Langkahku terhenti saat menyadari siapa yang sedang menunggu di ruang depan tempat penerima tamu kantor. “Ngapain kamu ke sini?” tanyaku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku pikir, tadi tamu yang dijanjikan Firman, kalau ini sih, benar-benar tamuku.Ingatanku seolah kembali pada saat dia pagi-pagi melabrak istriku, sesaat setelah dia menerima surat pemecatan.Kenapa dia malah ke sini? Apa maunya? Apa dia mau menagih uang dariku lagi? Dari mana dia tahu aku ada di sini?Perempuan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya itu mendongakkan kepala saat aku bertanya, tanpa menyebut namanya. Ia menatap ke arahku. Matanya membulat karena kaget. “Mas Reno!” pekiknya. Matanya mengerjap karena masih tak percaya memandangiku. Bahkan, mulutnya ikut ternganga. Duh, dia malah memanggilku "Mas", padahal itu adalah panggilan saat kami sedang berdua. Bukan panggilan saat di tempat kerja. “Aku tanya, ngapain kamu di sini?” Aku mengulangi pertanyaanku, sepelan mungkin sambil duduk di sofa yang berhad
“Ya, Mas?” Suara Namira menyentakkan lamunanku, yang sedari tadi mengamatinya menyisir rambut. Hal yang hampir tak pernah dilakukan dulu saat masih mengurus anak-anak tanpa pengasuh juga mengurus rumah tangga. Kalau pun sisiran, dulu hanya dilakukan sekenanya, asal rapi saja. Rambutnya akan cepat-cepat diikat, setelah bangun tidur. Kini, kulihat dia sedikit relax, meskipun mungkin lelah karena seharian bekerja. Tapi, wajahnya selalu lebih bercahaya, tidak kusam dan kumal.Sudah lama Namira tidak memanggilku dengan sebutan "Mas". Sejak peristiwa itu, dia lebih sering ber"kamu-kamu" padaku. Mendengar panggilan itu, rasanya seperti aku kembali ke masa-masa bahagia dahulu.“Sini…” ujarku sambil menepuk kasur di sebelahku. Sejak aku bekerja, meskipun belum gajian sekalipun, sikap Namira sudah sedikit melunak.Anak-anak kini sudah dititipkan di daycare pilihan Namira. Pengelolanya masih teman kuliahnya. Jadi Namira sangat percaya. Anak-anak pun sangat senang dititipkan di sana, karena
Dafa sudah naik di depan, sementara Dafi di selipkan antara aku dan Namira. Begitulah kesibukan kami setiap pagi. Jam setengah tujuh pagi aku dan Namira sudah berangkat mengantar anak-anak ke daycare. Kami membawa tas besar yang berisi perlengkapan anak-anak sampai sore. Nanti di sore hari sepulang kerja, kami menjemput mereka. Sejak mobil terjual, aku memang harus memulai kembali beraktifitas dengan motor, kendaraan roda dua, yang dulu kubelikan untuk Namira. Setelah mengantar anak-anak ke daycare, aku mengantar Namira ke stasiun. Dia ke kantor dengan kereta, sementara motor aku bawa bekerja. Jika aku lembur, Namira akan menjemput anak-anak dengan taksi online. Sembari di jalan, aku sering berfikir, mungkin ini cara Tuhan menegur keangkuhanku. Kesombonganku yang merasa sukses di usia muda. Dunia ini berputar. Jika kita tidak bersyukur, maka akan diambil kenikmatan itu dalam sekejap. Meskipun pagi yang terik kami berboncengan motor, tapi, aku merasa bahagia. Aku menikmati keber
