“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku.
Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah.
“Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian.
“Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung.
Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini.
“Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelumnya dia adalah sahabat dekatku.
“Kasihan keluargamu? Kamu masih ingat keluarga saat berdua dengannya?” telunjuk Burhan menunjuk Vania yang sedang menatap ke arah kami. Seketika Vania langsung menunduk saat menyadari dirinya dibicarakan oleh Burhan.
“Justru aku menemuinya karena keluargaku, Han. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Vania agar dia tidak mengangguku lagi,” ujarku berusaha meyakinkannya.
“Terlambat! Nikmati saja buah yang akan kau petik,” ujarnya pedas sambil melangkah cepat meninggalkanku.
“Han…Han…tunggu!”
Burhan sama sekali tak mendengarkan panggilanku. Bahkan, Reza yang biasanya hormat padaku, kini menatapku dengan tatapan mengejek! Hancur sudah karirku!
“Van, sebaiknya kamu pulang. Jangan sampai ada yang melihat kita berdua lagi. Satu lagi, ganti foto profilmu itu!” ujarku memberi peringatan pada Vania.
“Jangan mengancam. Ini semua gara-gara kamu. Kalau kamu ngga sok-sokan posting di status, semua akan baik-baik saja,” sungutnya.
“Siapa yang sok-sokan? Justru kalau kamu ngga minta dikirim foto saat aku rapat, pasti ini semua tidak akan terjadi,” ujarku membela diri.
Kami terdiam.
Kami memang tak ada yang benar dalam kasus ini.
Tapi, aku hanya memintanya pengertian sedikit terhadap posisiku.
Dia enak, masih single, masih muda. Masih bisa cari pekerjaan baru.
Sedangkan aku?
Karirku hancur. Istri mengancam minta cerai, habis sudah semuanya. Mana rumah cicilan belum lunas. Pusing kepalaku!
“Baik. Aku aku akan mengganti foto profilku, tapi syaratnya, segera kamu kasih nomor barumu. Ingat, kamu harus bertanggung jawab sampai aku mendapat pekerjaan yang baru. Aku kehilangan pekerjaan gara-gara kamu!” hardik gadis yang kemarin-kemarin aku kagumi.
Dan kini dia berubah beringas seperti singa!
Vania berdiri, lalu beranjak meninggalkanku.
Sementara, aku hanya bisa mengacak rambutku frustasi.
Bagaimana bisa aku bertanggung jawab kepadanya, sementara aku tidak ada ikatan dengannya, melakukan apa-apa dengannya pun tak pernah.
Kami hanya dekat. Hanya foto bersama. Lalu salahku dimana?
Padahal yang nasibnya di ambang kehancuran tak hanya dia.
Apa Vania tidak memikirkan nasibku? Aku bahkan diancam akan dipecat. Kehilangan pekerjaan. Lalu menafkahi keluargaku bagaimana? Membayar cicilan hutang bagaimana?
Memikirkan ini semua, kepalaku rasanya mau pecah!
Aku memutuskan segera pulang, setelah tak lupa mampir ke konter ponsel untuk membeli ponsel dan nomor baru. Nomor yang khusus untuk Vania karena aku tak mau salah posting lagi jika harus menghubunginya.
Semua kontak dan foto-foto bersamanya sudah kuhapus di ponsel yang lama.
Aku harus terlihat serius memperbaiki hubunganku dengan Namira di hadapan orang tua dan mertuaku.
Kupacu mobilku arah pulang. Aku harus segera tiba di rumah. Kalau bisa, sebelum Namira dan anak-anak pulang.
Jangan sampai Namira mengetahui kalau Burhan memergokiku bertemu dengan Vania.
Lebih baik aku segera tiba di rumah dan berjaga-jaga agar Namira tidak menerima panggilan telepon dari manapun.
“Ayah!”
Baru aku membuka pintu pagar, anak sulungku sudah berlari menghampiriku. Bajunya sudah baju rumah. Artinya, dia sudah pulang sedari tadi.
“Kok meetingnya cepet?” tanya Namira saat aku mencuci tangan di wastafel dapur. Rupanya Namira sudah asyik memasak.
Aku sering heran, perempuan yang kunikahi ini tak pernah kulihat santai-santai. Pusing aku melihatnya.
Habis masak, mandiin anak, terus nyuapin, beres-beres, main sama anak, nanti ketemu masak lagi. Begitu terus.
Bahkan, kalau aku di rumah, aku pun turut jadi korban. Minta tolong ini dan itu.
Makanya, aku lebih suka pulang malam saja. Saat anak-anak sudah beres, tinggal tidur. Kalau tidak, pasti dia bakal nitip nyuruh aku main sama anak-anak.
Bayangin, main sama anak-anak itu capek. Nggak bisa disambi baca chatingan, atau buka sosmed. Yang ada malah ponselku dipake mainan anak-anak.
Belum lagi, Namira sangat galak dengan ponsel. Aku tak boleh main ponsel saat sedang sama anak-anak.
“Ditanya kok diam saja?” Suara wanita gesit itu membuyarkan lamunanku.
Aku segera menoleh ke arahnya yang sedang mengganti panci di atas kompor dengan penggorengan.
Raut muka Namira masih dingin tanpa ekspresi.
Padahal, biasanya tiap aku pulang kerja dia suka bergelayut manja dulu sebelum akhirnya berjibaku lagi dengan pekerjaannya, beres-beres, hingga rumahku terasa selalu nyaman.
“I--Iya. Sudah selesai,” ujarku setengah tergagap.
Memang kenyataannya aku meeting dengan Vania dan sudah selesai bukan?
“Jadi kamu sudah menjauhinya? Tak lagi berhubungan dengannya?” tanya Namira sambil pandangannya tetap fokus ke ayam di penggorengan.
Mendengar pertanyaannya mataku melebar.
Apa maksudnya? Jangan-jangan, Burhan sudah mengatakannya pada Namira? Kenapa kini istriku penuh dengan teka-teki?
Baru dua hari, tapi dia sudah berubah begitu menyeramkan.
“Tentu saja aku sudah tak berhubungan lagi dengannya. Lihat, nomornya sudah kublokir. Dia tak akan bisa menghubungiku lagi,” ujarku sambil meletakkan ponsel di meja makan.
Ini hanya taktik agar dia mempercayaiku.
Namira orangnya tidak kepo, dan ingin mengecek ponselku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya.
Namira menatap ponsel di atas meja itu sekilas saat dia meletakkan mangkuk sayuran dan sepiring lauk pauk di meja makan.
“Terus yang tadi seharga lima juta beli apa?” ucapnya datar, sambil meletakkan piring makan.
Mataku membulat sempurna. Lima juta? Dari mana dia tahu harga ponsel terbaru yang tadi aku beli?
Berulang aku mencuri pandang ke wanita yang telah memberiku dua anak itu. Dia tampak tenang dan kalem. Ada apa ini?
