“Reno, kok kamu di rumah? Namira mana?”Ibu mertuaku itu langsung memberondong pertanyaan. Matanya memindai setiap sudut rumah dari pintu masuk ruang tamu. Kedua tangannya membawa kantong kresek. Aku yakin itu pasti oleh-oleh. Mertuaku ini tak pernah datang dengan tangan kosong. “Bunda kerja, Nek!” Aku kalah cepat. Dafa sudah menyahut sambil mendongakkan kepalanya, menatap neneknya yang masih berdiri di ampang pintu.Duh! Anak ini pake ngaku kalau bundanya sudah kerja. Dimanapun, anak kecil memang selalu jujur.“Namira kerja?” Tatapan mata ibu mertua berpindah kepadaku. Biasanya, neneknya anak-anak ini padahal langsung sibuk dengan cucu-cucunya setiap datang. Kini, malah seolah ingin menginterogerasiku. Ada rasa bersalah menyelinap atas pertanyaan ibu mertua. Tampak sekali aku menjadi menantu yang tak becus, hingga Namira yang dulu aku paksa berhenti kerja kini harus kembali bekerja. Masih ingat saat aku meminta Namira berhenti kerja dan fokus mengurus anak-anak, ibu mertuaku yang
“Lho, Dik kok kamu sudah pulang?” tanyaku saat usai memandikan Dafi. Bocah itu aku bungkus dengan handuk dan membawanya ke kamar saat Namira masuk rumah. Dua bocah ini meski ada neneknya, tak ada satu pun yang mau dimandikan oleh sang nenek. Terpaksa aku juga yang seharian sudah berjibaku dengan kedua bocah ini mesti turun tangan. “Lha katanya disuruh pulang cepat?” Namira mengingatkan. Aku memang mengirim WA padanya agar cepat pulang karena ada ibunya. Tapi, bukan berarti dia harus pulang sebelum jam kerja berakhir. Apalagi harus mengatakan di depan ibunya kalau aku yang memintanya. Huff. “Kamu ini gimana sih, Ren. Istri kerja bukannya didukung, malah disuruh cepat pulang,” omel ibu mertuaku dari dapur. Aku diam saja sembari memakaikan baju Dafi. Nanti saja ditanggapi kalau urusanku sudah beres dengan bocil-bocil ini. Lagi pula, aku juga pasti kalah kalau harus berdebat dengan ibu mertua. “Kamu kerja yang bener. Jangan semaunya sendiri.” Aku masih mendengar ibu mertuaku masih
“Ya Alloh, Mas. Masak aku doain kamu dipecat. Ya, ngga lah. Aku cuma doain agar kamu cepet sadar. Mungkin sama Alloh, jalannya kamu sadar itu ya mesti dipecat dulu. Ngga punya kerjaan. Baru kamu sadar,” sahut Namira datar. Mataku melotot mendengar penjelasan Namira. Jadi, benar ini semua kontribusi dari doa istriku? Jadi mereka benar-benar menganggapku selingkuh dan aku harus merasakan akibat perbuatanku? Aku mengacak rambutku kasar. Aku semakin tak mengerti jalan pikiran ibu dan anak di depanku ini. Keduanya seolah kompromi memojokkanku. Harusnya mereka memberiku semangat agar aku tak patah semangat dan terus mencari kerja. Bukan menguliti kesalahanku seperti ini. Dasar perempuan-perempuan aneh! Hari menjelang malam, ibu mertuaku dijemput oleh kakak iparku, Mas Bram. Lagi-lagi, kakak iparku juga memasang wajah jutek padaku, seolah aku ini seorang pecundang yang harus dimusnahkan dari muka bumi. Padahal kesalahanku hanya satu. Salah posting status. Namanya manusia, tempatnya sal
Usai menerima pesan singkat itu, aku pun berencana untuk keluar rumah. Aku harus segera membereskan urusanku. “Buk, nitip anak-anak sebentar,” ujarku sambil mengangsurkan Dafi ke ibu mertuaku. Aku sudah berdiri di depan pintu rumah mertuaku beserta anak-anak. Seperti halnya mertuaku ke rumahku, aku pun sama. Sudah menganggap rumah mertuaku seperti rumah sendiri. Ibu mertuaku sedikit terkejut mendapatiku sudah di depan pintu sambil membawa anak-anak. Mskipun ibu mertuaku cemberut padaku, tapi dengan anak-anak dia sama sekali tak pernah cemberut. Bahkan, Dafi dan Dafa terlihat kegirangan saat aku tadi mengatakan pada mereka kalau akan ke rumah neneknya. Aku tahu, anak-anak juga bosan kalau hanya di rumah terus. Beruntung juga punya mertua yang rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kami. Anak-anak bisa dititipkan kapan saja, dan tentu saja, jadi dekat dengan neneknya. “Mana diapers sama susunya Dafi?” tanya Ibu mertua sambil menggendong bocah yang tertawa kegirangan karena ikut n
