Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku.
Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.
“Reno, keluar kamu!”
Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini?
Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku.
Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?
Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.
Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saudara datang. Anak-anak biasa main di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga yang tak terlalu besar ini.
Kemana anak-anak? Gumanku.
Di ruang tamu sudah duduk papa dan mamaku. Papa menatapku dengan tajam. Sementara, tatapan mama lebih tajam lagi.
Aku semakin salah tingkah saat tak lama Namira keluar dengan membawa teh panas.
“Anak-anak mana, Dek?” tanyaku pada Namira.
Ini salah satu taktik agar kedua orang tuaku melunak. Mereka tak suka bikin keributan di depan cucu-cucunya.
“Ngapain kamu tanya anak-anakmu? Saat kamu gatal berduaan dengan gadis itu, apa kamu ingat anakmu, ha?” hardik mama tanpa basa-basi.
“Mama!” gumanku nyaris tak terdengar.
Kutatap Namira yang tampak biasa saja. Entah apa yang ada dalam benaknya. Dia tak tampak kaget sedikitpun. Apa dia benar-benar sudah mengetahui?
Papa masih diam seribu bahasa. Tapi, lelaki yang selama ini paling kuhormati itu tetap menatap tajam ke arahku hingga membuatku tak berkutik.
Tak lama, deru mobil berhenti di depan rumah terdengar lagi.
Jantungku berdegup lebih kencang, begitu aku tahu siapa yang memasuki pagar rumahku.
Mas Bram, kakak sulung Namira, beserta ibu dan ayah mertuaku. Matilah aku!
Langkah ibu mertuaku lebar-lebar, seolah tak sabar ingin masuk ke dalam rumahku. Begitu juga ayah mertua dan kakak iparku yang mengikuti di belakangnya.
Kutatap lagi Namira yang tergopoh ke depan rumah menyambut orang tua dan kakaknya. Mereka lalu berpelukan di teras rumah.
“Assalamualaikum...” sapa ibu pendek.
Biasanya ibu mengucap salam dengan lemah lembut.
“Bagus! Kamu sudah di rumah!” Bibir ibu mertuaku sampai bergetar saat berkata. Telunjuknya lurus menunjuk ke wajahku.
Bahkan, tanganku yang hendak bersalaman dengannya saja ditepiskannya.
Hancur terasa duniaku.
Sementara Namira kembali masuk ke dapur dan sibuk dengan teh panasnya.
Dia keluar lagi dengan tiga cangkir teh panas. Entah apa yang ada dalam benak perempuan yang telah setengah kukhianati.
Catat ya. Aku tak benar-benar mengkianatinya. Aku hanya dekat saja dengan stafku. Bukan selingkuh!
“Kita sekarang sudah berkumpul. Coba sekarang kamu jelaskan. Apa maksud status WAmu tadi pagi, ha?” Suara papaku terdengar parau.
Aku tahu papa jarang marah. Beliau hanya marah jika kesalahan kami, anak-anaknya, sudah fatal dan tak termaafkan.
Aku terdiam. Sejenak berfikir kata-kata yang pas dan tidak menimbulkan kemarahan mereka.
Semua mata memandangku dengan sorot kemarahan. Mereka seperti hendak menelanku bulat-bulat.
Hanya Namira yang tak menatapku dengan kemarahan. Dia justru hanya memperlihatkan muka tanpa ekspresi. Tapi itu sungguh menakutkan.
“Itu hanya salah paham, Pa, Ma, Yah, Ibu, dan Mas.” Aku menyebut mereka satu persatu. Agar mereka merasa keberadaannya aku akui.
“Salah paham apa maksudmu. Yang jelas!” Ayah mertuaku sudah tak sabar.
“Salah posting, Yah. Reno tak bermaksud memposting di status....” ujarku menggantung.
“Lalu?” Mama langsung menyela.
“Mau Reno kirim foto itu ke Vania, tapi sal…”
“Oh, jadi selingkuhanmu itu namanya Vania?” Ibu mertuaku langsung menyahut sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
“Ibu, Reno tidak selingkuh!” ujarku membela diri.