Suasana romantis seketika lenyap, hanya gara-gara kelebatan bayangan seseorang.“Dik, aku tidak bohong. Itu hanya Vania sama Firman,” ujarku lirih.Namira menatap lagi ke arah tadi. Dia memastikan aku tidak membohonginya.Aku menarik nafas dalam-dalam. Betapa sulitnya mengembalikan kepercayaan yang pernah hilang!Namira menatapku sekilas, lalu mengangguk. Bibirnya sedikit ditarik ke belakang.Aku yakin, Namira kini sudah percaya. Dia sudah pernah bertemu dengan Vania. Tentu saja, dia masih ingat. Apalagi kalau dia juga sempat melihat foto-foto yang tak sengaja aku posting.“Tak percaya, kamu pernah menyukainya,” guman istriku dengan nada mengejek.Pelan, tapi aku dapat jelas mendengarnya. Untungnya, Dafa sibuk dengan makannya. Dan Dafi belum mengerti apa yang dikatakan bundanya.Aku hanya menunduk.Aku pun tak mengerti, kenapa bisa terjerat oleh Vania. Yang jelas, awalnya dia hanya stafku, sering lembur bareng, sering ke luar kota dinas bareng, kerjanya cepat, otaknya cerdas, idenya b
Seperti biasa, pagi-pagi Namira sudah sibuk. Aku berinisiatif membantunya. Kalau biasanya dia menyelesaikan semuanya, dan aku hanya mengurus diriku sendiri, hari ini aku ingin memulai hari yang berbeda. "Kak, mandi sama ayah ya!" tawarku pada si sulung yang sedang main di ruang tengah. Dia akan dimandikan setelah Namira selesai menyiapkan sarapan. "Hore! Mandi sama ayah!" Tak perlu menunggu lama, Dafa sudah berlari meninggalkan mainannya. "Ndi...Yah!" Tengah memandikan Dafa pintu kamar mandi ada yang menggedor-gedor. Suara bayi terdengar berterika-teriak dari luar. "Adik mau mandi juga itu sama ayah!" ujar Dafa yang badannya sedang aku sabuni itu menyahut. "Iya, gantian habis ini," sahutku. Tapi, suara di depan pintu tak juga berhenti, hingga kudengar Namira membujuk. "Nah, kan. Adik nangis, Yah. Ayo buruan. Kasihan bunda!" Aku tersenyum getir. Dafa saja bisa kasihan pada Bundanya, sementara, selama ini aku ngapain aja? Aku membungkus Dafa dengan handuknya dan mengaj
Lokasi stasiun dan kantorku tak terlalu jauh. Sebagai orang kepercayaan bos, sebenarnya aku bisa datang kapan saja. Tapi, buat apa aku datang siang, jika sejak pagi aku sudah siap? “Kamu sekarang naik motor, Mas?” Aku tahu siapa yang berkomentar itu. Sudah aku minta ralat dengan panggilan "Pak", tetap saja dia menyematkan panggilan "Mas". Apa maunya? Rupanya Vania melihatku sedang memarkir motor karena dia sudah datang terlebih dahulu. Hari ini, jadwal kami meninjau proyek karena ada klien yang ingin langsung melihat lokasi. Mobil operasional juga sudah disiapkan oleh Dimas di parkiran. Mereka hanya tinggal menunggu. “Iya,” jawabku singkat. Tak ada lagi yang ingin kujelaskan padanya. Meskipun dia kembali menjadi asistenku, tapi aku kini bersikap untuk menjaga jarak padanya. Biarlah dia menyangka aku kere dan tidak kuat mentraktirnya seperti dulu, karena memang kenyataannya demikian. Kini, dia lebih memilih mendekat ke Firman yang dompetnya lebih tebal. Aku baru menyadari ka
Reno segera melajukan motornya ke RS yamg disebutkan oleh penelpon tadi. Itu adalah RS yang terdekat dari stasiun. Hari sudah mulai gelap. Reno tak meyangka kalau Namira justru di rumah sakit. Dalam hati Reno berharap tidak terjadi hal yang mengkhawatirkan pada Namira. Benak Reno tak hanya memikirkan keselamatan istrinya, namun juga masa depan keluarganya. Apa yang terjadi jika Namira kenapa-napa. Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil-kecil. Usai memarkir motornya, setengah berlari Reno segera menuju ruang IGD sesuai yang disebutkan penelpon tadi. “Keluarga pasien atas nama Namira, ya Pak?” suster berbaju putih-putih itu menyapa Reno yang datang tergopoh-gopoh. Rupanya, hanya Namira yang masuk IGD sore itu. Jadi, tak sulit bagi sang suster untuk menebaknya. Reno mengikuti langkah suster itu. Dengan perasaan cemas. Bahkan untuk bertanya pada suster saja, bibirnya terasa kelu. Reno sedikit bernafas lega saat melihat Namira yang terbaring di salah satu brankar di ruamg IGD.
