Hari sudah siang saat aku tiba di rumah. Anak-anak aku turunkan dari mobil setelah memarkirnya di carport depan rumah. Untung karpet dari laundry sudah diambil. Aku segera meletakkan Dafi di atas karpet dan Dafa juga ikut duduk di sana. Sementara aku, ingin beristirahat sejenak setelah menyetir dari mall ke rumah ditemani celoteh anak-anak yang tak ada habisnya, semua apa yang dilihatnya di jalan ditanyakan. Ada rasa syukur aku masih memiliki mobil, meski cicilannya belum lunas, yang dapat mengantarku membawa anak-anak. Tidak terbayang bagaimana Namira yang selama ini membawa anak-anak bersamanya dengan motor matiknya. Aku jadi merasa bersalah dengan istriku itu. Pengorbanan untukku begitu banyak. Namun aku tak pernah berterimakasih padanya. Yang ada, justru keluhan ini itu sepulang bekerja dan enggan membantunya. “Yah, lapar!” ucapan Dafa membuyarkan lamunanku. Lagi-lagi, aku lupa kalau ini sudah lewat jam makan siang. Gara-gara aku mengamuk pada Firman di cafe, aku benar-be
Karena belum ngobrol, Mama hanya membawa Dafi ke ruang tengah. Bocah itu dipangku sembari diberikan susu botol yang baru saja aku berikan tadi. Tak lama, mata Dafi sudah terpejam. Dina, adikku menidurkan Dafa di kamar. “Dafi kok jadi kurus begitu. Tiga minggu lalu pipinya masih gembul,” komentar mama., setelah meletakkan Dafi di kamar. Dina sepertinya ikut ketiduran di sebelah Dafa. “Dia ngga mau makan, Ma,” ucapku lesu. Nggak hanya takut tentang inetrogerasi nasibku, bahkan kini aku harus diinterogerasi akibat kelalaianku mengurus anak-anak selama Namira tidak di rumah. Coba kalau tadi aku tidak pergi, pasti aku lebih dimarahi karena rumah lebih mirip kapal pecah. Mungkin juga tadi selama aku di dapur, Dina sudah berinisiatif membereskan mainan Dafa yang biasanya aku biarkan hingga Namira pulang. “Ngga mau gimana. Wong lahap begini,” sahut mama ketus. Sama sekali tak mempercayai alasanku. Apalagi tadi memang terbukti aku memberinya makanan dingin, meski bukan aku sengaja.
Aku meletakkan amplop pertama yang selesai kubaca ke atas meja. Tentu saja, langsung disambar oleh mamaku. Mungkin beliau penasaran karena melihat perubahan mukaku. Kini, giliran amplop kedua yang ada ditangan. Aku sudah dapat menebak. Isinya tak jauh beda dengan amplop pertama. Hanya saja, ini dari leasing mobil. Apes! Ternyata, hari penagihan itu datang juga. Dulu, aku pikir, tidak dapat membayar cicilan hanya monopoli orang yang pongah sok kaya, tapi mengambil kreditan. Tapi, ini justru benar-benar terjadi padaku. Aku meletakkan kembali surat kedua di meja. Tanganku memijat keningku. Pusing bukan main kepalaku. “Kenapa?” Mama membuka semua suratku dan menjejerkan keduanya di meja tempat kami bertiga duduk. Dina pun turut mengintip isi surat itu. “Kamu ngga punya tabungan untuk membayarnya?” tanya mama penuh selidik. Aku menggeleng. Uangku memang pas-pasan untuk cicilan dua asset itu, selain yang aku transfer untuk kebutuhan sehari-hari ke Namira. Setiap bulan aku tak
Sepertinya benar apa yang dikatakan Namira. Mobil kesayanganku ini harus dilepas, jika kami tak mau kehilangan rumah. Uangnya bisa kupakai untuk membayar cicilan rumah. Kecuali aku mau kehilangan kedua aset itu sekaligus.Ah! Semua menjadi kacau. Nila setitik rusak susu sebelanga. Hanya gara-gara foto tersebar, karir yang sudah dibangun hancur. Bahkan asset hampir terlepas. Aku hanya bisa mendengus, merasa bodoh. Ya, benar juga kata mamaku, aku memang harus disadarkan sesadar-sadarnya dari sikap jumawaku.Aku pun tak ingin menambah kehilangan yang lain. Terutama dua aset tak ternilaiku, Namira dan dua buah hatiku. Belum lagi keluarga Namira yang sebenarnya baik kepadaku. Tak banyak orang seberuntung aku, memiliki istri dan mertua yang baik. Wajar saja jika saat ini mereka menunjukkan rasa tak suka padaku. Aku memang pantas untuk mendapatkan hukuman ini. Aku telah mencoreng harga diri keluarganya. Anak kebanggaannya sudah kubuat terluka oleh perbuatanku. Semalaman aku mempelajari c
