“Pak Reno, buka status W* bapak. Itu terposting di sana.” Vania menatapku, matanya sudah mulai mengembun.
“Apaa???!”
Aku hampir terlonjak kaget.
Betapa bodohnya aku bisa memposting fotoku dan Vania di status W*? Padahal, foto itu tidak hanya satu. Bahkan foto tak penting pun aku ikut kirimkan. Apa jadinya jika Namira sampai melihatnya?
Segera aku buka ponselku yang sedari tadi aku pasang mode diam.
Ya Salam. Benar juga. Banyak japri masuk ke aplikasi pesanku.
[Reno, ini siapa?]
[Reno, berani sekali pasang di sini?]
[Reno, tak kusangka, kamu suka juga dengan daun muda]
Ya Tuhan...itu pesan dari teman-temanku. Entah siapa lagi, belum sempat aku cek satu per satu.
Bergegas aku membuka status W* ku.
Innalillahi, hampir semua staf kantor yang ada di daftar kontak sudah membukanya.
Sepertinya mereka mengetahui dari mulut ke mulut. Bahkan, mertua dan orang tuaku pun melihatnya.
Langit rasanya tiba-tiba runtuh, dan aku terhempas masuk ke dalam bumi yang entah berapa lapis dalamnya.
Aku hanya berharap, Namira tidak membuka. Dia jarang kepo dengan status W* seseorang.
Segera aku menghapus semua status sampah itu.
“Untuk sementara, kalian berdua di non-aktifkan hingga ada keputusan dari kantor,” ujar Pak Direktur dengan tegas. Suaranya terdengar laksana petir di siang bolong di telingaku.
“Apa?” Aku dan Vania serentak berucap. Bahkan, mulutku ikut menganga karena kaget.
“Kamu tak punya malu jika kamu besok masih masuk kerja?” tanya Pak Taufan.
Benar juga kata Pak Taufan. Pasti para karyawan di kantor ini memperbincangkan kebejatanku, meski foto itu tidak menampilkan tindakan asusila. Tapi dari foto itu siapapun bisa menebak kalau aku punya hubungan khusus dengan Vania.
Aku menatap Vania iba. Kasihan sekali dia. Masa depannya hancur karena ulahku.
Aku keluar dari ruang direktur itu dengan kepala menunduk.
Aku yakin, semua karyawan yang ada di lantai ini pun sudah mengendus berita miring tentangku. Apa jadinya masa depanku. Baru sebulan diangkat jadi manajer, sudah dinonaktifkan dari jabatan.
Aku tak berani menatap Vania. Bahkan, aku memilih turun lewat tangga darurat, dibanding harus satu lift dengan Vania.
Sebaiknya aku bicara nanti dengan Vania. Bukan di kantor ini. Batinku.
Sesampai di ruanganku. Aku hanya mengambil tas kerjaku.
Aku berpesan kepada Hana, jika ada keputusan dari direktur untuk membantu membereskan barang-barangku.
Untuk saat ini, aku ingin segera pulang. Aku tak ingin masalah tambah kacau di rumah jika Namira sampai tahu kejadian yang sedang menimpaku.
Sepanjang perjalanan pulang, kepalaku berdenyut. Bahkan, pesan-pesan yang masuk di ponselku belum sepenuhnya semua kubaca. Aku trauma. Tak ingin melihatnya. Dadaku bergemuruh resah.
Aku harus menyiapkan kata-kata terbaik untuk bicara dengan Namira, jika dia sampai tahu. Semoga saja berita ini belum sampai padanya. Biarlah aku yang pertama memberitahunya. Bukan orang lain.
Aku sedikit lega saat tiba di rumah, keriuhan Dafa dan Dafi, bocah berusia tiga dan satu tahun itu terdengar dari luar. Artinya seharian Namira sibuk dengan keduanya.
Dia jarang sekali mengecek ponsel. Kadang, aku harus beberapa kali menelponnya jika sangat penting sekali, karena tak mungkin sekali panggil dia mengangkatnya.
Segera kubuka pagar rumahku sebelum kumasukkan mobilku.
“Ayah!” Dafa, anak sulungku yang baru tiga tahun dengan suka cita berlari menyambutku yang masih hendak turun dari mobil.
Sementara Dafi, masih belajar berjalan tertatih mengejar abangnya dengan berpegangan pada dinding.
Ada rasa sesak di dada melihat dua buah hatiku. Sementara, Namira pun ikut berlari tergopoh-gopoh begitu dua anak kami menghambur ke depan.
Wanita dengan daster batik dan jilbab bergo itu fokus melihat kedua anak kami, tanpa menatapku. Aku jadi semakin merasa bersalah. Jangan-jangan dia sudah tahu.
“Kok Ayah sudah pulang?” tanya Dafa sambil mengekor di belakangku.
Sementara Dafi minta mengulurkan kedua tangannya minta aku menggendongnya.
