“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar.
“Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan.
Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah.
Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku.
“Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk.
Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby.
“Eh....ehhh...pap...pap...”
Aku menoleh ke Dafi yang duduk di kursi bayinya, berceloteh tak jelas di sebelahku. Tangannya menggapai-gapaiku ingin digendong.
Ragu aku mengambilnya. Kalau dia lengket kayak kemaren, nanti Namira bisa punya alasan meninggalkanku dengan Dafi. Lagi pula, Namira mau pergi dengan Dafi, kenapa bocah ini belum di dandani. Biasanya, bocah ini paling duluan dandan, baru abang dan emaknya.
“Ehhh...eh...eh...”
Bocah itu berceloteh lagi. Melihat sudut bibir Dafi yang mulai melengkung kebawah, akhirnya aku angkat juga bocah ini. Begitu kuangkat, bocah ini langsung terkekeh-kekeh kegirangan. Bau harum bocah menguar dari tubuhnya. Kuhembuskan nafasku dengan kasar sambil sesekali memandang ke pintu di mana Namira harusnya segera keluar. Dan benar saja. Dia sudah keluar kamar. Tapi, dandannnya tidak seperti biasa.
Namira menggenakan tunik dipadu dengan celana bahan yang warnanya senada dengan warna pasminanya. Padahal, biasanya dia kalau pergi hanya dengan gamis dan jilbab instannya. Mendadak, dadaku terasa ngilu. Wajah yang bisanya tanpa sapuan make up, kini, terlihat segar dengan bedak tipis dan lipstick warna natural.
“Dik, Dafi diajak dong,” suaraku setengah merengek. Kalau sampai dia tidak mengajak Dafi, kenapa aku jadi tidak rela dia pergi. Berpenampilan seperti itu saja, dia sudah mirip gadis lagi. Pasti nanti Dafa dikira cuma keponakannya. Trus, orang bakal melihat Namira adalah seorang gadis yang sayang anak. Bagaimana kalau sampai ada yang suka? Oh NO!
Namira menoleh ke arahku sekilas, lalu mengajak Dafa yang sibuk main lego di depan tivi untuk segera ganti baju.
“Dik, aku ada meeting siang ini,” ujarku setengah berbohong sambil mengikutinya masuk ke kamar Dafa. Kalau alasan pekerjaan biasanya Namira tak bisa berkelit dan pasti dia mengalah.
Dia menatapku sekilas, lalu mengangguk. Yes! Pekikku dalam hati. Sambil menggendong Dafi, kuraih ponselku dan menuliskan pesan ke Vania.
[Ketemu di mall xxx jam 11.00]
Aku sengaja mengajak ketemu di mall yang jauh dari kantor untuk mempersempit kemungkinan tak sengaja ketemu orang kantor. Dan aku sengaja ketemuan sebelum jam makan siang saat suasana mall belum ramai.
Tak lama, Namira mengambil Dafi untuk diganti bajunya. Istriku ini meskipun tak punya ART, sangat terampil mengasuh dua anaknya. Dia memang tidak suka ada orang lain di rumah. begitu juga aku. Apalagi rumah kami memang kecil. Ini saja belum lunas.
Aku mengantarkan kepergian istriku hingga depan rumah. Dia sudah biasa pergi sendiri. Dafi di gendong depan, sementara Dafa di gandeng. Tak lupa membawa gembolan tas berisi satu set baju anak-anak, diapers cadangan Dafi, susu, dan segala macemnya. Juga di sana terselip dompet dan ponsel milik Namira. Kalau sudah begini, Namira akan lupa dengan penampilannya sendiri, hingga membuatku aman melepas kepergiannya.
Taksi online yang dipesan Namira sudah meninggalkan depan rumahku. Kini, giliranku siap-siap pergi menemui Vania. Akan kuselesaikan masalahku dengannya sekarang. Sebelum semua hancur berantakan.
Kukenakan baju santai, kaos berkrah dan celana jins serta sepatu santai. Mobil kuluncurkan ke mall yang sudah kujanjikan dengan Vania.
“Van, mulai sekarang, kamu jangan kontak lagi ke nomorku, mengerti?” ulangku untuk kesekian kalinya.
Kami sudah duduk di salah satu café, memesan makanan dan minuman sekaligus makan siang. Tapi kupastikan sebelum jam makan siang, kita harus sudah keluar dari cafe itu. Bagaimanapun Jakarta tidak aman. Bisa jadi tak sengaja bertemu siapa yang mencurigai kami.
“Ngga bisa dong. Aku kan masih ada urusan sama kamu, Mas. Kalau sampai kantor memecatku, aku harus bayar kos pakai uang apa? Aku kan perlu waktu buat cari kerja baru,” ujarnya.
Benar juga. Apalagi kalau dia dipecat, itu murni karena salahku. Salah memposting foto kami berdua. Andai aku hati-hati, tentu tidak ada drama skorsing ini. Keputusan untuk Vania memang belum keluar. Tapi masak kantor tega memecatnya. Apalagi gambar itu kan bukan gambar asusila.
“Lagian, aku sudah malu balik ke kantor. Kalau tidak dipecatpun, mendingan aku mengundurkan diri dan mencari kerja yang lain,” ujarnya.
Aku setuju. Dia masih muda. Pekerjaannya pun bagus. Cekatan. Kalau kerja di perusahaan lain, aku rasa karirnyapun juga cepat naik.
“Kalau begitu, kamu siap-siap melamar ke perusahaan lain saja, Vanm” ujarku.