“Mira! Percaya padaku. Aku tidak selingkuh!” ucapku beralih menatap Namira yang duduk di sebelahku.
Tak kusangka, Namira bergeming. Dia diam tak merespon apapun. Bahkan, tanganku yang hendak menggenggam jemarinya pun ditepiskannya.
“Lalu apa? Foto berduaan mesra seperti itu? Ha?” sahut Ibu mertuaku lagi.
“Dasar anak kurang ajar! Malu papa punya anak seperti kamu!” tiba-tiba papa sudah bangkit dan mendekat ke arahku.
Hampir saja tangannya melayang di wajahku, andai ayah mertuaku tak mencegahnya.
“Biar, Dek Hadi. Saya mau kasih pelajaran anak yang bikin malu keluarga ini,” ujar papa sambil berusaha melepaskan pegangan tangan mertuaku.
“Jangan, Mas. Kita selesaikan saja secara kekeluargaan,” ujar Ayah mertuaku bijak. Akupun ikut lega.
“Jadi, kamu masih mau terus sama Namira, atau mau sampai di sini?” Suara ayah mertuaku membuatku yang sedari tadi menunduk, spontan mendongak dan menatapnya.
“Ayah bicara apa. Reno tidak selingkuh, Yah. Reno tentu saja akan terus bersama Namira hingga maut memisahkan,” ujarku tegas.
Tentu saja karena aku memang benar-benar tidak selingkuh seperti tuduhan mereka.
Itu hanya foto. Foto berduaan yang tak sengaja terekspos. Mengapa dibesar-besarkan?
“Sekarang Papa tanya sama Namira, apa kamu masih mau bersama Reno?” tanya Papaku.
Semua mata beralih menatap ke Namira.
Wanita yang tentu saja sangat cantik ini menatap lurus ke Papa, lalu menggeleng lemah.
“Dek, apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku tak mau hidup dengan pengkhianat,” ucapnya lirih, namun menghujam ke ulu hatiku.
Bersambung
Akhirnya aku bisa bernafas lega. Setelah negosiasi alot dengan mertua dan orang tuaku, akhirnya mereka memberiku kesempatan kedua, dengan catatan aku tak berhubungan lagi dengan Vania. Aku iyain saja, agar mereka segera pulang. Aku harus menyelesaikan kekacauan ini dengan Namira. Kini mereka semua sudah pulang. Tinggalkan aku dan Namira, juga kedua anakku yang sedari tadi ternyata diasuh oleh Dina, adikku. Rupanya adikku membawa kedua anakku pergi keluar, agar kedua anakku tak mendengarkan pertengkaran kakek dan neneknya denganku. Setelah menidurkan Dafa dan Dafi, Namira keluar kamar anak-anakku. Sementara, aku menunggunya di ruang keluarga. Sebenarnya aku ingin membuka ponselku. Tapi, aku masih trauma. Ada banyak pesan yang ada di situ, dan aku enggan membalasnya. Rata-rata mereka menanyakan tentang status WA ku. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. “Dek, Mas mau bicara....”panggilku pada Namira yang baru keluar dari toilet sambil menepuk sofa di sebelahku. Namira keluar dari
“Vania, kenapa kamu pasang foto itu di profilmu?” tanyaku ke Vania dengan nada marah. Padahal selama ini aku tak pernah marah padanya. “Kenapa? Bukannya semua sudah tahu? Sudah tak ada yang disembunyikan lagi? Ingat, Mas, kamu sudah menghancurkan masa depanku. Jadi kamu harus bertanggung jawab dengan masa depanku,” ucapnya panjang lebar.Aku mengacak rambutku frustasi. Kesal dan dongkol bukan main. Harusnya Vania menolongku. Bukan malah memperburuk keadaan. “Aku harus menyelesaikan urusanku dengan keluargaku. Istriku hampir minta cerai. Sementara kamu jangan hubungi aku dulu.” Aku mencoba memberinya peringatan. “Oh, bukannya itu bagus. Bukannya Mas bilang padaku waktu itu, kalau Mas sudah bosan padanya?” “Jaga mulutmu! Meskipun aku bosan, sampai mati aku tetap mempertahankannya!” Baru saja aku menutup mulutku, Namira sudah berdiri di belakangku saat tak sengaja aku menoleh ke samping. Astaga! Jangan-jangan dia mendengarkan percakapanku. Melihatku menoleh, dia langsung berpaling
