Setelah menyiapkan semua bahan presentasi, aku bergegas menuju ruang rapat pimpinan di lantai 23 gedung kantor tempat aku bekerja. Ada rapat dengan direktur bersama manajer lainnya.
Aku sendiri adalah manajer paling muda yang baru saja naik jabatan. Dan, ini adalah rapat pertamaku dengan pimpinan kelas menengah di kantor. Aku harus mampu menunjukkan kinerja terbaikku. Maka tak salah jika aku datang lebih awal dibanding peserta rapat yang lain.
Memasuki ruang rapat, aku sengaja memilih posisi di tengah. Sambil menunggu yang lain datang, kubuka ponsel yang sedari tadi bergetar.
[Mas, foto kemarin di kirim ke aku ya.]
Pesan dari Vania, staf di kantorku, masuk ke benda pipih yang sedang kugenggam.
Vania sudah biasa memanggilku ‘Mas’ jika kami sedang berdua. Tapi, dalam keadaan formal, dia selalu memanggilku dengan sebutan ‘Pak’.
Vania adalah staf yunior. Aku menjadi dekat dengannya karena sering kerja bareng. Aku suka padanya karena dia sangat cekatan, terampil dan dapat diandalkan. Dan pekan lalu, aku dan Vania baru saja dinas ke luar kota untuk meninjau kantor cabang di Surabaya.
Sebenarnya, kami juga tidak kemana-mana. Hanya beberapa foto kuambil saat kami berdua sedang makan malam di sebuah restoran. Memang beberapa fotonya ada pada ponselku dan belum sempat aku transfer padanya, karena biasanya setiba di rumah dari dinas, aku akan sibuk dengan Namira dan dua buah hati kami.
Buru-buru aku buka galeri foto di ponsel itu. Saat aku hendak memilih foto-foto itu, beberapa peserta rapat masuk ke ruangan. Tak enak jika aku fokus dengan ponsel, karena aku manajer baru. Dengan cepat akhirnya aku klik-klik saja foto-foto itu dan mengirimkannya ke Vania.
Setelah mengirim gambar itu, ponsel aku ubah ke mode diam dan kusimpan di meja dengan posisi terbalik. Aku tak ingin di saat rapat, terganggu oleh panggilan atau pesan yang masuk.
Tak terasa, rapat yang ternyata cukup alot memakan waktu tiga jam. Hingga tiba saatnya makan siang.
Beberapa peserta rapat membubarkan diri setelah ditutup. Demikian pula diriku.
Aku segera kembali ke ruanganku. Biasanya, Vania akan mengajakku makan siang bersama.
Dengan langkah tergesa aku kembali ke ruanganku. Anehnya, saat aku masuk, semua mata memandangku aneh.
Mataku memindai meja kerja Vania. Tapi anak itu tak ada di mejanya. Mungkin setelah di ruangan, aku harus segera mengecek ponselku.
Jangan-jangan dia sudah keluar duluan, agar teman kantorku tidak mencurigai kedekatan kami.
Meskipun aku dekat dengan Vania, tapi di kantor tak ada yang mencurigainya, karena aku dan Vania bisa membawa diri.
Kami hanya sekedar nyaman satu sama lain. Tidak melakukan hal yang di luar batas.
Vania adalah gadis belia. Usianya baru 23 tahun.
Awalnya kami dekat karena pekerjaan. Tapi, karena seringnya dia curhat mengenai masalah keluarganya usai kerja lembur, membuat hubunganku dengannya tak sekedar teman kerja.
Dia berasal dari keluarga yang berantakan. Ayahnya menikah lagi, ibunya pun demikian. Hingga dia sulit dapat menerima orang tua baru dari masing-masing orangtuanya.
Sementara aku, hanya menjadi pendengar setianya.
Mungkin karena aku sedikit bosan dengan suasana rumah. Namira yang terlalu sibuk dengan Dafa dan Dafi sering mengacuhkanku. Bahkan, justru sering memintaku membantunya, dibanding memperhatikanku. Padahal, aku sudah lelah bekerja dan ingin dimanja.
Aku segera masuk ke ruanganku. Ruangan yang baru satu bulan aku tempati setelah naik jabatan. Belum sempat aku duduk, Hana, sekretarisku mengetuk pintu.
“Pak, dipanggil menghadap Pak Direktur,” ujar Hana sambil mendekat ke mejaku.
Dipanggil? Bukannya kami barusan habis rapat? Sepertinya semua agenda tadi sudah final dan tak ada tersisa agenda lain yang ingin dibahas.
Tapi, baiklah. Mungkin ada hal lain yang ingin didiskusikan oleh Pak Direktur.