“Iya. Aku masih cari-cari lowongan. Makanya, aku bakal tetep menghubungi kamu, Mas. Kamu jangan lepas tanggung jawab dong. Ini semua gara-gara kamu,” ujarnya sambil cemberut. Kalau sudah begini, dia semakin menggemaskan.
“Kalau begitu, aku harus beli ponsel dan nomor baru. Kalau tidak, aku kawatir nanti salah posting lagi,” ujarku.
“Iya. Dasar kamu ceroboh!”
Baru Vania menutup mulut, tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang yang berada di jarak yang sangat dekat.
Serta merta kami menoleh ke sumber suara.
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!”
Mataku membulat. Burhan dan Reza, dua teman kantorku, kenapa bisa berdiri di sini? Jangan-jangan Namira dan Widya membuntutiku? Lalu mereka melaporkannya ke Burhan? Mati aku!
Bersambung...
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. “Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. “Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. “Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelu
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi
Untung semua file-file ijasah dan setifikat tersimpan rapi di laptop. Usai mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku bergegas pulang.Aku harus lebih dulu pulang sebelum Namira. Aku akan memarahinya karena meninggalkan rumah tanpa ijin. Apalagi tanpa membawa anak-anak serta. Bagaimana kalau ada yang menyangka Namira masih single lalu jatuh cinta padanya. Dia kalau tidak menggendong Dafi tentu saja tak kalah dengan perempuan berusia 27 tahun lainnya, yang orang bilang makin matang makin cantik!Aku sudah siap di beranda rumah saat mendengar suara mobil berhenti, disertai suara yang aku kenal. Anak-anak selalu berisik, dan juga istriku yang selalu bergerak sambil berbicara.“Dari mana saja kamu?” tanyaku saat Namira turun dari mobil. Tangannya satu membantu Dafa turun dari taksi online itu. Tangan satu lagi sibuk menurunkan tas gembolan dan beberapa tas lain dari mobil. Terakhir, dia menggendong Dafi. “Habis belanja,” jawabnya singkat.Benar juga. Tas belanjaan ditinggalkannya di la
“Kenapa mengalihkan pembicaraan?” Volume suara aku turunkan. Aku tak ingin membuat anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah mendekati kami karena penasaran. Jika iya, gagal sudah upayaku meninterogerasi Namira.“Siapa laki-laki yang mewawancaraimu tadi?” Aku menatap Namira yang duduk di ujung sana lekat. Aku harus tahu dia akan bekerja di mana dan dengan siapa. “Kamu tahu yang mewawancaraiku laki-laki?” Namira mengerutkan keningnya dan menatapku keheranan.Dia pikir aku lelaki bodoh? Aku mengangguk cepat sambil tersenyum miring. Dengan begini, dia akan tahu diri, siapa yang sedang dihadapinya ini. Reno Prasetio Wicaksono, bekas manajer marketing di perusahaan ternama.Meskipun hanya mantan manajer, aku punya pengalaman yang lebih banyak dibanding Namira. Jadi, jangan sekali-sekali meremehkan!“Namanya Haris." Dia menjawab, lalu mengambil nafas. "Dulu atasanku saat aku masih bekerja. Dan dia memintaku kembali bergabung di perusahaan tempat kami bekerja itu,” ujar Namira tenang.
Mumpung Namira belum mulai bekerja, Reno masih memanfaatkan kesempatan untuk tidak tinggal diam di rumah. Pria itu tetap berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan. Daripada ia harus mengasuh bocah, mendingan dia bekerja, itu prinsipnya.Sayangnya, nasib baik tak juga menghampirinya. Semua kawan sudah dihubungi, hasilnya nihil. Lamaran yang dikirimpun belum ada jawaban. “Kamu masih mau bertahan sama si Reno?” tanya Widya sambil mengawasi anak-anak bermain di taman kompleks. Hari itu Widya datang ke rumah Namira setelah Reno pergi.Pagi itu suasana kompleks tempat tinggal Namira lumayan sepi karena hari kerja. Anak-anak usia sekolah tentu saja tidak terlihat. Hanya mereka yang belum bersekolah yang ikut bergabung bermain di taman kompleks.Taman itu memang ditujukan untuk penghuni kompleks. Berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain tersedia di sana. Orang tua dan dewasa pun disediakan tempat duduk di sekeliling taman untuk menunggui buah hat
“Lembur sih setiap hari. Dia pulang di atas jam tujuh. Tapi, kan hasilnya dia naik jabatan lebih cepat dari Mas Burhan kan?” ujar Namira menceritakan kesibukan Reno sebelum dia naik jabatan. Namira memang pernah mengeluh, kenapa tiap hari pulang malam. Terutama setahun terakhir, apalagi setelah kelahiran Dafi. Tapi, Reno selalu beralasan banyak pekerjaan dan harus segera diselesaikan jika ingin cepat naik jabatan dan naik gaji. “Apa? Serius setiap hari lembur?” Widya hampir terlonjak kaget mendengar jawaban polos Namira. “Kenapa emang?” Namira balik menatap Widya dengan heran. “Suamiku nggak pernah lembur. Setiap hari pulang jam kerja biasa. Malah, katanya di kantor jarang ada lembur. Kalau pun ada, pas akhir bulan, rekapan bulanan. Atau akhir tahun. Nggak setiap hari juga, kali. Kantor bisa bangkrut bayarin lemburan kalau setiap hari,” jelas Widya panjang lebar. Namira terdiam. Benar juga apa kata Widya. Kenapa selama ini tidak berfikir sejauh itu? Apakah selama ini terlalu