Hari memang masih siang. Biasanya aku tiba di rumah jam tujuh, setelah aku menghabiskan waktu sejenak dengan Vania, sekedar menemaninya makan sore di rumah makan sekitar kantor, atau sekedar nongkrong di cafe.
Vania kos di belakang kantor. Dan kini, sesiang ini aku sudah pulang setelah kebejatanku dengan Vania terendus seantero dunia. Naif!
“Sini, Dek, Ayah masih kotor. Biar mandi dulu,” ujar Namira sambil mengulurkan tangannya pada Dafi.
Tapi, bocah bayi ini malah mengalungkan tangannya ke leherku, memelukku erat. Aku jadi semakin merasa bersalah.
“Aku nggak tahu kamu pulang cepet, Mas. Aku belum masak,” ujar Namira tanpa menatapku. Dia langsung ke dapur begitu Dafi tak mau diambil.
Kesempatan ini aku gunakan untuk mencari ponsel milik Namira. Aku harus tahu apakah dia sudah membuka status W* ku atau belum. Apakah sudah ada yang mengirimkannya pesan singkat mempertanyakan statusku itu, atau belum.
Kugendong Dafi ke kamar. Mataku menjelajah setiap sudut kamar tidur kami.
Oh! Ketemu. Ada di atas ranjang. Namira tak pernah memberikan ponselnya ke anak-anak untuk mainan. Dia rela repot mengasuh anak-anak dengan memberikan bacaan atau mainan edukatif.
Dia hanya memberikan ponsel dengan pengawasannya saja. Misalnya membuka video dan melihatnya bersama. Bukan meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan dengan benda ajaib itu.
Aku baru ingat kalau statusku sudah kuhapus, bagaimana aku bisa tahu Namira sudah mengeceknya atau belum?
Tapi, baiklah. Aku cek saja siapa tahu ada pesan melalui japri dari orang lain.
Dan benar saja. Ada pesan dari mertua dan iparku di situ. Untungnya belum dibaca oleh Namira. Segera aku hapus semuanya tanpa kubuka.
“Mas?”
Aku tergagap saat Namira sudah berdiri di ambang pintu.
Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Wajahnya sangat datar. Aku menjadi takut karenanya.
“Mas, ibu sebentar lagi datang,” ujar Namira sambil mengambil Dafi dari gendonganku.
Deg!
Dari mana Namira tahu kalau ibu mau datang? Sementara ponselnya ada di aku?
BERSAMBUNG
Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku. Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.“Reno, keluar kamu!” Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini? Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku. Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saud
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah negosiasi alot dengan mertua dan orang tuaku, akhirnya mereka memberiku kesempatan kedua, dengan catatan aku tak berhubungan lagi dengan Vania. Aku iyain saja, agar mereka segera pulang. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan Namira. Kini mereka semua sudah pulang. Tinggalkan aku dan Namira, juga kedua anakku yang sedari tadi ternyata diasuh oleh Dina, adikku. Rupanya adikku membawa kedua anakku pergi keluar, agar kedua anakku tak mendengarkan pertengkaran kakek dan neneknya denganku. Setelah menidurkan Dafa dan Dafi, Namira keluar kamar anak-anakku. Sementara, aku menunggunya di ruang keluarga. Sebenarnya aku ingin membuka ponselku. Tapi, aku masih trauma. Ada banyak pesan yang ada di situ, dan aku enggan membalasnya. Rata-rata mereka menanyakan tentang status WA ku. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. “Dek, Mas mau bicara....”panggilku pada Namira yang baru keluar dari toilet sambil menepuk sofa di sebelahku. Namira keluar dari
“Vania, kenapa kamu pasang foto itu di profilmu?” tanyaku ke Vania dengan nada marah. Padahal selama ini aku tak pernah marah padanya. “Kenapa? Bukannya semua sudah tahu? Sudah tak ada yang disembunyikan lagi? Ingat, Mas, kamu sudah menghancurkan masa depanku. Jadi kamu harus bertanggung jawab dengan masa depanku,” ucapnya panjang lebar.Aku mengacak rambutku frustasi. Kesal dan dongkol bukan main. Harusnya Vania menolongku. Bukan malah memperburuk keadaan. “Aku harus menyelesaikan urusanku dengan keluargaku. Istriku hampir minta cerai. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu.” Aku mencoba memberinya peringatan. “Oh, bukannya itu bagus. Bukannya Mas bilang padaku waktu itu, kalau Mas sudah bosan padanya?” “Jaga mulutmu! Meskipun aku bosan, sampai mati aku tetap mempertahankannya!” Baru saja aku menutup mulutku, Namira sudah berdiri di belakangku saat tak sengaja aku menoleh ke samping. Astaga! Jangan-jangan dia mendengarkan percakapanku. Melihatku menoleh, dia langsung berpaling
“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar. “Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan. Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah. Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku. “Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk. Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby. “Eh....ehhh...pap...pap...” Aku menoleh ke Dafi yan
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. “Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. “Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. “Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelu
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi