“Vania, kenapa kamu pasang foto itu di profilmu?” tanyaku ke Vania dengan nada marah. Padahal selama ini aku tak pernah marah padanya.
“Kenapa? Bukannya semua sudah tahu? Sudah tak ada yang disembunyikan lagi? Ingat, Mas, kamu sudah menghancurkan masa depanku. Jadi kamu harus bertanggung jawab dengan masa depanku,” ucapnya panjang lebar.
Aku mengacak rambutku frustasi. Kesal dan dongkol bukan main. Harusnya Vania menolongku. Bukan malah memperburuk keadaan.
“Aku harus menyelesaikan urusanku dengan keluargaku. Istriku hampir minta cerai. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu.” Aku mencoba memberinya peringatan.
“Oh, bukannya itu bagus. Bukannya Mas bilang padaku waktu itu, kalau Mas sudah bosan padanya?”
“Jaga mulutmu! Meskipun aku bosan, sampai mati aku tetap mempertahankannya!”
Baru saja aku menutup mulutku, Namira sudah berdiri di belakangku saat tak sengaja aku menoleh ke samping.
Astaga! Jangan-jangan dia mendengarkan percakapanku.
Melihatku menoleh, dia langsung berpaling, dan kembali masuk ke kamar.
Ya Tuhan. Sepertinya hari ini adalah puncak kesialanku.
Sudah aibku terlihat ke seluruh nusantara. Bahkan, kini Namira pun mendengarkan kata-kata busuk yang sering aku keluhkan pada Vania.
Segera kututup sepihak panggilan telepon itu. Dan kumatikan ponselku.
Aku tak ingin Namira sampai melaporkan ke orang tuanya dan orang tuaku kalau aku masih menelpon Vania.
Bisa-bisa, aku benar-benar disuruh pisah dengan Namira.
Tidak. Aku tidak bisa. Aku mencintai Namira. Aku hanya khilaf saja.
Semalaman Namira tidur memunggungiku dan memberi sekat guling di antara kami. Ini baru pertama dalam sejarah hidupku bersamanya.
Biasanya, dia akan minta aku memeluknya sampai pagi.
Ah! Aku bahkan tak bisa tidur karena guling hidup yang biasa kupeluk kini mendiamkanku.
Padahal, biasanya aku baru bisa tidur setelah mengendus aroma rambutnya yang lembut dan wangi.
Pagi-pagi, Namira seperti biasa sudah menyiapkan sarapan.
Dia tak mengubah jadwalnya. Hanya saja tampangnya yang tetap dingin padaku.
Untungnya, anak-anak tak merasakan perubahan itu. Dafa dan Dafi tetap hangat padaku.
“Ayah nggak kerja?” tanya Dafa.
Anak itu sudah duduk di kursi makan dan siap melahap nasi gorengnya. Rupanya Dafa menyadari karena aku tak memakai baju kerja.
Mendengar pertanyaan Dafa, Namira menatap ke arahku.
Namira memang tidak tahu kalau aku tidak kerja. Dia masih menyiapkan baju kerjaku di atas kasur. Tapi, dia tak bertanya. Diam seribu Bahasa.
“Ayah mau main sama Dafa hari ini,” jawabku sambil menoel hidung anak sulungku ini.
Bocah tiga tahun itu tersenyum kegirangan.
“Asyik…Ayah di rumah. Tapi kata Bunda, kalau Ayah nggak kerja, kita nggak punya uang. Kita nggak bisa makan,” ujar Dafa lagi.
Senyum girangnya berubah menjadi murung.
Aku menatapnya sambil tersenyum. Meski perih dalam hatiku.
Bagaimana kalau aku sampai dipecat? Tiba-tiba pikiran itu menghantuiku. Habislah riwayatku.
Mencari pekerjaan sekarang susahnya bukan main. Apalagi kalau sampai kantor mengeluarkan rekomendasi yang buruk terhadapku.
Baru aku akan menyendok nasi goreng di hadapanku, ponsel yang aku taruh di kamar meraung-raung.
Aku dan Namira saling bertatapan. Biasanya, Namira akan sigap mengambilkannya untukku.
Tapi, aku tiba-tiba ketakutan kalau telepon itu dari Vania, dan dia menampilkan gambar profil yang seperti semalam.
Tergesa aku bangkit dari kursi untuk mengambil ponsel di kamar.
Di layar tertera nama Pak Hanafi, manajer HRD di kantor.
Ada apa gerangan? Apakah secepat ini sudah diputuskan?
“Kemarin siang kami sudah rapat, dan hasilnya sudah keluar. Bahwa jabatan Pak Reno sebagai manajer akan diganti oleh orang lain sementara hingga nanti ada pelantikan pejabat baru. Sementara posisi Pak Reno akan dikembalikan menjadi staf. Dan Pak Reno silahkan masuk kembali ke kantor satu minggu lagi, menunggu suasana kantor kondusif untuk bapak.”
Suara Pak Hanafi mendadak membuatku lemas.
Aku kembali jadi staf. Padahal, baru sebulan aku naik jabatan. Bukan perkara uangnya. Tapi perkara mukaku akan ditaruh dimana?
“Ehheemmm!”
Suara Namira mendehem, sontak membuyarkan lamunanku.
Rupanya, dia menatapku tajam sedari tadi.
Namira belum tahu kalau aku diturunkan dari jabatan.
Sebaiknya aku tak usah bilang. Aku juga tak usah bilang kalau aku kena skorsing.
Sebaiknya aku akan mengaku kalau aku sedang cuti saja.
Kalau dia sampai tahu aku kena hukuman di kantor, bisa panjang urusanku.
“Jadi kamu nggak ke kantor?” tanya Namira setelah selesai makan.
Aku risih dia menyebutku ‘kamu’. Tapi, mau gimana lagi, ini memang salahku.
Semoga tak akan lama. Semoga dia akan kembali hangat seperti hari-hari lalu.
“Soalnya aku ada janji mau pergi,” sambungnya sambil membereskan sisa makanan di meja makan.
“Kamu mau pergi kemana?” tanyaku.
Selama ini, aku tak pernah tahu aktivitasnya selama aku bekerja.
“Ada janji playdate dengan anaknya Widya,” jawabnya.
“Widya? Widya siapa?” Tiba-tiba aku merasa tak tenang dengan nama yang disebutkannya.
Setahuku, satu-satunya Widya yang dikenal Namira adalah….
“Istrinya Burhan. Siapa lagi?” jawabnya datar, seolah mampu membaca pikiranku.
Oh tidak! Mati aku! Burhan adalah teman kantorku. Temanku satu divisi. Aku naik jabatan, dia tidak. Dan kabarnya, malah dia yang akan menempati posisiku saat ini.
Bagaimana kalau Widya sampai menceritakan pada Namira kalau aku sedang diskorsing dan jabatanku bahkan diturunkan?
Bersambung
“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar. “Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan. Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah. Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku. “Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk. Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby. “Eh....ehhh...pap...pap...” Aku menoleh ke Dafi yan
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. “Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. “Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. “Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelu
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi
Untung semua file-file ijasah dan setifikat tersimpan rapi di laptop. Usai mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku bergegas pulang.Aku harus lebih dulu pulang sebelum Namira. Aku akan memarahinya karena meninggalkan rumah tanpa ijin. Apalagi tanpa membawa anak-anak serta. Bagaimana kalau ada yang menyangka Namira masih single lalu jatuh cinta padanya. Dia kalau tidak menggendong Dafi tentu saja tak kalah dengan perempuan berusia 27 tahun lainnya, yang orang bilang makin matang makin cantik!Aku sudah siap di beranda rumah saat mendengar suara mobil berhenti, disertai suara yang aku kenal. Anak-anak selalu berisik, dan juga istriku yang selalu bergerak sambil berbicara.“Dari mana saja kamu?” tanyaku saat Namira turun dari mobil. Tangannya satu membantu Dafa turun dari taksi online itu. Tangan satu lagi sibuk menurunkan tas gembolan dan beberapa tas lain dari mobil. Terakhir, dia menggendong Dafi. “Habis belanja,” jawabnya singkat.Benar juga. Tas belanjaan ditinggalkannya di la
“Kenapa mengalihkan pembicaraan?” Volume suara aku turunkan. Aku tak ingin membuat anak-anak yang sedang bermain di ruang tengah mendekati kami karena penasaran. Jika iya, gagal sudah upayaku meninterogerasi Namira.“Siapa laki-laki yang mewawancaraimu tadi?” Aku menatap Namira yang duduk di ujung sana lekat. Aku harus tahu dia akan bekerja di mana dan dengan siapa. “Kamu tahu yang mewawancaraiku laki-laki?” Namira mengerutkan keningnya dan menatapku keheranan.Dia pikir aku lelaki bodoh? Aku mengangguk cepat sambil tersenyum miring. Dengan begini, dia akan tahu diri, siapa yang sedang dihadapinya ini. Reno Prasetio Wicaksono, bekas manajer marketing di perusahaan ternama.Meskipun hanya mantan manajer, aku punya pengalaman yang lebih banyak dibanding Namira. Jadi, jangan sekali-sekali meremehkan!“Namanya Haris." Dia menjawab, lalu mengambil nafas. "Dulu atasanku saat aku masih bekerja. Dan dia memintaku kembali bergabung di perusahaan tempat kami bekerja itu,” ujar Namira tenang.
Mumpung Namira belum mulai bekerja, Reno masih memanfaatkan kesempatan untuk tidak tinggal diam di rumah. Pria itu tetap berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan. Daripada ia harus mengasuh bocah, mendingan dia bekerja, itu prinsipnya.Sayangnya, nasib baik tak juga menghampirinya. Semua kawan sudah dihubungi, hasilnya nihil. Lamaran yang dikirimpun belum ada jawaban. “Kamu masih mau bertahan sama si Reno?” tanya Widya sambil mengawasi anak-anak bermain di taman kompleks. Hari itu Widya datang ke rumah Namira setelah Reno pergi.Pagi itu suasana kompleks tempat tinggal Namira lumayan sepi karena hari kerja. Anak-anak usia sekolah tentu saja tidak terlihat. Hanya mereka yang belum bersekolah yang ikut bergabung bermain di taman kompleks.Taman itu memang ditujukan untuk penghuni kompleks. Berbagai permainan anak-anak seperti ayunan, prosotan, jungkat-jungkit, dan lain-lain tersedia di sana. Orang tua dan dewasa pun disediakan tempat duduk di sekeliling taman untuk menunggui buah hat