Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.
Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.
Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!
Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.
Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal.
Kuhembuskan nafas dengan kasar!
Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa ponsel baruku disita oleh Namira. Parahnya, dia meminta dusnya sekalian. Katanya mau dikembalikan ke toko mumpung masih baru. Dipotong harganya ngga apa-apa, asal jadi uang, katanya.
Duh! Kayak orang susah aja kamu, Mir! Batinku.
Sejak aku di rumah, dua anakku malah semakin lengket denganku. Keduanya tak mau lepas dariku. Bahkan, ke toilet saja, mesti aku yang menemani. Padahal, jelas-jelas urusan satu ini aku paling malas. Tapi, Dafi malah menangis meraung-raung saat ia kuserahkan pada Namira kala harus ganti diapers. Termasuk mandi saja, juga mereka kompak minta denganku.
Seharian, aku benar-benar tak berkutik. Tapi, Namira pun rasanya juga tidak berleha-leha. Ada saja yang dia lakukan. Bikin cemilan lah, nyikat toilet lah, mengelap jendela lah. Sepertinya pekerjaannya tak ada habisnya. Padahal, aku sengaja mencuri pandang padanya sekedar ingin beristirahat, gantian mengasuh anak-anak. Buktinya, dia malah lebih sibuk.
Saat aku mau mengusulkan gantian karena aku merasa jenuh, dia malah bilang, "Ya sudah, Mas Reno yang nyikat WC, ya,” ujarnya sambil hendak memberikan sikat WC padaku. Tentu saja aku menolak. Mendingan mengasuh anak-anak bisa sambil tiduran. Yang penting ngawasin mereka saja, asal anteng, nggak nangis.
Dengan sabar aku menunggu datangnya malam. Apalagi yang hendak aku tunggu jika bukan membuka blokir nomor Vania. Demi menjaga wibawaku di depan Namira, bahkan aku tak memegang ponsel seharian. Ponsel itu aku letakkan di rak ruang tamu.
“Mas, kalau anak-anak sudah mengantuk, diajak tidur saja,” ujar Namira usai mencuci semua perkakas dapur. Syukur deh dia masih mau memanggilku ‘Mas’. Sejak kemaren dia ber’kamu-kamu’ terus, sampai aku risih mendengarnya.
Segera kugiring anak-anak ke kamar. Semakin cepat mereka tidur, semakin cepat aku bisa punya alasan mengambil ponselku dan menghubungi Vania.
“Baca buku dulu, Ayah!” pinta Dafa sambil mengambil buku bacaan dari rak bukunya. Sementara Dafi sudah duduk di pangkuanku. Ya Salaam, kapan tidurnya bocah-bocah ini.
Satu buku selesai, mata mereka masih terang. Entahlah, mungkin karena aku tak biasa membacakan buku untuk mereka. Jadi intonasiku aneh. Keduanya malah menertawaiku karena membaca apa adanya. Tidak seperti Namira yang bisa membaca laksana pembaca dongeng professional.
“Lagi, Yah!” Dafa menyerahkan buku lain lagi. Padahal aku yakin semua buku itu sudah pernah dibacanya. Buktinya, semuanya sudah kucel. Tapi mengapa mereka tak juga bosan.
Lebih dari satu jam aku menidurkan anak-anak. Hingga akhirnya mereka benar-benar terlelap.
Dengan senyum bahagia, akhirnya aku dapat melangkah keluar dari kamar anak-anak.
Keluar dari kamar, hanya satu titik tujuanku. Ponsel lamaku yang ada di rak. Baru aku menyentuh ponsel itu, samar kudengar Namira seperti sedang menerima telepon di kamar.
Karena penasaran, kudorong sedikit pintu kamarku sehingga ada sedikit celah terbuka, agar suara Namira dapat jelas kudengar.
“Aku sudah tak tahan lagi, Mas. Dia membohongiku terus,” suara Namira sambil terisak.
