Share

DISIDANG

Belum sempat aku mengambil baju ganti untuk segera mandi, deru mobil berhenti di depan rumahku. 

Tak lama, suara mamaku terdengar menggelegar. Jantungku rasanya hampir copot mendengar suara mama, meski kemarahannya tak asing bagiku, sejak aku kecil.

“Reno, keluar kamu!” 

Mataku melebar. Bagaimana bisa mama dari Bandung sudah ada di sini? 

Aku tahu mama sudah melihat statusku. Karena aku lihat, mama adalah salah satu yang sempat melihat statusku. 

Tapi, apakah mama sudah memberitahukan apa yang terjadi ke Namira? Habislah aku, kalau sampai tadi mama dan Namira sempat saling berkomunikasi. Jangan-jangan, mereka sudah berteleponan?

Bergegas aku keluar kamar. Anak-anak sudah tidak ada di ruang tamu. Kemana mereka? Biasanya, anak-anak akan ribut jika ada eyangnya datang.

Rumahku tidak besar. Hanya tipe 36 di perumahan kelas menengah. Ada dua kamar di bawah. Untuk aku dan Namira, satu kamar buat Dafa dan Dafi. Sementara di atas hanya ada tempat jemuran dan satu kamar jika ada tamu atau saudara datang. Anak-anak biasa main di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga yang tak terlalu besar ini. 

Kemana anak-anak? Gumanku. 

Di ruang tamu sudah duduk papa dan mamaku. Papa menatapku dengan tajam. Sementara, tatapan mama lebih tajam lagi. 

Aku semakin salah tingkah saat tak lama Namira keluar dengan membawa teh panas. 

“Anak-anak mana, Dek?” tanyaku pada Namira. 

Ini salah satu taktik agar kedua orang tuaku melunak. Mereka tak suka bikin keributan di depan cucu-cucunya. 

“Ngapain kamu tanya anak-anakmu? Saat kamu gatal berduaan dengan gadis itu, apa kamu ingat anakmu, ha?” hardik mama tanpa basa-basi. 

“Mama!” gumanku nyaris tak terdengar. 

Kutatap Namira yang tampak biasa saja. Entah apa yang ada dalam benaknya. Dia tak tampak kaget sedikitpun. Apa dia benar-benar sudah mengetahui? 

Papa masih diam seribu bahasa. Tapi, lelaki yang selama ini paling kuhormati itu tetap menatap tajam ke arahku hingga membuatku tak berkutik. 

Tak lama, deru mobil berhenti di depan rumah terdengar lagi. 

Jantungku berdegup lebih kencang, begitu aku tahu siapa yang memasuki pagar rumahku. 

Mas Bram, kakak sulung Namira, beserta ibu dan ayah mertuaku. Matilah aku!

Langkah ibu mertuaku lebar-lebar, seolah tak sabar ingin masuk ke dalam rumahku. Begitu juga ayah mertua dan kakak iparku yang mengikuti di belakangnya. 

Kutatap lagi Namira yang tergopoh ke depan rumah menyambut orang tua dan kakaknya. Mereka lalu berpelukan di teras rumah. 

“Assalamualaikum...” sapa ibu pendek. 

Biasanya ibu mengucap salam dengan lemah lembut. 

“Bagus! Kamu sudah di rumah!” Bibir ibu mertuaku sampai bergetar saat berkata. Telunjuknya lurus menunjuk ke wajahku. 

Bahkan, tanganku yang hendak bersalaman dengannya saja ditepiskannya. 

Hancur terasa duniaku. 

Sementara Namira kembali masuk ke dapur dan sibuk dengan teh panasnya. 

Dia keluar lagi dengan tiga cangkir teh panas. Entah apa yang ada dalam benak perempuan yang telah setengah kukhianati. 

Catat ya. Aku tak benar-benar mengkianatinya. Aku hanya dekat saja dengan stafku. Bukan selingkuh!

“Kita sekarang sudah berkumpul. Coba sekarang kamu jelaskan. Apa maksud status WAmu tadi pagi, ha?” Suara papaku terdengar parau. 

Aku tahu papa jarang marah. Beliau hanya marah jika kesalahan kami, anak-anaknya, sudah fatal dan tak termaafkan. 

Aku terdiam. Sejenak berfikir kata-kata yang pas dan tidak menimbulkan kemarahan mereka. 

Semua mata memandangku dengan sorot kemarahan. Mereka seperti hendak menelanku bulat-bulat. 

Hanya Namira yang tak menatapku dengan kemarahan. Dia justru hanya memperlihatkan muka tanpa ekspresi. Tapi itu sungguh menakutkan. 

“Itu hanya salah paham, Pa, Ma, Yah, Ibu, dan Mas.” Aku menyebut mereka satu persatu. Agar mereka merasa keberadaannya aku akui. 

“Salah paham apa maksudmu. Yang jelas!” Ayah mertuaku sudah tak sabar. 

“Salah posting, Yah. Reno tak bermaksud memposting di status....” ujarku menggantung.

“Lalu?” Mama langsung menyela. 

“Mau Reno kirim foto itu ke Vania, tapi sal…” 

“Oh, jadi selingkuhanmu itu namanya Vania?” Ibu mertuaku langsung menyahut sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

“Ibu, Reno tidak selingkuh!” ujarku membela diri.

“Mira! Percaya padaku. Aku tidak selingkuh!” ucapku beralih menatap Namira yang duduk di sebelahku. 

Tak kusangka, Namira bergeming. Dia diam tak merespon apapun. Bahkan, tanganku yang hendak menggenggam jemarinya pun ditepiskannya. 

“Lalu apa? Foto berduaan mesra seperti itu? Ha?” sahut Ibu mertuaku lagi. 

“Dasar anak kurang ajar! Malu papa punya anak seperti kamu!” tiba-tiba papa sudah bangkit dan mendekat ke arahku. 

Hampir saja tangannya melayang di wajahku, andai ayah mertuaku tak mencegahnya. 

“Biar, Dek Hadi. Saya mau kasih pelajaran anak yang bikin malu keluarga ini,” ujar papa sambil berusaha melepaskan pegangan tangan mertuaku. 

“Jangan, Mas. Kita selesaikan saja secara kekeluargaan,” ujar Ayah mertuaku bijak. Akupun ikut lega. 

“Jadi, kamu masih mau terus sama Namira, atau mau sampai di sini?” Suara ayah mertuaku membuatku yang sedari tadi menunduk, spontan mendongak dan menatapnya. 

“Ayah bicara apa. Reno tidak selingkuh, Yah. Reno tentu saja akan terus bersama Namira hingga maut memisahkan,” ujarku tegas. 

Tentu saja karena aku memang benar-benar tidak selingkuh seperti tuduhan mereka. 

Itu hanya foto. Foto berduaan yang tak sengaja terekspos. Mengapa dibesar-besarkan? 

“Sekarang Papa tanya sama Namira, apa kamu masih mau bersama Reno?” tanya Papaku. 

Semua mata beralih menatap ke Namira. 

Wanita yang tentu saja sangat cantik ini menatap lurus ke Papa, lalu menggeleng lemah. 

“Dek, apa maksudmu?” tanyaku.

“Aku tak mau hidup dengan pengkhianat,” ucapnya lirih, namun menghujam ke ulu hatiku. 

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nur Hidayah
kapok...makanya jangan berani² main api kalau udah ada istri dirumah
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Kasihan sekali kamu reno
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status