Aku khawatir Namira tak sabaran dan melakukan tindakan nekat. Terpaksa, aku harus segera melakukan apa yang menjadi titahnya. Aku segera bermain dengan aplikasi biru itu. Tangan ini lincah memencet tombol gabung ke berbagai grup jual beli mobil bekas dan over kredit. Aku sudah menanggalkan rasa malu dan gengsi. Benar kata Namira, aku bisa bilang sabar sekarang, tapi debt collector tidak bisa menunggu. Semua ada konsekuensinya. Aku segera masuk ke grup jual beli di aplikasi biru yang sudah menyetujui penggabunganku. Salin, tempel dan post! Kusebar semua pengumuman tentang penjualan mobilku seperti layaknya sedang menjaring ikan. Beberapa gambar yang menunjukkan keunggulan mobilku dan informasi spesifikasi aku tulis dengan sejelas-jelasnya. Sehingga hanya mereka yang benar-benar serius saja yang akan menghubungiku. Namanya juga usaha. Siapa tahu ada nasib baik berpihak padaku. Kalau tidak begini, Namira akan siap-siap menceramahiku lagi. Ntah berapa stok bahan ceramahnya, seolah t
“Ayah kenapa nangis?” Dafa yang duduk di sebelahku rupanya menyadari saat aku mengusap anak sungai yang mengalir di pipiku. Mendengar kata-kata Dafa, Namira yang sibuk dengan Dafi, seketika menatapku. “Oh, klilipan, Kak!” ujarku berbohong. “Kok bisa, Yah? Kan ngga ada debu. Ngga ada angin. Biasanya klilipan kalau ada debu yang tertiup angin, trus masuk ke mata…” ujar Dafa lagi. Matanya menatapku lekat yang masih berusaha mencari alasan. Ya Tuhan, anak umur tiga tahun saja ngerti kebohonganku. Bagaimana dengan Namira? Apakah aku saja yang bodoh, yang menganggap semua orang bodoh? Aku mencuri pandang pada Namira. Wanita ibu dari anak-anakku itu terdiam menatapku. Dafi juga menghentikan celotehannya. "Ayah ke kamar mandi dulu," ucapku saat menyadari suasana menjadi aneh.***ETW*** “Jangan dibiasakan berbohong pada siapapun. Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga,” ujar Namira sambil mengelap meja saat anak-anak sudah pindah ke ruang tamu.Aku sudah kembali
“Tante di sini?” tanya Haris dengan nada yang begitu akrab dengan ibu mertuaku. Duh! Jangan-jangan benar kata ibu mertuaku, kalau Haris adalah calon menantunya yang gagal. Dan kini, Haris jauh lebih sukses dariku yang masih lontang-lantung tidak jelas. Masa depan suram!“Iya, nengok cucu. Nak Haris ngapain di sini?” Wanita yang memakai setelan tunik dan jilbab instan itu balik bertanya. Senyumnya begitu ramah pada Haris, berbanding terbalik dengan sikapnya akhir-akhir ini padaku. Ada tanda tanya besar tergambar di raut muka ibu mertuaku. Terlebih Haris datang menemuiku. Pasti beliau sedang mencurigai sesuatu.Pria itu menoleh dan menatapku sekilas. Ia seperti sedang hendak meminta persetujuanku untuk mengatakan sesuatu pada ibu mertuaku. “Reno lepas mobil, Bu,” jelasku mewakili Haris yang terlihat ragu. Helaan nafas pun mengiringi jawabku. Harga diriku serasa benar-benar hancur. Tak punya mobil seperti ini, artinya aku akan membiarkan anak dan istriku kepanasan. Paling pol, ya bi
Seperti biasa, setelah menidurkan anak-anak, aku dan Namira ngobrol sebentar sebelum tidur. “Dik, Firman menawariku kerja.” Aku membuka pembicaraan.Mata Namira yang selama ini murung, seketika berbinar. “Kerja apa?” tanya Namira.“Firman punya proyek property, Dik. Dia minta Mas handle di daerah sini. Aku juga baru lihat besok. Gimana menurutmu?” tanyaku. Tak banyak informasi yang dapat kuberikan pada Namira. Lagi pula, Namira juga tak banyak bertanya. Selama ini, selama aku bekerja, dia juga tidak banyak bertanya tentang pekerjaan. Dan itu juga yang membuatku terlena. Tapi, mungkin kali ini Namira menunggu kejelasan pekerjaan dahulu. Toh, aku sudah lama berusaha, tak juga dapat kerja. Dia tak mau PHP, sebagaimana aku pun begitu.“Coba saja. Yang penting halal. Ingat, satu lagi….” Meski kalimatnya tidak diteruskan, aku mengerti maksudnya. Karena dia mengatakan dengan mata mendelik dan ujung jari telunjuk mengacung ke udara. “Insyaalloh, Mas sudah kapok, Dik!” sahutku. “Tidak u