Usai menerima pesan singkat itu, aku pun berencana untuk keluar rumah. Aku harus segera membereskan urusanku. “Buk, nitip anak-anak sebentar,” ujarku sambil mengangsurkan Dafi ke ibu mertuaku. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah mertuaku beserta anak-anak. Seperti halnya mertuaku ke rumahku, aku pun sama. Sudah menganggap rumah mertuaku seperti rumah sendiri. Ibu mertuaku sedikit terkejut mendapatiku sudah di depan pintu sambil membawa anak-anak. Mskipun ibu mertuaku cemberut padaku, tapi dengan anak-anak dia sama sekali tak pernah cemberut. Bahkan, Dafi dan Dafa terlihat kegirangan saat aku tadi mengatakan pada mereka kalau akan ke rumah neneknya. Aku tahu, anak-anak juga bosan kalau hanya di rumah terus. Beruntung juga punya mertua yang rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak bisa dititipkan kapan saja, dan tentu saja, jadi dekat dengan neneknya. “Mana diapers sama susunya Dafi?” tanya Ibu mertua sambil menggendong bocah yang tertawa kegirangan karena ikut n
Tak sengaja, aku mengikuti langkah mereka berdua. Termasuk saat mereka berdua masuk ke dalam sebuah cafe, aku tetap mengikutinya dalam jarak yang cukup jauh. Aku tak ingin kehilangan jejak. Aku harus tahu apa yang mereka lalukan. Mereka berdua disambut oleh salah seroang pelayan cafe dan dibawa ke salah satu meja. Sepertinya sebelumnya mereka sudah melakukan reservasi. Kurang ajar, Namira. Tanganku meremas tas jinjing berisi ponsel itu. Aku bahkan tak sadar merapakan gerahamku. Kepalaku dipenuhi dengan rasa tak rela. Bisa-bisanya dia memanfaatkan suasana kerja untuk berduaan dengan bosnya. Tak bisa dibiarkan! Namun, lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Begini amat rasanya jadi pengangguran dan harus bersaing dengan seseorang yang sedang dekat dengan istri sendiri, gerutuku. Aku meletakkan tas jinjing di atas meja setelah memilih tempat duduk di dalam cafe yang cukup stratgeis untuk mengawasi mereka. Aku harus tahu apa yan
Ibu mertuaku sibuk memberiku catatan dan skrinsut gambar dari internet tentang susu dan diapers untuk Dafi. Beliau tak mau aku membeli barang yang salah lagi. Ya Tuhan. Aku mirip orang bego kalau kayak gini. Hanya membeli dua benda saja, tak satu pun ada yang benar. Namira! Sampai kapan kamu menyiksaku? gerutuku. Usai balik dari supermarket, aku berencana santai sejenak di rumah mertua, mumpung anak-anak lengket dengan neneknya. Ternyata mengasuh anak-anak, meski anak sendiri cukup melelahkan. Selama ini, aku hanya sekali-sekali saja memegang mereka. Tak pernah sampai lebih dari delapan jam seperti sekarang. Kalau sudah begini, aku harus berterimakasih pada ibu-ibu yang mendedikasikan diri pada keluarga. Sungguh, mengurus rumah tangga itu luar biasa. "Ini jam berapa, Ren. Anak-anak belum mandi. Buruan pulang sana," usir ibu mertuaku. Padahal aku berniat sampai makan malam di sini. Paling tidak, aku pulang anak-anak sudah bersih dan wangi. Salahku juga, aku nggak membawakan anak
Hari masih pagi. Anak-anak semua sudah wangi dan rapi. Namira pun sudah bersiap hendak pergi ke kantor. Sebelumnya, ia masih menyempatkan diri untuk sarapan denganku dan anak-anak. “Jadi, buat apa kemaren kamu bawa-bawa ponsel itu?” tanya Namira saat Dafi dan Dafa sudah dipindah ke ruang tengah, tinggal hanya aku dan Namira yang duduk di meja makan. Kupikir, dia tak akan membahas lagi, karena hari sudah siang. Mestinya dia buru-buru berangkat karena jalanan akan semakin macet. Ini malah masih sempat bertanya-tanya hal kemarin.“Mau aku jual kembali ke tokonya dik. Uangnya buat pegangan aku, Dik. Aku ngga punya uang sama sekali,” ujarku memelas. Mestinya dia berterimakasih karena aku sudah menstransfer semua gaji terakhirku. Apa Namira berubah sepertiku saat aku masih bekerja, tidak peka? Aku menunggu reaksinya. Berharap dia akan mengambil ponsel dan mentransfer sejumlah uang untuk pegangan. Tapi, rasanya harapanku sia-sia.Setelah berfikir semalaman, aku tak lagi berniat menutup mu