Mendengar pertanyaan Dafa, Reno terharu. Reno baru menyadari, kalau ia memiliki anak yang begitu pintarnya. Bahkan, dia tak pernah mengajarkan apapun pada anak-anak. Pasti itu semua karena Namira yang telaten mengajarkannya. “Kata nenek, Dafa mau punya adik lagi, ya, yah?” Mata Reno membulat. Ia lalu menatap ke Namira. Bagaimana mertuanya bisa sudah tahu sebelum dirinya?Namira tersenyum simpul. “Kamu sudah kasih tahu Ibu? Ibu sudah tahu kalau kamu hamil? Kamu sudah tahu kalau hamil sebelum ke rumah sakit tadi?” Reno memberondong pertanyaan. Tapi, Namira hanya membalasnya dengan senyuman.Setelah mandi, bersih-bersih dan makan malam, Namira sudah disuruh berbaring di kamar oleh Reno. Kali ini, Reno tidak seperti saat Namira hamil pertama dan kedua, yang tak peduli.Dahulu, Reno tak pernah memedulikan keluhan Namira. Tapi kini, semua sudah berubah. Reno tampak lebih cemas dan khawatir. Lebih-lebih, kejadian di stasiun tadi mengajarkan arti sebuah kehilangan. Betapa cemasnya ia akan
"Jadi, nggak masalah ya, nanti kami lahiran di bidan?" tanya Reno pada dokter kandungan saat periksa terakhir. "Insyaalloh, nggak papa. Ibunya sehat, bayinya sehat," ucap dokter berhijab yang masih terlihat cantik di usia kepala empat. "Malah, banyak bidan yang lebih pengalaman dari dokter spasialis." Sang dokter memberikan beberapa rekomendasi bidan, tempat rencana bersalin. "Nggak papa, kan, Dik, kamu lahiran di Bidan?" tanya Reno saat survey beberapa bidan yang direkomendasikan dokter, mertua dan juga beberapa teman yang domisili tak jauh dari mereka. "Dari dulu, aku kan nggak nuntut kamu apa-apa, Mas. Yang penting kamu tahu kewajibanmu dan sayang sama keluarga," ucap wanita yang perutnya sudah membuncit. Sebenarnya Namira tahu, yang berat dia lahiran di Bidan adalah Reno sendiri. Suaminya itu punya gengsi selangit. Meskipun sudah sering dijelaskan, namun, kalau masukan bukan dari orang yang dipercayanya, akan hanya menjadi angin lalu. Bahkan, meski dokter kandungan pun s
Meski kesal, Meira akhirnya setuju melakukan transaksi dengan bantuan Irma. Namun, tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu ingin membeli semua unit. Setelah Hamdani membaliknamakan kepemilikan aset ke atas nama mantan isterinya, pria itu juga menyarankan untuk membeli satu per satu saja. Rumah yang ditinggali Meira pun disarankan untuk dilepas. Karena biaya perawatannya juga lebih mahal, dibanding uang yang dimilikinya. Nanti. hasilnya Meira bisa membeli rumah yang lebih kecil dan membeli property lain untuk disewakan. Ternyata, menjadi janda dengan banyak aset, tak sebahagia yang Meira bayangkan. Bahkan, yang mendekatinya justru rata-rata pria hidung belang, atau brondong yang hanya peduli pada hartanya. Sementara, pria seperti Reno yang diincarnya, bahkan lebih memilih menghindar. Bahkan, nominal uang yang pernah ditransfernya sebagai bonus, dengan maksud mengambil hati Reni, sudah ditransfer balik.Saat Meira berusaha menemui di kantor, ada saja alasan Reno untuk melimpahkan