Bersambung
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi
Untung semua file-file ijasah dan setifikat tersimpan rapi di laptop. Usai mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku bergegas pulang.Aku harus lebih dulu pulang sebelum Namira. Aku akan memarahinya karena meninggalkan rumah tanpa ijin. Apalagi tanpa membawa anak-anak serta. Bagaimana kalau ada yang menyangka Namira masih single lalu jatuh cinta padanya. Dia kalau tidak menggendong Dafi tentu saja tak kalah dengan perempuan berusia 27 tahun lainnya, yang orang bilang makin matang makin cantik!Aku sudah siap di beranda rumah saat mendengar suara mobil berhenti, disertai suara yang aku kenal. Anak-anak selalu berisik, dan juga istriku yang selalu bergerak sambil berbicara.“Dari mana saja kamu?” tanyaku saat Namira turun dari mobil. Tangannya satu membantu Dafa turun dari taksi online itu. Tangan satu lagi sibuk menurunkan tas gembolan dan beberapa tas lain dari mobil. Terakhir, dia menggendong Dafi. “Habis belanja,” jawabnya singkat.Benar juga. Tas belanjaan ditinggalkannya di la
“Kenapa mengalihkan pembicaraan?” Volume suara aku turunkan. Aku tak ingin membuat anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah mendekati kami karena penasaran. Jika iya, gagal sudah upayaku meninterogerasi Namira.“Siapa laki-laki yang mewawancaraimu tadi?” Aku menatap Namira yang duduk di ujung sana lekat. Aku harus tahu dia akan bekerja di mana dan dengan siapa. “Kamu tahu yang mewawancaraiku laki-laki?” Namira mengerutkan keningnya dan menatapku keheranan.Dia pikir aku lelaki bodoh? Aku mengangguk cepat sambil tersenyum miring. Dengan begini, dia akan tahu diri, siapa yang sedang dihadapinya ini. Reno Prasetio Wicaksono, bekas manajer marketing di perusahaan ternama.Meskipun hanya mantan manajer, aku punya pengalaman yang lebih banyak dibanding Namira. Jadi, jangan sekali-sekali meremehkan!“Namanya Haris." Dia menjawab, lalu mengambil nafas. "Dulu atasanku saat aku masih bekerja. Dan dia memintaku kembali bergabung di perusahaan tempat kami bekerja itu,” ujar Namira tenang.
Mumpung Namira belum mulai bekerja, Reno masih memanfaatkan kesempatan untuk tidak tinggal diam di rumah. Pria itu tetap berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan. Daripada ia harus mengasuh bocah, mendingan dia bekerja, itu prinsipnya.Sayangnya, nasib baik tak juga menghampirinya. Semua kawan sudah dihubungi, hasilnya nihil. Lamaran yang dikirimpun belum ada jawaban. “Kamu masih mau bertahan sama si Reno?” tanya Widya sambil mengawasi anak-anak bermain di taman kompleks. Hari itu Widya datang ke rumah Namira setelah Reno pergi.Pagi itu suasana kompleks tempat tinggal Namira lumayan sepi karena hari kerja. Anak-anak usia sekolah tentu saja tidak terlihat. Hanya mereka yang belum bersekolah yang ikut bergabung bermain di taman kompleks.Taman itu memang ditujukan untuk penghuni kompleks. Berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain tersedia di sana. Orang tua dan dewasa pun disediakan tempat duduk di sekeliling taman untuk menunggui buah hat