Tak sengaja, aku mengikuti langkah mereka berdua. Termasuk saat mereka berdua masuk ke dalam sebuah cafe, aku tetap mengikutinya dalam jarak yang cukup jauh. Aku tak ingin kehilangan jejak. Aku harus tahu apa yang mereka lalukan. Mereka berdua disambut oleh salah seroang pelayan cafe dan dibawa ke salah satu meja. Sepertinya sebelumnya mereka sudah melakukan reservasi. Kurang ajar, Namira. Tanganku meremas tas jinjing berisi ponsel itu. Aku bahkan tak sadar merapakan gerahamku. Kepalaku dipenuhi dengan rasa tak rela. Bisa-bisanya dia memanfaatkan suasana kerja untuk berduaan dengan bosnya. Tak bisa dibiarkan! Namun, lagi-lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus menahan diri untuk tidak meluapkan emosi. Begini amat rasanya jadi pengangguran dan harus bersaing dengan seseorang yang sedang dekat dengan istri sendiri, gerutuku. Aku meletakkan tas jinjing di atas meja setelah memilih tempat duduk di dalam cafe yang cukup stratgeis untuk mengawasi mereka. Aku harus tahu apa yan
Ibu mertuaku sibuk memberiku catatan dan skrinsut gambar dari internet tentang susu dan diapers untuk Dafi. Beliau tak mau aku membeli barang yang salah lagi. Ya Tuhan. Aku mirip orang bego kalau kayak gini. Hanya membeli dua benda saja, tak satu pun ada yang benar. Namira! Sampai kapan kamu menyiksaku? gerutuku. Usai balik dari supermarket, aku berencana santai sejenak di rumah mertua, mumpung anak-anak lengket dengan neneknya. Ternyata mengasuh anak-anak, meski anak sendiri cukup melelahkan. Selama ini, aku hanya sekali-sekali saja memegang mereka. Tak pernah sampai lebih dari delapan jam seperti sekarang. Kalau sudah begini, aku harus berterimakasih pada ibu-ibu yang mendedikasikan diri pada keluarga. Sungguh, mengurus rumah tangga itu luar biasa. "Ini jam berapa, Ren. Anak-anak belum mandi. Buruan pulang sana," usir ibu mertuaku. Padahal aku berniat sampai makan malam di sini. Paling tidak, aku pulang anak-anak sudah bersih dan wangi. Salahku juga, aku nggak membawakan anak
Hari masih pagi. Anak-anak semua sudah wangi dan rapi. Namira pun sudah bersiap hendak pergi ke kantor. Sebelumnya, ia masih menyempatkan diri untuk sarapan denganku dan anak-anak. “Jadi, buat apa kemaren kamu bawa-bawa ponsel itu?” tanya Namira saat Dafi dan Dafa sudah dipindah ke ruang tengah, tinggal hanya aku dan Namira yang duduk di meja makan. Kupikir, dia tak akan membahas lagi, karena hari sudah siang. Mestinya dia buru-buru berangkat karena jalanan akan semakin macet. Ini malah masih sempat bertanya-tanya hal kemarin.“Mau aku jual kembali ke tokonya dik. Uangnya buat pegangan aku, Dik. Aku ngga punya uang sama sekali,” ujarku memelas. Mestinya dia berterimakasih karena aku sudah menstransfer semua gaji terakhirku. Apa Namira berubah sepertiku saat aku masih bekerja, tidak peka? Aku menunggu reaksinya. Berharap dia akan mengambil ponsel dan mentransfer sejumlah uang untuk pegangan. Tapi, rasanya harapanku sia-sia.Setelah berfikir semalaman, aku tak lagi berniat menutup mu
Akhirnya aku terpaksa membawa anak-anak ke café yang dijanjikan oleh Firman. Dalam hati berharap, anak-anak anteng dan tidak rewel karena tentu saja ini pertama kalinya aku tanpa Namira membawa anak-anak di tempat umum. Seepanjang jalan aku menasehati mereka agar nanti tidak rewel, menurut dan tidak minta macem-macem. Entah mereka paham atau tidak, yang jelas saat aku bicara, Dafi selalu tertawa-tawa. Mungkin, bagi bayi berumur setahun ini, dia pikir mau diajak jalan-jalan.Mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku meninggalkan anak-anak di rumah tanpa mengawasan siapapun. Mau nitip ke mertua, malah nggak ada di tempat. Mau bikin janji lagi lain waktu, Firman susahnya minta ampun diajak ketemuan.Seperti saat di rumah mertua, aku menggendong Dafi dan menggandeng Dafa, tak lupa tas selempang ada di pundak, berjalan memasuki area mall setelah memarkir mobil. Benar juga kata kurir tadi, tak heran kalau dia menganggapku mengirimkan istri ke LN, sementara di jam kerja begini aku sibuk dengan