Akhirnya aku terpaksa membawa anak-anak ke café yang dijanjikan oleh Firman. Dalam hati berharap, anak-anak anteng dan tidak rewel karena tentu saja ini pertama kalinya aku tanpa Namira membawa anak-anak di tempat umum. Seepanjang jalan aku menasehati mereka agar nanti tidak rewel, menurut dan tidak minta macem-macem. Entah mereka paham atau tidak, yang jelas saat aku bicara, Dafi selalu tertawa-tawa. Mungkin, bagi bayi berumur setahun ini, dia pikir mau diajak jalan-jalan.Mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku meninggalkan anak-anak di rumah tanpa mengawasan siapapun. Mau nitip ke mertua, malah nggak ada di tempat. Mau bikin janji lagi lain waktu, Firman susahnya minta ampun diajak ketemuan.Seperti saat di rumah mertua, aku menggendong Dafi dan menggandeng Dafa, tak lupa tas selempang ada di pundak, berjalan memasuki area mall setelah memarkir mobil. Benar juga kata kurir tadi, tak heran kalau dia menganggapku mengirimkan istri ke LN, sementara di jam kerja begini aku sibuk dengan
Hari sudah siang saat aku tiba di rumah. Anak-anak aku turunkan dari mobil setelah memarkirnya di carport depan rumah. Untung karpet dari laundry sudah diambil. Aku segera meletakkan Dafi di atas karpet dan Dafa juga ikut duduk di sana. Sementara aku, ingin beristirahat sejenak setelah menyetir dari mall ke rumah ditemani celoteh anak-anak yang tak ada habisnya, semua apa yang dilihatnya di jalan ditanyakan. Ada rasa syukur aku masih memiliki mobil, meski cicilannya belum lunas, yang dapat mengantarku membawa anak-anak. Tidak terbayang bagaimana Namira yang selama ini membawa anak-anak bersamanya dengan motor matiknya. Aku jadi merasa bersalah dengan istriku itu. Pengorbanan untukku begitu banyak. Namun aku tak pernah berterimakasih padanya. Yang ada, justru keluhan ini itu sepulang bekerja dan enggan membantunya. “Yah, lapar!” ucapan Dafa membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi, aku lupa kalau ini sudah lewat jam makan siang. Gara-gara aku mengamuk pada Firman di cafe, aku benar-be
Karena belum ngobrol, Mama hanya membawa Dafi ke ruang tengah. Bocah itu dipangku sembari diberikan susu botol yang baru saja aku berikan tadi. Tak lama, mata Dafi sudah terpejam. Dina, adikku menidurkan Dafa di kamar. “Dafi kok jadi kurus begitu. Tiga minggu lalu pipinya masih gembul,” komentar mama., setelah meletakkan Dafi di kamar. Dina sepertinya ikut ketiduran di sebelah Dafa. “Dia ngga mau makan, Ma,” ucapku lesu. Nggak hanya takut tentang inetrogerasi nasibku, bahkan kini aku harus diinterogerasi akibat kelalaianku mengurus anak-anak selama Namira tidak di rumah. Coba kalau tadi aku tidak pergi, pasti aku lebih dimarahi karena rumah lebih mirip kapal pecah. Mungkin juga tadi selama aku di dapur, Dina sudah berinisiatif membereskan mainan Dafa yang biasanya aku biarkan hingga Namira pulang. “Ngga mau gimana. Wong lahap begini,” sahut mama ketus. Sama sekali tak mempercayai alasanku. Apalagi tadi memang terbukti aku memberinya makanan dingin, meski bukan aku sengaja.
Aku meletakkan amplop pertama yang selesai kubaca ke atas meja. Tentu saja, langsung disambar oleh mamaku. Mungkin beliau penasaran karena melihat perubahan mukaku. Kini, giliran amplop kedua yang ada ditangan. Aku sudah dapat menebak. Isinya tak jauh beda dengan amplop pertama. Hanya saja, ini dari leasing mobil. Apes! Ternyata, hari penagihan itu datang juga. Dulu, aku pikir, tidak dapat membayar cicilan hanya monopoli orang yang pongah sok kaya, tapi mengambil kreditan. Tapi, ini justru benar-benar terjadi padaku. Aku meletakkan kembali surat kedua di meja. Tanganku memijat keningku. Pusing bukan main kepalaku. “Kenapa?” Mama membuka semua suratku dan menjejerkan keduanya di meja tempat kami bertiga duduk. Dina pun turut mengintip isi surat itu. “Kamu ngga punya tabungan untuk membayarnya?” tanya mama penuh selidik. Aku menggeleng. Uangku memang pas-pasan untuk cicilan dua asset itu, selain yang aku transfer untuk kebutuhan sehari-hari ke Namira. Setiap bulan aku tak