Mas? Siapa? Mas Bram? Kakaknya yang kemaren ke sini? Tak tahan? Membohongi? Apa dia sedang mengadukanku. Aku harus cepat bertindak.
“Dik!” panggilku pura-pura tak tahu kalau dia sedang menerima telepon. Kudorong pintu kamar hingga terbuka lebar.
Wanita yang sudah kunikahi selama empat tahun ini segera menyusut air mata dengan lengan bajunya, lalu menoleh ke arahku. Tapi, ponsel ditangannya tidak terlihat sedang menyala. Dan dia tak mematikan sambungan teleponnya. Jangan-jangan dia membiarkan pembicaraan kami terdengar oleh kakaknya.
“Kamu sedang terima telepon?” tanyaku sambil mataku tak lepas menatap ponsel ditangannya.
“Nggak,” sahutnya sambil menggeleng.
“Jangan bohong!” ujarku sambil merebut ponsel di genggamannya. Serta merta kuusap layar ponsel itu. Terkunci! Dan aku hafal sandinya, karena Namira memang tak suka mengutak-atik ponsel atau barang elektronik apapun. Saat kuperiksa, tak ada panggilan masuk maupun panggilan keluar. Lalu, dia tadi bicara dengan siapa?
“Kamu bicara dengan siapa, Dik barusan?” tanyaku menyelidik.
“Aku? Aku tidak bicara dengan siapa-siapa...” jawabnya dengan intonasi datar. Lalu dia malah meninggalkanku. Dari ekor mataku, kulihat dia pergi ke kamar sebelah untuk mengecek anak-anak.
Apa benar dia tidak bicara dengan siapa-siapa? Tadi kudengar dia terisak. Bahkan, seperti menyusut air matanya. Tapi, kenapa matanya tak terlihat seperti habis menangis? Membingungkan!
Aku jadi penasaran dengan isi ponselnya. Sudah lama memang aku tak mengeceknya. Lagi pula aku tak pernah tertarik untuk mengeceknya.
Mataku membulat saat aku membaca pesan dari Widya.
[Sebaiknya kamu ceraikan saja suami seperti dia. Apa lagi yang kamu pertahankan? Sebentar lagi dia juga sudah akan dipecat. Jadi pengangguran!]
Kurang ajar istrinya Burhan. Rupanya dia yang memprovokasi Namira untuk minta pisah dariku. Awas saja ya, kamu! Tak kuijinkan Namira pergi lagi dengannya.
Kugenggam dengan kuat jari-jariku, hingga buku-bukunya pun memutih. Rahangku mengeras karena menahan marah.
Tapi aku penasaran, kenapa Namira tidak membalasnya? Bahkan, pesan ini sudah terkirim sejak tadi siang. Tunggu! Bukannya mereka tadi siang pergi bersama? Jangan-jangan Namira sudah merencanakan sesuatu dengan Widya. Aku harus waspada.
Jangan sampai Namira minta cerai dariku. Aku harus menghalangi Namira berhubungan lagi dengan Widya. Segera kublokir nomor Widya di kontak ponsel Namira. Rasain kamu, provokator!
Aku segera menarik selimut, pura-pura tidur, saat kudengar gerakan Namira menutup pintu kamar sebelah. Ponselku dan ponsel Namira aku letakkan di nakas. Kututup mataku dan kuatur nafasku agar terdengar seperti orang sudah tidur.
*****
Seperti hari-hari biasanya, kami sarapan bersama. Bedanya, biasanya aku memakai baju kerja. Kini aku hanya memakai baju rumahan. Begini rasanya tidak kerja. Tidak enak! Apalagi aku harus jadi pengasuh anak-anak selama tidak bekerja. Dan aku pun membayangkan, pasti gajiku bulan ini akan banyak dipotong karena efek skorsing ini. Duh! Gimana untuk menutup cicilan rumah dan mobilku?
Nasi goreng yang biasanya terasa sedap, tiba-tiba sulit ditelan karena aku memikirkan nasibku. Hanya gara-gara salah posting, rusak semua rencana hidupku.