“Lembur sih setiap hari. Dia pulang di atas jam tujuh. Tapi, kan hasilnya dia naik jabatan lebih cepat dari Mas Burhan kan?” ujar Namira menceritakan kesibukan Reno sebelum dia naik jabatan. Namira memang pernah mengeluh, kenapa tiap hari pulang malam. Terutama setahun terakhir, apalagi setelah kelahiran Dafi. Tapi, Reno selalu beralasan banyak pekerjaan dan harus segera diselesaikan jika ingin cepat naik jabatan dan naik gaji. “Apa? Serius setiap hari lembur?” Widya hampir terlonjak kaget mendengar jawaban polos Namira. “Kenapa emang?” Namira balik menatap Widya dengan heran. “Suamiku nggak pernah lembur. Setiap hari pulang jam kerja biasa. Malah, katanya di kantor jarang ada lembur. Kalau pun ada, pas akhir bulan, rekapan bulanan. Atau akhir tahun. Nggak setiap hari juga, kali. Kantor bisa bangkrut bayarin lemburan kalau setiap hari,” jelas Widya panjang lebar. Namira terdiam. Benar juga apa kata Widya. Kenapa selama ini tidak berfikir sejauh itu? Apakah selama ini terlalu
Sepeninggal Namira, Reno segera mengunci pintu depan. Dafa dan Dafi segera disuruh duduk manis di atas karpet. Dia lalu menyalakan smart tivi yang terhubung dengan chanel anak-anak. Reno ingin bersantai dengan ponselnya mumpung Namira tidak di rumah. Selama Namira di rumah, dia harus menjaga image nya untuk tidak memegang ponsel, kecuali untuk hal yang penting dan mendesak.“Ayah, adik ek-ek!” seru Dafa sambil memencet hidungnya. Bocah tiga tahun itu mencium bau tidak sedap dari adiknya. Biasanya begitu tercium aroma yang khas dari adiknya, bundanya sudah mengangkat sang adik ke toilet. “Ayah!” Dafa kembali mengguncang-guncang bahu Reno yang masih asyik dengan ponselnya. “Iya. Biarin selesain dulu,” ujar Reno malas. Pandangannya tak lepas dari ponselnya karena dia sedang mencari lowongan pekerjaan. Belum genap dua minggu rasanya sudah jenuh di rumah. Dan sekarang, baru satu jam bersama anak-anak, rasanya jam berputar begitu lambatnya. “Ayah...! lihat! Ek-ek nya adik di karpet!” tun
"Jadi, nggak masalah ya, nanti kami lahiran di bidan?" tanya Reno pada dokter kandungan saat periksa terakhir. "Insyaalloh, nggak papa. Ibunya sehat, bayinya sehat," ucap dokter berhijab yang masih terlihat cantik di usia kepala empat. "Malah, banyak bidan yang lebih pengalaman dari dokter spasialis." Sang dokter memberikan beberapa rekomendasi bidan, tempat rencana bersalin. "Nggak papa, kan, Dik, kamu lahiran di Bidan?" tanya Reno saat survey beberapa bidan yang direkomendasikan dokter, mertua dan juga beberapa teman yang domisili tak jauh dari mereka. "Dari dulu, aku kan nggak nuntut kamu apa-apa, Mas. Yang penting kamu tahu kewajibanmu dan sayang sama keluarga," ucap wanita yang perutnya sudah membuncit. Sebenarnya Namira tahu, yang berat dia lahiran di Bidan adalah Reno sendiri. Suaminya itu punya gengsi selangit. Meskipun sudah sering dijelaskan, namun, kalau masukan bukan dari orang yang dipercayanya, akan hanya menjadi angin lalu. Bahkan, meski dokter kandungan pun s
Meski kesal, Meira akhirnya setuju melakukan transaksi dengan bantuan Irma. Namun, tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu ingin membeli semua unit. Setelah Hamdani membaliknamakan kepemilikan aset ke atas nama mantan isterinya, pria itu juga menyarankan untuk membeli satu per satu saja. Rumah yang ditinggali Meira pun disarankan untuk dilepas. Karena biaya perawatannya juga lebih mahal, dibanding uang yang dimilikinya. Nanti. hasilnya Meira bisa membeli rumah yang lebih kecil dan membeli property lain untuk disewakan. Ternyata, menjadi janda dengan banyak aset, tak sebahagia yang Meira bayangkan. Bahkan, yang mendekatinya justru rata-rata pria hidung belang, atau brondong yang hanya peduli pada hartanya. Sementara, pria seperti Reno yang diincarnya, bahkan lebih memilih menghindar. Bahkan, nominal uang yang pernah ditransfernya sebagai bonus, dengan maksud mengambil hati Reni, sudah ditransfer balik.Saat Meira berusaha menemui di kantor, ada saja alasan Reno untuk melimpahkan
