aku duduk di sisinya dan diam saja sembari menyadari bahwa ia terus curi-curi pandang ke arahku."Zu, masih ada waktu untuk memikirkannya dan aku akan memberimu keleluasaan untuk menimbang kembali keputusan itu,"ujarnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. Kulirik jemari tangannya, tak ada lagi cincin pernikahanku yang melingkar di sana, posisi itu sudah digantikan oleh cincin pernikahannya dengan Eva. Hatiku sakit luar biasa dan aku tidak mampu menahan air mata yang tergenang di pelupuknya. Sakit!Aku berpaling dan menyembunyikan kesedihanku dari pandangan matanya. Ya, Andai ia masih menyayangiku dan bertekad untuk adil pada kami tentu dia akan mengenakan kedua cincin itu dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu, meski ia membujukku tapi sebagian besar perasaannya sudah hambar
Entah angin apa yang membawa Eva sehingga tiba-tiba ia berdiri di hadapan pintu utama dengan mata yang sudah sembab oleh tangisan, bersama dengan bayinya, saat berpapasan denganku wanita itu tidak sanggup menahan tangisannya. "Eva kok kamu ada di sini?"Dia tidak menjawabku tapi tatapan matanya dan lelehan bening yang terus mengalir itu seolah-olah memberitahuku bahwa ia sedang sangat menderita."Silakan masuk," ucapku membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia mengikutiku sembari memeluk bayinya yang baru berumur seminggu dia menatap diri ini dengan sedih."Kenapa kau menangis?""Aku telah mendengar kabar dari Mas Hisyam bahwa Mbak sudah mengambil keputusan untuk berpisah.""Lalu?""Dan aku tak setuju, Mbak. Aku tidak akan bisa hidup dengan tenang setelah tahu bahwa aku mendapatkan kebahagiaan dengan mengorbankan kalian berdua. Aku tidak bisa menjalani hidup semacam itu Mbak," jawabnya dengan sedih."Dengar Eva... aku tak pernah sekalipun menyalahkanmu atas apa yang terjadi sek
Kumatikan seluruh lampu dan membiarkan sebuah lampu dinding yang bercahaya temaram menerangi ruangan. Kubuka pintu kamar dan kudapati Mas Hisyam sudah mengenakan piyama dan berbaring di atas tempat tidur dalam posisi miring dan memeluk guling. Aku mengarah ke meja rias melepas hijabku dan meletakkannya ke atas gantungan lalu duduk di depan kaca dan membiarkan rambutku tergerai. Kubersihkan wajahku sambil melihat pantulan suamiku dari kaca."Kemarilah Zu," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Dia memberi isyarat agar aku mau tidur dengannya, mau dipeluk olehnya dan mau membuka hatiku untuk menerima permintaan maafnya Namun, hatiku membeku, kering kerontang dan aku sulit untuk menerima lagi perbuatan manis darinya. "Kau masih punya pilihan Mas.""Apalagi maksudmu, Zu.""Kau boleh tidur dengan istri dan anak-anakmu," balasku."Zu, ini adalah rumahmu, dan aku sedang berada di kamarmu jadi jangan usir aku untuk berpaling darimu Zubaidah. Ini sungguh tidak pantas dilakukan oleh seorang is
Pagi ini terasa berbeda dan dengan kedatangan tamu yang tidak diundang dan memaksakan dirinya untuk tetap menginap di rumah kami. Aku sediakan sarapan untuk semua orang karena aku tetap berkewajiban sebagai tuan rumah yang baik untuk menyediakan makanan tamunya. Eva keluar dari kamar sambil menggendong anaknya lalu menyapa mas hisyam yang sedang duduk di meja makan. Aku sendiri sibuk mengaduk susu lalu mengantarnya ke meja."Selamat pagi," ujar Eva."Pagi," jawab Mas Hisyam. Wanita itu tersenyum lalu mencium tangan suaminya, Masih bisa membalasnya dengan sapaan hangat lalu menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang. Hatiku seperti setetes air yang jatuh ke atas kuali panas, rasanya menyakitkan sekali dan perih menyengat melihat pemandangan itu. "Anak ayah sudah bersih.""Iya dong Yah, anak bujang ayah," ujar Eva. Elina yang mendengar percakapan mereka keluar dari kamarnya,anak gadisku menyapa ayahnya dan Mas Hisyam langsung mengulurkan tangan untuk meraih anaknya Tapi Elina e
