"Di hari pernikahan Aku telah berjanji pada ayah kalau aku akan bahagia tapi aku malah mengecewakan Ayah.""Tidak nak hal yang terjadi padamu di luar kendalimu, ayah datang ke sini untuk membela dan berdiri di pihakmu. Ayah akan selalu ada untuk menemani dan mendampingimu saat kau perlukan jadi Jangan menyalahkan diri seperti itu.""Lalu pada akhirnya... pantaskah aku melepaskan suamiku?""Keputusan itu ada padamu, jika bagimu dia berharga maka jangan tinggalkan dia tapi jika semua usaha tidak ada artinya maka sebaiknya berpisah. Masa depan masih panjang dan hal-hal terbaik menunggu di hari esok.""Apa aku masih boleh berharap akan kebahagiaan di masa depan ayah?" Air mata mengalir ke sudut bibir dan terasa asin di ujung lidah, aku semakin tak mampu membendung tangisanku."Barangkali ada jodoh yang lebih baik atau mungkin kau bisa bangkit dan mengubah keadaan menjadi lebih baik," jawab Ayah. "Tapi anakku ... Aku tidak menyuruhmu untuk berpisah jika kau tak mau. Semua kembali padamu."
"Mbak!" Aku yang mau pergi dipanggil oleh Eva, wanita yang baru saja melahirkan dua hari lalu itu, menyusul ke pintu depan dan mendapati kami sedang berbicara dengan Mas Hisyam."Mau kemana, kenapa tidak masuk dulu," ujarnya. Aku hanya menulis sesaat agar tidak perlu menunjukkan air mataku, wanita itu nampak tertatih dengan dasternya, rambutnya diikat ke atas meski tidak mengenakan kosmetik tapi dia tetap terlihat cantik. "Mas, Kenapa Mbak Zu tidak diajak masuk?""Kami hanya sebentar, hanya datang untuk minta izin.""Tapi tetap saja... Kenapa harus bicara di depan pintu seakan-akan kita saling membenci Mbak, rumah ini juga adalah rumahmu.""Maaf, kedatangan kami telah mengganggumu," ujarku sambil menggandeng anakku menjauh. Tapi wanita itu gigih, dia mengejar dan menahan kami."Mbak aku minta maaf atas kesalahanku yang telah datang ke rumahmu, Aku benar-benar ingin kita saling memaafkan," ujarnya dengan ekspresi penuh pengharapan.Aku melirik suaminya, lalu melihat tangannya yang men
Sekembalinya aku dari umroh, semua anggota keluargaku datang untuk menemui dan merayakan syukur bahwa kami berhasil kembali dengan selamat. Kami makan-makan bersama serta aku membagikan oleh-oleh tasbih dan air zam-zam untuk mereka. Ada juga yang aku bawakan Alquran, perhiasan jilbab dan gamis, Mereka senang sekali dan berterima kasih menerimanya."Kau terlihat lebih cantik dan lebih tenang setelah pulang dari Mekah, aku harap pikiranmu benar-benar merasa jernih setelah ini," ujar Tanteku, adik ibuku. "Insya Allah, saya pun merasa lega.""Kamu sudah boleh mengambil keputusan terbijak untuk dirimu sendiri.""Akan kuutarakan jika aku bertemu dengan Mas Hisyam.""Baiklah, tetapi semua orang tetap berharap yang terbaik untukmu. Jika bertahan membuatmu bahagia, maka kami mendukung, tidak ada seorangpun di sini yang menginginkan keretakan rumah tangga kalian.""Saya akan berusaha sebaik mungkin tante.""Ya, kami juga berharap yang terbaik, Nak." **Dua hari setelah kepulangan, Mas Hisya
Setelah perdebatan panjang, aku dan dia memutuskan pergi ke rumah ibu mertua untuk memberitahu akan keputusan kami yang ingin berpisah. Untuk pertama kalinya sejak kemarahanku, aku mau semobil dengannya. Aku duduk di sisinya dan diam saja sembari menyadari bahwa ia terus curi-curi pandang ke arahku."Zu, masih ada waktu untuk memikirkannya dan aku akan memberimu keleluasaan untuk menimbang kembali keputusan itu,"ujarnya sambil meraih tanganku dan menggenggamnya. Kulirik jemari tangannya, tak ada lagi cincin pernikahanku yang melingkar di sana, posisi itu sudah digantikan oleh cincin pernikahannya dengan Eva. Hatiku sakit luar biasa dan aku tidak mampu menahan air mata yang tergenang di pelupuknya. Sakit!Aku berpaling dan menyembunyikan kesedihanku dari pandangan matanya. Ya, Andai ia masih menyayangiku dan bertekad untuk adil pada kami tentu dia akan mengenakan kedua cincin itu dalam waktu yang bersamaan. Aku tahu, meski ia membujukku tapi sebagian besar perasaannya sudah hambar