“Kalau kamu di rumah, aku nitip Dafi ya,” ujar Namira sambil beranjak hendak ke kamar. “Ngga bisa dong. Nanti kalo Dafi mau nen gimana?” sahutku mencar-cari alasan. Lagi pula aku tak pernah ditinggal sendirian ngurus bayi. Kalau hanya menemani sebentar pas Namira ke warung sih ngga apa-apa. Tapi kalau Namira perginya lama. Mesti nyiapin susu, nyebokin kalau pup, belum kalau nangis rewel karena ngantuk. Ah! Ogah. Dan lagi, mumpung Namira pergi, aku sudah nyusun rencana. Aku harus ketemu Vania. Anak itu jadi sulit dikasih tahu gara-gara aibnya terbongkar. Padahal kemaren-kemaren dia manis-manis saja dan selalu menurut kata-kataku. “Dafi ‘kan bisa minum susu formula. Tuh sudah aku siapin di botol. Tinggal tuang air hangat saja,” ujarnya enteng sambil menunjuk pada botol susu Dafi yang sudah terisi susu bubuk. Itu mudah bagi dia. Bagi gue? Ribet bro! Mendingan suruh nyari uang, kerja lembur dari pada di rumah ditinggal sama baby. “Eh....ehhh...pap...pap...” Aku menoleh ke Dafi yan
“Wah, begini ya…habis heboh satu kantor, ternyata dilanjut!” ucap Burhan sambil bertepuk tangan mengejekku. Reza, staf di kantorku yang berdiri di belakang Burhan, sibuk dengan ponselnya. Apa dia mengambil gambar saat aku sedang berdua dengan Vania, untuk barang bukti? Entahlah. “Kupastikan setelah ini, kalian berdua akan dipecat!” Burhan membungkukkan badannya. Kedua telapak tangannya menumpu pada meja. Sementara pandangannya tajam menatapku dan Vania secara bergantian. “Han, tunggu!” panggilku saat dia sudah membalikkan badannya, meninggalkanku dan Vania yang masih mematung. Aku terpaksa harus setengah berlari untuk dapat mengejarnya, agar aku tak perlu bicara dengan volume yang keras. Tak mungkin aku membuat gaduh mall yang masih sepi ini. “Tolong, kamu jangan bawa masalah ini ke kantor. Kasihan keluargaku, Han,” ucapku mengiba saat Burhan sudah menghentikan langkahnya dan membalikkan badan berhadapan denganku. Tatapannya sangat tajam seperti hendak menerkamku. Padahal, sebelu
Akhirnya dengan terpaksa aku kembali ke mobil, mengambil ponsel yang sudah kusembunyikan di bawah bagasi mobil. Padahal, aku pikir ini adalah satu-satunya tempat teraman. Di rumah? Jelas tak mungkin. Namira sudah hafal setiap inci sudutnya.Memang, membeli ponsel baru tentu amat sensitif bagi Namira. Dia sangat teliti dengan pengeluaran. Tak mungkin begitu saja ia akan mengijinkanku membeli barang mahal seperti ini. Apalagi, ada cicilan yang harus kami bayar setiap bulan.Dengan lemah, kuserahkan ponsel itu padanya. Namira mengambil ponsel baruku tanpa berekspresi. Tangannya dengan gesit membuka tempat simcard, menariknya dan mengguntingnya jadi dua!Bukan harga simcardnya. Tapi, Vania hanya punya nomor itu untuk menghubungiku. Sementara di nomor biasa, nomor Vania sudah kublokir.Tapi, tenang! Nanti malam aku bisa membuka blokirnya saat Namira tidur dan memberitahukan ke Vania kalau rencana pertama gagal. Kuhembuskan nafas dengan kasar!Sementara aku harus menerima kenyataan, bahwa
