Mumpung Namira belum mulai bekerja, Reno masih memanfaatkan kesempatan untuk tidak tinggal diam di rumah. Pria itu tetap berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan. Daripada ia harus mengasuh bocah, mendingan dia bekerja, itu prinsipnya.Sayangnya, nasib baik tak juga menghampirinya. Semua kawan sudah dihubungi, hasilnya nihil. Lamaran yang dikirimpun belum ada jawaban. “Kamu masih mau bertahan sama si Reno?” tanya Widya sambil mengawasi anak-anak bermain di taman kompleks. Hari itu Widya datang ke rumah Namira setelah Reno pergi.Pagi itu suasana kompleks tempat tinggal Namira lumayan sepi karena hari kerja. Anak-anak usia sekolah tentu saja tidak terlihat. Hanya mereka yang belum bersekolah yang ikut bergabung bermain di taman kompleks.Taman itu memang ditujukan untuk penghuni kompleks. Berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain tersedia di sana. Orang tua dan dewasa pun disediakan tempat duduk di sekeliling taman untuk menunggui buah hat
“Lembur sih setiap hari. Dia pulang di atas jam tujuh. Tapi, kan hasilnya dia naik jabatan lebih cepat dari Mas Burhan kan?” ujar Namira menceritakan kesibukan Reno sebelum dia naik jabatan. Namira memang pernah mengeluh, kenapa tiap hari pulang malam. Terutama setahun terakhir, apalagi setelah kelahiran Dafi. Tapi, Reno selalu beralasan banyak pekerjaan dan harus segera diselesaikan jika ingin cepat naik jabatan dan naik gaji. “Apa? Serius setiap hari lembur?” Widya hampir terlonjak kaget mendengar jawaban polos Namira. “Kenapa emang?” Namira balik menatap Widya dengan heran. “Suamiku nggak pernah lembur. Setiap hari pulang jam kerja biasa. Malah, katanya di kantor jarang ada lembur. Kalau pun ada, pas akhir bulan, rekapan bulanan. Atau akhir tahun. Nggak setiap hari juga, kali. Kantor bisa bangkrut bayarin lemburan kalau setiap hari,” jelas Widya panjang lebar. Namira terdiam. Benar juga apa kata Widya. Kenapa selama ini tidak berfikir sejauh itu? Apakah selama ini terlalu
Sepeninggal Namira, Reno segera mengunci pintu depan. Dafa dan Dafi segera disuruh duduk manis di atas karpet. Dia lalu menyalakan smart tivi yang terhubung dengan chanel anak-anak. Reno ingin bersantai dengan ponselnya mumpung Namira tidak di rumah. Selama Namira di rumah, dia harus menjaga image nya untuk tidak memegang ponsel, kecuali untuk hal yang penting dan mendesak.“Ayah, adik ek-ek!” seru Dafa sambil memencet hidungnya. Bocah tiga tahun itu mencium bau tidak sedap dari adiknya. Biasanya begitu tercium aroma yang khas dari adiknya, bundanya sudah mengangkat sang adik ke toilet. “Ayah!” Dafa kembali mengguncang-guncang bahu Reno yang masih asyik dengan ponselnya. “Iya. Biarin selesain dulu,” ujar Reno malas. Pandangannya tak lepas dari ponselnya karena dia sedang mencari lowongan pekerjaan. Belum genap dua minggu rasanya sudah jenuh di rumah. Dan sekarang, baru satu jam bersama anak-anak, rasanya jam berputar begitu lambatnya. “Ayah...! lihat! Ek-ek nya adik di karpet!” tun
“Reno, kok kamu di rumah? Namira mana?”Ibu mertuaku itu langsung memberondong pertanyaan. Matanya memindai setiap sudut rumah dari pintu masuk ruang tamu. Kedua tangannya membawa kantong kresek. Aku yakin itu pasti oleh-oleh. Mertuaku ini tak pernah datang dengan tangan kosong. “Bunda kerja, Nek!” Aku kalah cepat. Dafa sudah menyahut sambil mendongakkan kepalanya, menatap neneknya yang masih berdiri di ampang pintu.Duh! Anak ini pake ngaku kalau bundanya sudah kerja. Dimanapun, anak kecil memang selalu jujur.“Namira kerja?” Tatapan mata ibu mertua berpindah kepadaku. Biasanya, neneknya anak-anak ini padahal langsung sibuk dengan cucu-cucunya setiap datang. Kini, malah seolah ingin menginterogerasiku. Ada rasa bersalah menyelinap atas pertanyaan ibu mertua. Tampak sekali aku menjadi menantu yang tak becus, hingga Namira yang dulu aku paksa berhenti kerja kini harus kembali bekerja. Masih ingat saat aku meminta Namira berhenti kerja dan fokus mengurus anak-anak, ibu mertuaku yang