Entah angin apa yang membawa Eva sehingga tiba-tiba ia berdiri di hadapan pintu utama dengan mata yang sudah sembab oleh tangisan, bersama dengan bayinya, saat berpapasan denganku wanita itu tidak sanggup menahan tangisannya. "Eva kok kamu ada di sini?"Dia tidak menjawabku tapi tatapan matanya dan lelehan bening yang terus mengalir itu seolah-olah memberitahuku bahwa ia sedang sangat menderita."Silakan masuk," ucapku membiarkan wanita itu masuk ke dalam rumah. Dia mengikutiku sembari memeluk bayinya yang baru berumur seminggu dia menatap diri ini dengan sedih."Kenapa kau menangis?""Aku telah mendengar kabar dari Mas Hisyam bahwa Mbak sudah mengambil keputusan untuk berpisah.""Lalu?""Dan aku tak setuju, Mbak. Aku tidak akan bisa hidup dengan tenang setelah tahu bahwa aku mendapatkan kebahagiaan dengan mengorbankan kalian berdua. Aku tidak bisa menjalani hidup semacam itu Mbak," jawabnya dengan sedih."Dengar Eva... aku tak pernah sekalipun menyalahkanmu atas apa yang terjadi sek
Kumatikan seluruh lampu dan membiarkan sebuah lampu dinding yang bercahaya temaram menerangi ruangan. Kubuka pintu kamar dan kudapati Mas Hisyam sudah mengenakan piyama dan berbaring di atas tempat tidur dalam posisi miring dan memeluk guling. Aku mengarah ke meja rias melepas hijabku dan meletakkannya ke atas gantungan lalu duduk di depan kaca dan membiarkan rambutku tergerai. Kubersihkan wajahku sambil melihat pantulan suamiku dari kaca."Kemarilah Zu," ujarnya sambil mengulurkan tangan. Dia memberi isyarat agar aku mau tidur dengannya, mau dipeluk olehnya dan mau membuka hatiku untuk menerima permintaan maafnya Namun, hatiku membeku, kering kerontang dan aku sulit untuk menerima lagi perbuatan manis darinya. "Kau masih punya pilihan Mas.""Apalagi maksudmu, Zu.""Kau boleh tidur dengan istri dan anak-anakmu," balasku."Zu, ini adalah rumahmu, dan aku sedang berada di kamarmu jadi jangan usir aku untuk berpaling darimu Zubaidah. Ini sungguh tidak pantas dilakukan oleh seorang is
Pagi ini terasa berbeda dan dengan kedatangan tamu yang tidak diundang dan memaksakan dirinya untuk tetap menginap di rumah kami. Aku sediakan sarapan untuk semua orang karena aku tetap berkewajiban sebagai tuan rumah yang baik untuk menyediakan makanan tamunya. Eva keluar dari kamar sambil menggendong anaknya lalu menyapa mas hisyam yang sedang duduk di meja makan. Aku sendiri sibuk mengaduk susu lalu mengantarnya ke meja."Selamat pagi," ujar Eva."Pagi," jawab Mas Hisyam. Wanita itu tersenyum lalu mencium tangan suaminya, Masih bisa membalasnya dengan sapaan hangat lalu menggendong bayinya dengan penuh kasih sayang. Hatiku seperti setetes air yang jatuh ke atas kuali panas, rasanya menyakitkan sekali dan perih menyengat melihat pemandangan itu. "Anak ayah sudah bersih.""Iya dong Yah, anak bujang ayah," ujar Eva. Elina yang mendengar percakapan mereka keluar dari kamarnya,anak gadisku menyapa ayahnya dan Mas Hisyam langsung mengulurkan tangan untuk meraih anaknya Tapi Elina e
Seperti yang diharapkan semua orang kecuali aku dan mertuaku, akhirnya proses perceraian itu berjalan.Benar aku akhirnya memilih jalan ini, tapi aku tidak pernah berencana menghancurkan pernikahanku sejak awal. Hanya himpitan hati yang akhirnya membuatku terpaksa memilih menyendiri. Sekuat apapun berusaha Aku tetap tidak siap melihat kebersamaan Eva dan Mas Hisyam. Terlampau sakit melihat wanita lain menyentuh orang yang kucintai lalu responnya sangat mesra sekali. Sementara aku ada di antara mereka dan hanya bisa menahan air mata.Kalaupun bisa dalam sehari atau dua hari, apa selamanya aku akan tetap bertahan seperti itu? Bisakah aku berdampingan hidup dengan penderitaan dan rasa cemburu. Jika rasa cemburu itu hilang tentu saja itu pudar seiring dengan terhapusnya rasa cinta. Indikasi bahwa seseorang mencintai adalah kecemburuan ,dan jika tidak ada lagi rasa cemburu, maka cinta patut dipertanyakan.Dengan cinta yang begitu besar inilah aku memilih membiarkan masih hisyam berdua de