Namira sebenarnya mempercayai ucapan suaminya. Hanya saja, dia ingin ketegasan. Agar suaminya itu benar-benar menghindar dari hal-hal yang memang remang-remang. Bukan karena tawaran yang menggiurkan, membuatnya terjerembab. "Gimana, suamimu?" Belum juga Namira duduk, Haris sudah menghampirinya. Seperti biasa, Namira datang lebih pagi. Karena naik kereta, dia tak mau berjubel jika berangkat bersamaan dengan para pekerja lainnya. "Biasa aja," sahut Namira sekedarnya. Dia sebenarnya malas dengan perhatian Haris yang sering berlebihan. "Sudahlah, kamu terima saja tawaranku. Mumpung belum ada yang isi lho." Haris menatap Namira, menunjukkan keseriusannya. Dia sudah menduga, masalah suami Namira, pasti tak jauh dari wanita. Padahal istrinya tak kurang cantik dan baik, batin Haris. "Bukan belum ada. Tapi, kamu sengaja nggak nawari ke siapa-siapa," sahut Namira. "Nah, itu tahu." Haris tersenyum puas. Dalam hati, dia masih berharap Reno akan menerima tawarannya, bagaimanapun caranya. **
"Ingat ya, aku akan mencabut hak pembagian harta gono-gini." Hamdani berucap dengan geram. Hamdani tak main-main. Sebagai pengusaha, dia kenal banyak pengacara hebat. Berbisnis tak sedikit yang harus menyelesaikan masalah kadang hingga ke meja hijau jika tak menemui titik temu. Meira mendapat pembagian harta karena memang di perjanjian pra-nikah, Hamdani berjanji tidak menambah istri lagi. Ternyata, di tengah pernikahannya, pria itu terpikat dengan wanita lain dan ingin mengambil pendamping.Meira tidak setuju. Sementara sebagai istri kedua saja, Hamdani jarang bermalam di rumahnya. Pria itu lebih mementingkan istri tua. Apa kabarnya kalau pria itu punya istri baru. "Kalau Mas sampai berani, lihat saja. Aku akan kasih tahu Mbak Rumi kalau Mas Hamdani nikah lagi." Meira tahu, kalau Hamdani sangat takut dengan istri pertamanya itu. Istri yang mendampingi dari nol itu, kalau kata Hamdani, meski cinta sudah pudar, tapi sayang tetap ada. Dia bak nyawa baginya. Tanpa Rumi, hidupnya akan
Hari sudah menjelang jam pulang kerja. Kesibukannya membuatnya lupa tentang Namira yang terlihat di depan rumah Meira tadi siang. Mendadak Reno merasa tak tenang. Kira-kira apa yang ada dipikiran istrinya itu tentang kejadian yang dilihatnya tadi? Ragu Reno hendak menghubungi istrinya, sekedar bertanya, apakah perlu dijemput di tempat biasa? Tapi, bukannya siang tadi istrinya ada di dekat rumah Meira. Artinya, dia sedang tidak ke kantor, bukan? Reno semakin bimbang. Kalau dia tidak bertanya, atau pura-pura tidak tahu, ya kalau Namira akan ada di stasiun, kalau tidak? "Jemput, tidak?" Saat masih bimbang, sebuah pesan masuk. Meskipun tanpa emotikon, kenapa perasaan Reno nggak enak. "Iya, jemput tempat biasa." Reno mencoba menenangkan diri, berharap tadi siang bukan Namira. Hanya halusinasinya saja. Reno tak menunggu jawaban dari istrinya. Dia langsung pamit pada Dimas dan Sisy yang masih sibuk beres-beres kantor, sebelum mereka pulang. Benar juga, Namira menunggunya di te
Wajah Reno ditekuk saat dia masuk ke kantor. Sisy yang sedang fokus menghitung anggaran tak berani menyapa. Tak lama, Galih dan Andre datang. "Gimana, Bos? Jadi, nggak?" Pria itu sudah menyiapkan data-data yang diperlukan untuk urusan akta jual beli. Hanya perlu data si pembeli saja yang belum. Sementara Andre hendak menagih berkas pengajuan kredit pembelian rumah. "Kayaknya, gue mau lepas klien ini," ucap Reno sambil meneguk air mineral yang baru saja di ambil dari pantry. "Gila, kamu, Bos. Kenapa dilepas?" Galih yang sudah membayangkan dapat komisi, jadi senewen. Mata Reno menatap tajam pada dua pria seumuran yang ada di depannya. Meski baru kenal karena pekerjaan, mereka cepat akrab. Ketiganya masih satu frekuensi. "Rumit!" "Iya, rumit. Semua pekerjaan juga rumit, Bos. Kita bikin mudah aja." Andre menimpali. Dia sudah biasa menghadapi klien dengan beragam problem. "Mendingan gue dapat klien yang lain. Gue kapok sama yang ini." "Yaelah, Bro. Emang namanya bisnis, se