Mendadak terdengar bel rumah kami berbunyi. Kami berempat yang sedang mengelilingi menja makan saling berpandangan.
Ini masih jam setengah tujuh. Siapa tamu yang datang sepagi ini?
Seperti biasa, Namira akan berinisiatif ke depan. Jilbab instan selalu tergantung di gantungan baju di dapur. Dia sengaja menaruhnya di situ agar jika mendadak ada tamu, dia tinggal menyambarnya.
Perasaanku jadi tidak enak karena Namira tak kunjung kembali masuk. Dengan perasaan was-was, segera kususul dia ke depan.
Langkahku terhenti saat melihat dua perempuan saling berkacak pinggang di teras rumah.
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi
Untung semua file-file ijasah dan setifikat tersimpan rapi di laptop. Usai mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku bergegas pulang.Aku harus lebih dulu pulang sebelum Namira. Aku akan memarahinya karena meninggalkan rumah tanpa ijin. Apalagi tanpa membawa anak-anak serta. Bagaimana kalau ada yang menyangka Namira masih single lalu jatuh cinta padanya. Dia kalau tidak menggendong Dafi tentu saja tak kalah dengan perempuan berusia 27 tahun lainnya, yang orang bilang makin matang makin cantik!Aku sudah siap di beranda rumah saat mendengar suara mobil berhenti, disertai suara yang aku kenal. Anak-anak selalu berisik, dan juga istriku yang selalu bergerak sambil berbicara.“Dari mana saja kamu?” tanyaku saat Namira turun dari mobil. Tangannya satu membantu Dafa turun dari taksi online itu. Tangan satu lagi sibuk menurunkan tas gembolan dan beberapa tas lain dari mobil. Terakhir, dia menggendong Dafi. “Habis belanja,” jawabnya singkat.Benar juga. Tas belanjaan ditinggalkannya di la
“Kenapa mengalihkan pembicaraan?” Volume suara aku turunkan. Aku tak ingin membuat anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah mendekati kami karena penasaran. Jika iya, gagal sudah upayaku meninterogerasi Namira.“Siapa laki-laki yang mewawancaraimu tadi?” Aku menatap Namira yang duduk di ujung sana lekat. Aku harus tahu dia akan bekerja di mana dan dengan siapa. “Kamu tahu yang mewawancaraiku laki-laki?” Namira mengerutkan keningnya dan menatapku keheranan.Dia pikir aku lelaki bodoh? Aku mengangguk cepat sambil tersenyum miring. Dengan begini, dia akan tahu diri, siapa yang sedang dihadapinya ini. Reno Prasetio Wicaksono, bekas manajer marketing di perusahaan ternama.Meskipun hanya mantan manajer, aku punya pengalaman yang lebih banyak dibanding Namira. Jadi, jangan sekali-sekali meremehkan!“Namanya Haris." Dia menjawab, lalu mengambil nafas. "Dulu atasanku saat aku masih bekerja. Dan dia memintaku kembali bergabung di perusahaan tempat kami bekerja itu,” ujar Namira tenang.