Namira sebenarnya mempercayai ucapan suaminya. Hanya saja, dia ingin ketegasan. Agar suaminya itu benar-benar menghindar dari hal-hal yang memang remang-remang. Bukan karena tawaran yang menggiurkan, membuatnya terjerembab. "Gimana, suamimu?" Belum juga Namira duduk, Haris sudah menghampirinya. Seperti biasa, Namira datang lebih pagi. Karena naik kereta, dia tak mau berjubel jika berangkat bersamaan dengan para pekerja lainnya. "Biasa aja," sahut Namira sekedarnya. Dia sebenarnya malas dengan perhatian Haris yang sering berlebihan. "Sudahlah, kamu terima saja tawaranku. Mumpung belum ada yang isi lho." Haris menatap Namira, menunjukkan keseriusannya. Dia sudah menduga, masalah suami Namira, pasti tak jauh dari wanita. Padahal istrinya tak kurang cantik dan baik, batin Haris. "Bukan belum ada. Tapi, kamu sengaja nggak nawari ke siapa-siapa," sahut Namira. "Nah, itu tahu." Haris tersenyum puas. Dalam hati, dia masih berharap Reno akan menerima tawarannya, bagaimanapun caranya. **
"Ingat ya, aku akan mencabut hak pembagian harta gono-gini." Hamdani berucap dengan geram. Hamdani tak main-main. Sebagai pengusaha, dia kenal banyak pengacara hebat. Berbisnis tak sedikit yang harus menyelesaikan masalah kadang hingga ke meja hijau jika tak menemui titik temu. Meira mendapat pembagian harta karena memang di perjanjian pra-nikah, Hamdani berjanji tidak menambah istri lagi. Ternyata, di tengah pernikahannya, pria itu terpikat dengan wanita lain dan ingin mengambil pendamping.Meira tidak setuju. Sementara sebagai istri kedua saja, Hamdani jarang bermalam di rumahnya. Pria itu lebih mementingkan istri tua. Apa kabarnya kalau pria itu punya istri baru. "Kalau Mas sampai berani, lihat saja. Aku akan kasih tahu Mbak Rumi kalau Mas Hamdani nikah lagi." Meira tahu, kalau Hamdani sangat takut dengan istri pertamanya itu. Istri yang mendampingi dari nol itu, kalau kata Hamdani, meski cinta sudah pudar, tapi sayang tetap ada. Dia bak nyawa baginya. Tanpa Rumi, hidupnya akan
Hari sudah menjelang jam pulang kerja. Kesibukannya membuatnya lupa tentang Namira yang terlihat di depan rumah Meira tadi siang. Mendadak Reno merasa tak tenang. Kira-kira apa yang ada dipikiran istrinya itu tentang kejadian yang dilihatnya tadi? Ragu Reno hendak menghubungi istrinya, sekedar bertanya, apakah perlu dijemput di tempat biasa? Tapi, bukannya siang tadi istrinya ada di dekat rumah Meira. Artinya, dia sedang tidak ke kantor, bukan? Reno semakin bimbang. Kalau dia tidak bertanya, atau pura-pura tidak tahu, ya kalau Namira akan ada di stasiun, kalau tidak? "Jemput, tidak?" Saat masih bimbang, sebuah pesan masuk. Meskipun tanpa emotikon, kenapa perasaan Reno nggak enak. "Iya, jemput tempat biasa." Reno mencoba menenangkan diri, berharap tadi siang bukan Namira. Hanya halusinasinya saja. Reno tak menunggu jawaban dari istrinya. Dia langsung pamit pada Dimas dan Sisy yang masih sibuk beres-beres kantor, sebelum mereka pulang. Benar juga, Namira menunggunya di te