Reno menghentikan mobilnya di salah satu pusat digital printing yang ada di kawasan ruko tak jauh dari tempat tinggal Meira. Tas milik Meira yang berisi dokumen, dijinjing oleh Reno masuk ke ruangan berpendingin itu. "Minta dikopi masing-masing satu saja, Mas," titah Reno pada petugas fotokopi setelah mengeluarkan tas. Dengan cekatan petugas fotokopi itu menyelesaikan tugasnya. "Di depan ada restoran enak. Kita makan dulu, ya Pak Reno."Mata Reno hampir saja melotot menahan kesal. Dia masih banyak pekerjaan. Bukan seorang pengangguran yang kapan saja bisa diajak santai. Kenapa Meira memperlakukannya seperti ini. Andai Reno tak ingat pesan Firman, dalam bisnis harus luwes, ingin rasanya dia memaki. "Sabar, Bro. Kalau kelas kakap memang harus begitu." Demikian Firman menasehati. "Bro, sebaiknya kita mempekerjakan tenaga Marketing lepas aja, atau subcontract dengan marketing property," usul Reno suatu saat. "Bisa saja kita subs-kan. Tapi, marginnya besar. Kalau kamu masih bisa han
Meski fisiknya di kantor, tapi pikiran Namira masih tertuju pada slip transfer sejumlah uang dari seorang wanita pada suaminya. Sebenarnya, itu akan wajar jika Reno langsung berterus terang kepadanya. Yang menjadi masalah, suaminya seolah menyembunyikan sesuatu. "Kenapa, Mir? Melamun saja aku perhatiin?" tanya Meysa, rekan kerja sekaligus sekretaris Haris yang meja kerjanya tak jauh dari Namira. "Hari ini, bapak banyak kerjaan penting nggak, Mbak? Aku kayaknya mau izin," ucap Namira seraya menghampiri Meysa. Namira sudah biasa mengintip jadwal Haris dari komputer Meysa. "Sepertinya hanya pekerjaan rutin saja. Nggak ada meeting." Meyra menunjukkan jadwal Haris pada Namira. Buru-buru Namira minta izin pada Haris. "Ada apa lagi?" tanya Haris. Wajah itu terlihat cemas saat melihat Namira yang tak biasa. Meski di perjanjian awal Namira minta sewaktu-waktu bisa izin, nyatanya selama ini, Namira tak pernah menggunakan dispensasi itu. Kenapa mendadak ia izin?"Ada urusan penting." "Apa
"Pak Reno, tolong bapak ambil dokumen ke rumah saya." Mata Reno membulat membuka pesan dari Meira. Wanita itu berani memerintahnya? Padahal dia bukan siapa-siapanya. Apa karena uang komisi dua digit, membuatnya bak laksana pesuruh, batin Reno. Hari masih pagi. Reno masih hendak sarapan dengan Namira. Sekilas Reno melihat sarapan yang cukup istimewa. Roti panggang isi sosis dan sepiring omelet serta kopi. Sebelumnya, Namira hanya menyediakan roti dengan olesan misis. "Sebaiknya ibu kirim orang saya. Pak Ali kan bisa untuk antar dokumen." Reno mulai merasa harus bersikap tegas. "Tapi, saya belum percaya sepenuhnya sama Ali. Dokumen itu terlalu berharga kalau dibawa oleh seorang supir." "Anda sendiri yang harusnya datang. Pertemuan hari ini cukup penting." Reno sudah menjadwalkan pertemuan dengan tim notaris dan juga bagian pembiayaan untuk memastikan semua pihak sepakat. "Cukup Pak Reno saja yang mewakili. Toh, saya yakin, pertemuan pertama masih pengecekan ini dan itu. Belum