Ruang direktur ada di lantai 22, satu lantai di atas tempatku bekerja.
Baru aku melangkah hendak masuk ke ruangan direktur, langkahku terhenti saat melihat dari kaca, tampak Vania sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan meja Pak Taufan, direktur perusahaan tempatku. Gadis itu terlihat menunduk.
“Permisi, Pak,” sapaku.
Pak Taufan segera berdiri. Wajahnya merah seperti menahan marah. Tangannya memegang ponsel yang sepertinya hendak ditunjukkan padaku.
“Apa maksudnya ini?” tanyanya sambil menunjukkan gambar di ponselnya.
Mataku melebar.
Mengapa Pak Taufan bisa mendapatkan gambar yang aku kirim ke Vania?
“Apa maksud kalian? Ha?” ucap Pak Taufan lagi.
Aku semakin tidak mengerti.
“Pak Reno, buka status W* Bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mengembun.
“Apaa???!”
Bersambung
“Pak Reno, buka status WA bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mulai mengembun. “Apaa???!” Aku hampir terlonjak kaget. Betapa bodohnya aku bisa memposting fotoku dan Vania di status WA? Padahal, foto itu tidak hanya satu. Bahkan foto tak penting pun aku ikut kirimkan. Apa jadinya jika Namira sampai melihatnya? Segera aku buka ponselku yang sedari tadi aku pasang mode diam. Ya Salam. Benar juga. Banyak japri masuk ke aplikasi pesanku. [Reno, ini siapa?][Reno, berani sekali pasang di sini?][Reno, tak kusangka, kamu suka juga dengan daun muda] Ya Tuhan...itu pesan dari teman-temanku. Entah siapa lagi, belum sempat aku cek satu per satu. Bergegas aku membuka status WA ku. Innalillahi, hampir semua staf kantor yang ada di daftar kontak sudah membukanya. Sepertinya mereka mengetahui dari mulut ke mulut. Bahkan, mertua dan orang tuaku pun melihatnya. Langit rasanya tiba-tiba runtuh, dan aku terhempas masuk ke dalam bumi yang entah berapa lapis dalamnya.
Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku. Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.“Reno, keluar kamu!” Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini? Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku. Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saud
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah negosiasi alot dengan mertua dan orang tuaku, akhirnya mereka memberiku kesempatan kedua, dengan catatan aku tak berhubungan lagi dengan Vania. Aku iyain saja, agar mereka segera pulang. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan Namira. Kini mereka semua sudah pulang. Tinggalkan aku dan Namira, juga kedua anakku yang sedari tadi ternyata diasuh oleh Dina, adikku. Rupanya adikku membawa kedua anakku pergi keluar, agar kedua anakku tak mendengarkan pertengkaran kakek dan neneknya denganku. Setelah menidurkan Dafa dan Dafi, Namira keluar kamar anak-anakku. Sementara, aku menunggunya di ruang keluarga. Sebenarnya aku ingin membuka ponselku. Tapi, aku masih trauma. Ada banyak pesan yang ada di situ, dan aku enggan membalasnya. Rata-rata mereka menanyakan tentang status WA ku. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. “Dek, Mas mau bicara....”panggilku pada Namira yang baru keluar dari toilet sambil menepuk sofa di sebelahku. Namira keluar dari
“Vania, kenapa kamu pasang foto itu di profilmu?” tanyaku ke Vania dengan nada marah. Padahal selama ini aku tak pernah marah padanya. “Kenapa? Bukannya semua sudah tahu? Sudah tak ada yang disembunyikan lagi? Ingat, Mas, kamu sudah menghancurkan masa depanku. Jadi kamu harus bertanggung jawab dengan masa depanku,” ucapnya panjang lebar.Aku mengacak rambutku frustasi. Kesal dan dongkol bukan main. Harusnya Vania menolongku. Bukan malah memperburuk keadaan. “Aku harus menyelesaikan urusanku dengan keluargaku. Istriku hampir minta cerai. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu.” Aku mencoba memberinya peringatan. “Oh, bukannya itu bagus. Bukannya Mas bilang padaku waktu itu, kalau Mas sudah bosan padanya?” “Jaga mulutmu! Meskipun aku bosan, sampai mati aku tetap mempertahankannya!” Baru saja aku menutup mulutku, Namira sudah berdiri di belakangku saat tak sengaja aku menoleh ke samping. Astaga! Jangan-jangan dia mendengarkan percakapanku. Melihatku menoleh, dia langsung berpaling
“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar. “Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan. Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah. Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku. “Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk. Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby. “Eh....ehhh...pap...pap...” Aku menoleh ke Dafi yan
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. “Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. “Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. “Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelu
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s