Seperti yang diharapkan semua orang kecuali aku dan mertuaku, akhirnya proses perceraian itu berjalan.Benar aku akhirnya memilih jalan ini, tapi aku tidak pernah berencana menghancurkan pernikahanku sejak awal. Hanya himpitan hati yang akhirnya membuatku terpaksa memilih menyendiri. Sekuat apapun berusaha Aku tetap tidak siap melihat kebersamaan Eva dan Mas Hisyam. Terlampau sakit melihat wanita lain menyentuh orang yang kucintai lalu responnya sangat mesra sekali. Sementara aku ada di antara mereka dan hanya bisa menahan air mata.Kalaupun bisa dalam sehari atau dua hari, apa selamanya aku akan tetap bertahan seperti itu? Bisakah aku berdampingan hidup dengan penderitaan dan rasa cemburu. Jika rasa cemburu itu hilang tentu saja itu pudar seiring dengan terhapusnya rasa cinta. Indikasi bahwa seseorang mencintai adalah kecemburuan ,dan jika tidak ada lagi rasa cemburu, maka cinta patut dipertanyakan.Dengan cinta yang begitu besar inilah aku memilih membiarkan masih hisyam berdua de
"Kau teterlaluan Mas!" Desisku saat kami berjalan beriringan keluar dari ruang persilangan. Kini tidak ada yang tersisa di hatiku selain kebencian dendam.Padahal beberapa saat yang lalu aku masih mencintainya dan ridho dia bahagia dengan wanita lain tapi sekarang kebencian itu memuncak dan membuatku muak atas sikapnya. "Seharusnya kau menghargai keputusanku! Aku tidak nyaman lagi hidup denganmu jadi biarkan aku bebas!" "Aku yakin ini hanya kemarahan sesaat yang bisa hilang jika aku meyakinkanmu," ujarnya sambil memegang kedua bahuku. Aku menepisnya sambil mendecak dan kesal sekali."Cukup Mas, jangan berusaha merekatkan kaca yang sudah pecah berkeping-keping. Kalaupun bisa menyatu maka bekasnya tidak akan pernah hilang! Aku tidak akan pernah nyaman melihatmu dengan wanita itu sementara kau masih terikat denganku tolong pahamilah bahwa aku menderita!""Dan sebagai suamimu aku akan lakukan apapun agar penderitaan itu berkurang Zubaidah, alih alih cerai, Kenapa kau tidak memberiku ke
Dengan taksi, kubawa beberapa koper dan anakku, kubawa juga tangisan beserta luka hati yang sudah menumpuk-numpuk, menggunung melebihi tinggi badan dan kesabaranku. Sebanyak perjalanan aku hanya membisu tapi air mataku meluncur dengan deras, mestinya ini adalah tangisan terakhir di mana aku tidak pantas lagi mengeluarkan air mata untuk seorang penghianat. Anakku juga diam saja sambil menyandarkan kepalanya di jendela. Melihatku berkaca-kaca Gadis itu hanya menghela nafas sambil mengalihkan pandangannya."Kalau Bunda berat kita bisa kembali," ujarnya."Tidak, kita tidak akan kembali." "Kalau begitu semuanya sudah selesai.""Ya anakku, tidak akan ada yang kembali karena segalanya sudah hancur.""Sekarang kita mau ke mana?""Ke tempat kakekmu.""Apa kita boleh pulang ke sana?""Tentu saja itu adalah rumah orang tua Bunda, kau adalah cucunya jadi kita pasti akan diterima."*Sesampainya di depan rumah ibuku, saat itu hujan gerimis, sopir taksi menurunkan koper sementara aku hanya terman