Mumpung Namira belum mulai bekerja, Reno masih memanfaatkan kesempatan untuk tidak tinggal diam di rumah. Pria itu tetap berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan. Daripada ia harus mengasuh bocah, mendingan dia bekerja, itu prinsipnya.Sayangnya, nasib baik tak juga menghampirinya. Semua kawan sudah dihubungi, hasilnya nihil. Lamaran yang dikirimpun belum ada jawaban. “Kamu masih mau bertahan sama si Reno?” tanya Widya sambil mengawasi anak-anak bermain di taman kompleks. Hari itu Widya datang ke rumah Namira setelah Reno pergi.Pagi itu suasana kompleks tempat tinggal Namira lumayan sepi karena hari kerja. Anak-anak usia sekolah tentu saja tidak terlihat. Hanya mereka yang belum bersekolah yang ikut bergabung bermain di taman kompleks.Taman itu memang ditujukan untuk penghuni kompleks. Berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain tersedia di sana. Orang tua dan dewasa pun disediakan tempat duduk di sekeliling taman untuk menunggui buah hat
“Lembur sih setiap hari. Dia pulang di atas jam tujuh. Tapi, kan hasilnya dia naik jabatan lebih cepat dari Mas Burhan kan?” ujar Namira menceritakan kesibukan Reno sebelum dia naik jabatan. Namira memang pernah mengeluh, kenapa tiap hari pulang malam. Terutama setahun terakhir, apalagi setelah kelahiran Dafi. Tapi, Reno selalu beralasan banyak pekerjaan dan harus segera diselesaikan jika ingin cepat naik jabatan dan naik gaji. “Apa? Serius setiap hari lembur?” Widya hampir terlonjak kaget mendengar jawaban polos Namira. “Kenapa emang?” Namira balik menatap Widya dengan heran. “Suamiku nggak pernah lembur. Setiap hari pulang jam kerja biasa. Malah, katanya di kantor jarang ada lembur. Kalau pun ada, pas akhir bulan, rekapan bulanan. Atau akhir tahun. Nggak setiap hari juga, kali. Kantor bisa bangkrut bayarin lemburan kalau setiap hari,” jelas Widya panjang lebar. Namira terdiam. Benar juga apa kata Widya. Kenapa selama ini tidak berfikir sejauh itu? Apakah selama ini terlalu
Sepeninggal Namira, Reno segera mengunci pintu depan. Dafa dan Dafi segera disuruh duduk manis di atas karpet. Dia lalu menyalakan smart tivi yang terhubung dengan chanel anak-anak. Reno ingin bersantai dengan ponselnya mumpung Namira tidak di rumah. Selama Namira di rumah, dia harus menjaga image nya untuk tidak memegang ponsel, kecuali untuk hal yang penting dan mendesak.“Ayah, adik ek-ek!” seru Dafa sambil memencet hidungnya. Bocah tiga tahun itu mencium bau tidak sedap dari adiknya. Biasanya begitu tercium aroma yang khas dari adiknya, bundanya sudah mengangkat sang adik ke toilet. “Ayah!” Dafa kembali mengguncang-guncang bahu Reno yang masih asyik dengan ponselnya. “Iya. Biarin selesain dulu,” ujar Reno malas. Pandangannya tak lepas dari ponselnya karena dia sedang mencari lowongan pekerjaan. Belum genap dua minggu rasanya sudah jenuh di rumah. Dan sekarang, baru satu jam bersama anak-anak, rasanya jam berputar begitu lambatnya. “Ayah...! lihat! Ek-ek nya adik di karpet!” tun
“Reno, kok kamu di rumah? Namira mana?”Ibu mertuaku itu langsung memberondong pertanyaan. Matanya memindai setiap sudut rumah dari pintu masuk ruang tamu. Kedua tangannya membawa kantong kresek. Aku yakin itu pasti oleh-oleh. Mertuaku ini tak pernah datang dengan tangan kosong. “Bunda kerja, Nek!” Aku kalah cepat. Dafa sudah menyahut sambil mendongakkan kepalanya, menatap neneknya yang masih berdiri di ampang pintu.Duh! Anak ini pake ngaku kalau bundanya sudah kerja. Dimanapun, anak kecil memang selalu jujur.“Namira kerja?” Tatapan mata ibu mertua berpindah kepadaku. Biasanya, neneknya anak-anak ini padahal langsung sibuk dengan cucu-cucunya setiap datang. Kini, malah seolah ingin menginterogerasiku. Ada rasa bersalah menyelinap atas pertanyaan ibu mertua. Tampak sekali aku menjadi menantu yang tak becus, hingga Namira yang dulu aku paksa berhenti kerja kini harus kembali bekerja. Masih ingat saat aku meminta Namira berhenti kerja dan fokus mengurus anak-anak, ibu mertuaku yang