Ya Salaaam!Mataku membulat saat menyadari siapa yang datang.Vania, ngapain dia pagi buta sudah ke sini. Padahal aku sudah bilang, jangan hubungi aku. Jangan ketemu. Kenapa masih ngeyel. Astaga, aku menepuk jidatku.Aku baru ingat jika nomornya masih kublokir. Semalam aku ketiduran gara-gara pura-pura tidur, menunggu Namira tidur. Saat terbangun, hari sudah pagi. Dan ponselku pun sudah berpindah tempat. Di dapur!Ternyata Namira telah duluan membawa dua ponsel itu. Mana berani aku mengambilnya. Kecuali ada pesan masuk atau telepon masuk. Lagi pula, aku terlanjur bilang pada Namira kalau aku tidak ke kantor karena cuti. Jadi, dia sudah tak percaya jika aku berbohong mengecek ponsel karena urusan pekerjaan. “Aku kasih tahu ya, dia itu sudah bosan padamu." Vania menunjuk-nunjuk muka Namira. Kurang ajar sekali dia. "Buktinya? Dia milih menghabiskan waktu denganku, dibanding denganmu!” lanjut Vania jumawa.Namira yang selama ini lembut pun, menampakkan raut muka bengisnya. Keduanya s
Kuacak rambutku dengan kasar. Aku gusar bukan kepalang. Bagaimana bisa perusahaanku memutuskan hubungan kerja secepat ini? Memang sih ada klien yang melihat statusku. Tapi kan mereka tidak tahu, hubunganku dengan Vania. Siapa tahu itu adikku, atau istriku? Kenapa sih orang-orang pada rumit memikirkan sekedar foto di status! Hah! Menyebalkan. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Ada klausul di perjanjian perusahaanku memang tidak boleh menjalin affair yang merusak citra perusahaan. Apalagi, aku baru saja naik jabatan. Hal yang lebih memberatkan lagi, foto-foto itu saat aku sedang dinas. Tentu saja aku dianggap menyelewengkan pekerjaan kantor dengan melakukan hal yang mempermalukan citra kantor. Ah! Rumit. Itu bukan affair. Itu hanya hubungan atasan dan bawahan. Kenapa sih orang-orang ngga bisa ngerti?Pasti ini ulah Burhan! Aku harus membuat perhitungan dengannya. Awas saja nanti kalau aku sudah dapat kerja. Pasti akan kubalas!Kutinju sofa di sebelahku. Mataku terpejam sambil mengigi
Untung semua file-file ijasah dan setifikat tersimpan rapi di laptop. Usai mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, aku bergegas pulang.Aku harus lebih dulu pulang sebelum Namira. Aku akan memarahinya karena meninggalkan rumah tanpa ijin. Apalagi tanpa membawa anak-anak serta. Bagaimana kalau ada yang menyangka Namira masih single lalu jatuh cinta padanya. Dia kalau tidak menggendong Dafi tentu saja tak kalah dengan perempuan berusia 27 tahun lainnya, yang orang bilang makin matang makin cantik!Aku sudah siap di beranda rumah saat mendengar suara mobil berhenti, disertai suara yang aku kenal. Anak-anak selalu berisik, dan juga istriku yang selalu bergerak sambil berbicara.“Dari mana saja kamu?” tanyaku saat Namira turun dari mobil. Tangannya satu membantu Dafa turun dari taksi online itu. Tangan satu lagi sibuk menurunkan tas gembolan dan beberapa tas lain dari mobil. Terakhir, dia menggendong Dafi. “Habis belanja,” jawabnya singkat.Benar juga. Tas belanjaan ditinggalkannya di la