“Lho, Dik kok kamu sudah pulang?” tanyaku saat usai memandikan Dafi. Bocah itu aku bungkus dengan handuk dan membawanya ke kamar saat Namira masuk rumah. Dua bocah ini meski ada neneknya, tak ada satu pun yang mau dimandikan oleh sang nenek. Terpaksa aku juga yang seharian sudah berjibaku dengan kedua bocah ini mesti turun tangan. “Lha katanya disuruh pulang cepat?” Namira mengingatkan. Aku memang mengirim WA padanya agar cepat pulang karena ada ibunya. Tapi, bukan berarti dia harus pulang sebelum jam kerja berakhir. Apalagi harus mengatakan di depan ibunya kalau aku yang memintanya. Huff. “Kamu ini gimana sih, Ren. Istri kerja bukannya didukung, malah disuruh cepat pulang,” omel ibu mertuaku dari dapur. Aku diam saja sembari memakaikan baju Dafi. Nanti saja ditanggapi kalau urusanku sudah beres dengan bocil-bocil ini. Lagi pula, aku juga pasti kalah kalau harus berdebat dengan ibu mertua. “Kamu kerja yang bener. Jangan semaunya sendiri.” Aku masih mendengar ibu mertuaku masih
“Ya Alloh, Mas. Masak aku doain kamu dipecat. Ya, ngga lah. Aku cuma doain agar kamu cepet sadar. Mungkin sama Alloh, jalannya kamu sadar itu ya mesti dipecat dulu. Ngga punya kerjaan. Baru kamu sadar,” sahut Namira datar. Mataku melotot mendengar penjelasan Namira. Jadi, benar ini semua kontribusi dari doa istriku? Jadi mereka benar-benar menganggapku selingkuh dan aku harus merasakan akibat perbuatanku? Aku mengacak rambutku kasar. Aku semakin tak mengerti jalan pikiran ibu dan anak di depanku ini. Keduanya seolah kompromi memojokkanku. Harusnya mereka memberiku semangat agar aku tak patah semangat dan terus mencari kerja. Bukan menguliti kesalahanku seperti ini. Dasar perempuan-perempuan aneh! Hari menjelang malam, ibu mertuaku dijemput oleh kakak iparku, Mas Bram. Lagi-lagi, kakak iparku juga memasang wajah jutek padaku, seolah aku ini seorang pecundang yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Padahal kesalahanku hanya satu. Salah posting status. Namanya manusia, tempatnya sal
Usai menerima pesan singkat itu, aku pun berencana untuk keluar rumah. Aku harus segera membereskan urusanku. “Buk, nitip anak-anak sebentar,” ujarku sambil mengangsurkan Dafi ke ibu mertuaku. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah mertuaku beserta anak-anak. Seperti halnya mertuaku ke rumahku, aku pun sama. Sudah menganggap rumah mertuaku seperti rumah sendiri. Ibu mertuaku sedikit terkejut mendapatiku sudah di depan pintu sambil membawa anak-anak. Mskipun ibu mertuaku cemberut padaku, tapi dengan anak-anak dia sama sekali tak pernah cemberut. Bahkan, Dafi dan Dafa terlihat kegirangan saat aku tadi mengatakan pada mereka kalau akan ke rumah neneknya. Aku tahu, anak-anak juga bosan kalau hanya di rumah terus. Beruntung juga punya mertua yang rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak bisa dititipkan kapan saja, dan tentu saja, jadi dekat dengan neneknya. “Mana diapers sama susunya Dafi?” tanya Ibu mertua sambil menggendong bocah yang tertawa kegirangan karena ikut n
Tak sengaja, aku mengikuti langkah mereka berdua. Termasuk saat mereka berdua masuk ke dalam sebuah cafe, aku tetap mengikutinya dalam jarak yang cukup jauh. Aku tak ingin kehilangan jejak. Aku harus tahu apa yang mereka lalukan. Mereka berdua disambut oleh salah seroang pelayan cafe dan dibawa ke salah satu meja. Sepertinya sebelumnya mereka sudah melakukan reservasi. Kurang ajar, Namira. Tanganku meremas tas jinjing berisi ponsel itu. Aku bahkan tak sadar merapakan gerahamku. Kepalaku dipenuhi dengan rasa tak rela. Bisa-bisanya dia memanfaatkan suasana kerja untuk berduaan dengan bosnya. Tak bisa dibiarkan! Namun, lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Begini amat rasanya jadi pengangguran dan harus bersaing dengan seseorang yang sedang dekat dengan istri sendiri, gerutuku. Aku meletakkan tas jinjing di atas meja setelah memilih tempat duduk di dalam cafe yang cukup stratgeis untuk mengawasi mereka. Aku harus tahu apa yan