Hari sudah menjelang jam pulang kerja. Kesibukannya membuatnya lupa tentang Namira yang terlihat di depan rumah Meira tadi siang. Mendadak Reno merasa tak tenang. Kira-kira apa yang ada dipikiran istrinya itu tentang kejadian yang dilihatnya tadi? Ragu Reno hendak menghubungi istrinya, sekedar bertanya, apakah perlu dijemput di tempat biasa? Tapi, bukannya siang tadi istrinya ada di dekat rumah Meira. Artinya, dia sedang tidak ke kantor, bukan? Reno semakin bimbang. Kalau dia tidak bertanya, atau pura-pura tidak tahu, ya kalau Namira akan ada di stasiun, kalau tidak? "Jemput, tidak?" Saat masih bimbang, sebuah pesan masuk. Meskipun tanpa emotikon, kenapa perasaan Reno nggak enak. "Iya, jemput tempat biasa." Reno mencoba menenangkan diri, berharap tadi siang bukan Namira. Hanya halusinasinya saja. Reno tak menunggu jawaban dari istrinya. Dia langsung pamit pada Dimas dan Sisy yang masih sibuk beres-beres kantor, sebelum mereka pulang. Benar juga, Namira menunggunya di te
"Ingat ya, aku akan mencabut hak pembagian harta gono-gini." Hamdani berucap dengan geram. Hamdani tak main-main. Sebagai pengusaha, dia kenal banyak pengacara hebat. Berbisnis tak sedikit yang harus menyelesaikan masalah kadang hingga ke meja hijau jika tak menemui titik temu. Meira mendapat pembagian harta karena memang di perjanjian pra-nikah, Hamdani berjanji tidak menambah istri lagi. Ternyata, di tengah pernikahannya, pria itu terpikat dengan wanita lain dan ingin mengambil pendamping.Meira tidak setuju. Sementara sebagai istri kedua saja, Hamdani jarang bermalam di rumahnya. Pria itu lebih mementingkan istri tua. Apa kabarnya kalau pria itu punya istri baru. "Kalau Mas sampai berani, lihat saja. Aku akan kasih tahu Mbak Rumi kalau Mas Hamdani nikah lagi." Meira tahu, kalau Hamdani sangat takut dengan istri pertamanya itu. Istri yang mendampingi dari nol itu, kalau kata Hamdani, meski cinta sudah pudar, tapi sayang tetap ada. Dia bak nyawa baginya. Tanpa Rumi, hidupnya akan
Namira sebenarnya mempercayai ucapan suaminya. Hanya saja, dia ingin ketegasan. Agar suaminya itu benar-benar menghindar dari hal-hal yang memang remang-remang. Bukan karena tawaran yang menggiurkan, membuatnya terjerembab. "Gimana, suamimu?" Belum juga Namira duduk, Haris sudah menghampirinya. Seperti biasa, Namira datang lebih pagi. Karena naik kereta, dia tak mau berjubel jika berangkat bersamaan dengan para pekerja lainnya. "Biasa aja," sahut Namira sekedarnya. Dia sebenarnya malas dengan perhatian Haris yang sering berlebihan. "Sudahlah, kamu terima saja tawaranku. Mumpung belum ada yang isi lho." Haris menatap Namira, menunjukkan keseriusannya. Dia sudah menduga, masalah suami Namira, pasti tak jauh dari wanita. Padahal istrinya tak kurang cantik dan baik, batin Haris. "Bukan belum ada. Tapi, kamu sengaja nggak nawari ke siapa-siapa," sahut Namira. "Nah, itu tahu." Haris tersenyum puas. Dalam hati, dia masih berharap Reno akan menerima tawarannya, bagaimanapun caranya. **
Meski kesal, Meira akhirnya setuju melakukan transaksi dengan bantuan Irma. Namun, tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu ingin membeli semua unit. Setelah Hamdani membaliknamakan kepemilikan aset ke atas nama mantan isterinya, pria itu juga menyarankan untuk membeli satu per satu saja. Rumah yang ditinggali Meira pun disarankan untuk dilepas. Karena biaya perawatannya juga lebih mahal, dibanding uang yang dimilikinya. Nanti. hasilnya Meira bisa membeli rumah yang lebih kecil dan membeli property lain untuk disewakan. Ternyata, menjadi janda dengan banyak aset, tak sebahagia yang Meira bayangkan. Bahkan, yang mendekatinya justru rata-rata pria hidung belang, atau brondong yang hanya peduli pada hartanya. Sementara, pria seperti Reno yang diincarnya, bahkan lebih memilih menghindar. Bahkan, nominal uang yang pernah ditransfernya sebagai bonus, dengan maksud mengambil hati Reni, sudah ditransfer balik.Saat Meira berusaha menemui di kantor, ada saja alasan Reno untuk melimpahkan
"Jadi, nggak masalah ya, nanti kami lahiran di bidan?" tanya Reno pada dokter kandungan saat periksa terakhir. "Insyaalloh, nggak papa. Ibunya sehat, bayinya sehat," ucap dokter berhijab yang masih terlihat cantik di usia kepala empat. "Malah, banyak bidan yang lebih pengalaman dari dokter spasialis." Sang dokter memberikan beberapa rekomendasi bidan, tempat rencana bersalin. "Nggak papa, kan, Dik, kamu lahiran di Bidan?" tanya Reno saat survey beberapa bidan yang direkomendasikan dokter, mertua dan juga beberapa teman yang domisili tak jauh dari mereka. "Dari dulu, aku kan nggak nuntut kamu apa-apa, Mas. Yang penting kamu tahu kewajibanmu dan sayang sama keluarga," ucap wanita yang perutnya sudah membuncit. Sebenarnya Namira tahu, yang berat dia lahiran di Bidan adalah Reno sendiri. Suaminya itu punya gengsi selangit. Meskipun sudah sering dijelaskan, namun, kalau masukan bukan dari orang yang dipercayanya, akan hanya menjadi angin lalu. Bahkan, meski dokter kandungan pun s
Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya. Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain. Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar. [Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya.] Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam. Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan.
“Pak Reno, buka status WA bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mulai mengembun. “Apaa???!” Aku hampir terlonjak kaget. Betapa bodohnya aku bisa memposting fotoku dan Vania di status WA? Padahal, foto itu tidak hanya satu. Bahkan foto tak penting pun aku ikut kirimkan. Apa jadinya jika Namira sampai melihatnya? Segera aku buka ponselku yang sedari tadi aku pasang mode diam. Ya Salam. Benar juga. Banyak japri masuk ke aplikasi pesanku. [Reno, ini siapa?][Reno, berani sekali pasang di sini?][Reno, tak kusangka, kamu suka juga dengan daun muda] Ya Tuhan...itu pesan dari teman-temanku. Entah siapa lagi, belum sempat aku cek satu per satu. Bergegas aku membuka status WA ku. Innalillahi, hampir semua staf kantor yang ada di daftar kontak sudah membukanya. Sepertinya mereka mengetahui dari mulut ke mulut. Bahkan, mertua dan orang tuaku pun melihatnya. Langit rasanya tiba-tiba runtuh, dan aku terhempas masuk ke dalam bumi yang entah berapa lapis dalamnya.
Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku. Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.“Reno, keluar kamu!” Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini? Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku. Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saud