Wajah Reno ditekuk saat dia masuk ke kantor. Sisy yang sedang fokus menghitung anggaran tak berani menyapa. Tak lama, Galih dan Andre datang. "Gimana, Bos? Jadi, nggak?" Pria itu sudah menyiapkan data-data yang diperlukan untuk urusan akta jual beli. Hanya perlu data si pembeli saja yang belum. Sementara Andre hendak menagih berkas pengajuan kredit pembelian rumah. "Kayaknya, gue mau lepas klien ini," ucap Reno sambil meneguk air mineral yang baru saja di ambil dari pantry. "Gila, kamu, Bos. Kenapa dilepas?" Galih yang sudah membayangkan dapat komisi, jadi senewen. Mata Reno menatap tajam pada dua pria seumuran yang ada di depannya. Meski baru kenal karena pekerjaan, mereka cepat akrab. Ketiganya masih satu frekuensi. "Rumit!" "Iya, rumit. Semua pekerjaan juga rumit, Bos. Kita bikin mudah aja." Andre menimpali. Dia sudah biasa menghadapi klien dengan beragam problem. "Mendingan gue dapat klien yang lain. Gue kapok sama yang ini." "Yaelah, Bro. Emang namanya bisnis, se
Reno menghentikan mobilnya di salah satu pusat digital printing yang ada di kawasan ruko tak jauh dari tempat tinggal Meira. Tas milik Meira yang berisi dokumen, dijinjing oleh Reno masuk ke ruangan berpendingin itu. "Minta dikopi masing-masing satu saja, Mas," titah Reno pada petugas fotokopi setelah mengeluarkan tas. Dengan cekatan petugas fotokopi itu menyelesaikan tugasnya. "Di depan ada restoran enak. Kita makan dulu, ya Pak Reno."Mata Reno hampir saja melotot menahan kesal. Dia masih banyak pekerjaan. Bukan seorang pengangguran yang kapan saja bisa diajak santai. Kenapa Meira memperlakukannya seperti ini. Andai Reno tak ingat pesan Firman, dalam bisnis harus luwes, ingin rasanya dia memaki. "Sabar, Bro. Kalau kelas kakap memang harus begitu." Demikian Firman menasehati. "Bro, sebaiknya kita mempekerjakan tenaga Marketing lepas aja, atau subcontract dengan marketing property," usul Reno suatu saat. "Bisa saja kita subs-kan. Tapi, marginnya besar. Kalau kamu masih bisa han
Meski fisiknya di kantor, tapi pikiran Namira masih tertuju pada slip transfer sejumlah uang dari seorang wanita pada suaminya. Sebenarnya, itu akan wajar jika Reno langsung berterus terang kepadanya. Yang menjadi masalah, suaminya seolah menyembunyikan sesuatu. "Kenapa, Mir? Melamun saja aku perhatiin?" tanya Meysa, rekan kerja sekaligus sekretaris Haris yang meja kerjanya tak jauh dari Namira. "Hari ini, bapak banyak kerjaan penting nggak, Mbak? Aku kayaknya mau izin," ucap Namira seraya menghampiri Meysa. Namira sudah biasa mengintip jadwal Haris dari komputer Meysa. "Sepertinya hanya pekerjaan rutin saja. Nggak ada meeting." Meyra menunjukkan jadwal Haris pada Namira. Buru-buru Namira minta izin pada Haris. "Ada apa lagi?" tanya Haris. Wajah itu terlihat cemas saat melihat Namira yang tak biasa. Meski di perjanjian awal Namira minta sewaktu-waktu bisa izin, nyatanya selama ini, Namira tak pernah menggunakan dispensasi itu. Kenapa mendadak ia izin?"Ada urusan penting." "Apa
"Pak Reno, tolong bapak ambil dokumen ke rumah saya." Mata Reno membulat membuka pesan dari Meira. Wanita itu berani memerintahnya? Padahal dia bukan siapa-siapanya. Apa karena uang komisi dua digit, membuatnya bak laksana pesuruh, batin Reno. Hari masih pagi. Reno masih hendak sarapan dengan Namira. Sekilas Reno melihat sarapan yang cukup istimewa. Roti panggang isi sosis dan sepiring omelet serta kopi. Sebelumnya, Namira hanya menyediakan roti dengan olesan misis. "Sebaiknya ibu kirim orang saya. Pak Ali kan bisa untuk antar dokumen." Reno mulai merasa harus bersikap tegas. "Tapi, saya belum percaya sepenuhnya sama Ali. Dokumen itu terlalu berharga kalau dibawa oleh seorang supir." "Anda sendiri yang harusnya datang. Pertemuan hari ini cukup penting." Reno sudah menjadwalkan pertemuan dengan tim notaris dan juga bagian pembiayaan untuk memastikan semua pihak sepakat. "Cukup Pak Reno saja yang mewakili. Toh, saya yakin, pertemuan pertama masih pengecekan ini dan itu. Belum