Mendengar pertanyaan Dafa, Reno terharu. Reno baru menyadari, kalau ia memiliki anak yang begitu pintarnya. Bahkan, dia tak pernah mengajarkan apapun pada anak-anak. Pasti itu semua karena Namira yang telaten mengajarkannya. “Kata nenek, Dafa mau punya adik lagi, ya, yah?” Mata Reno membulat. Ia lalu menatap ke Namira. Bagaimana mertuanya bisa sudah tahu sebelum dirinya?Namira tersenyum simpul. “Kamu sudah kasih tahu Ibu? Ibu sudah tahu kalau kamu hamil? Kamu sudah tahu kalau hamil sebelum ke rumah sakit tadi?” Reno memberondong pertanyaan. Tapi, Namira hanya membalasnya dengan senyuman.Setelah mandi, bersih-bersih dan makan malam, Namira sudah disuruh berbaring di kamar oleh Reno. Kali ini, Reno tidak seperti saat Namira hamil pertama dan kedua, yang tak peduli.Dahulu, Reno tak pernah memedulikan keluhan Namira. Tapi kini, semua sudah berubah. Reno tampak lebih cemas dan khawatir. Lebih-lebih, kejadian di stasiun tadi mengajarkan arti sebuah kehilangan. Betapa cemasnya ia akan
“Pak Haris? Ada apa?” Namira tergopoh-gopoh keluar setelah mengintip bahwa tamunya adalah atasannya. Mulut Reno mencebik. benaknya berbicara, ini hanyalah drama. Bola matanya ke kanan dan ke kiri menatap Namira dan Haris bergantian.Untung Namira tidak sempat dandan. Hanya pakai bergo yang biasa dia gantungkan di dapur. Aman, batin Reno sambil menatap penampilan istrinya. “Tadi Maysa bilang kalau kamu ngga masuk karena sakit. Jadi, sekalian aku mampir mau ngasih ini.” Tangan Haris mengangsurkan tas jinjingnya pada Namira. Lalu berkata lagi,” boleh aku masuk? Ada yang ingin aku sampaikan...” lanjut Haris. Reno mendengus. Sudah tahu nggak dipersilahkan, masih ngebet pengen masuk, umpat Reno dalam hati. Reno memang hanya sengaja membuka sedikit celah pintunya, tanpa mempersilahkan, hingga Namira datang menghampiri. Buru-buru Namira menyenggol lengan Reno agar mempersilahkan atasannya masuk. Lagi pula, atasannya juga sudah berjasa membeli mobilnya saat mereka terjerat cicilan. Ngga e
Ingin rasanya Reno mengumpat kesal dengan sikap Haris pada istrinya. Terlebih Haris malah menawarinya pekerjaan, seolah sedang meremehkannya. Gara-gara Haris, rencananya ke kantor batal sudah. Moodnya sudah berantakan. Untungnya meeting dengan klien yang harusnya hari itu, ternyata ditunda. Jadilah Reno memilih di rumah saja. "Van, tolong pekerjaan hari ini kamu handle. Istriku sakit. Aku tidak masuk," ujar Reno dari sambungan telepon. "Eciee...." suara Vania terdengar meledek. "Ingat, kalau Firman atau Irfan nanya, istriku sedang sakit." "Sakit apa sakit?" Reno tak menanggapi ledekan stafnya sekaligus mantan gebetannya itu. Dia segera mematikan sambungan telepon. Hatinya masih panas akibat ulah Haris yang berlebihan perhatian pada istrinya. Reno duduk menyandar di sofa ruang tengah. Moodnya berantakan. Sementara, istrinya menahan tawa mengamati kelakuan suaminya yang terlihat kekanak-kanakan. “Aku ngga ngapa-ngapain kok sama Pak Haris. Lagi pula kan dia juga mantan kakak k
Melihat suaminya bengong, Namira segera menghampiri. "Kenapa, Mas?" Mata Namira ikut melongok melihat dokumen yang sedang dilihat oleh Reno. Pria itu lalu meletakkan begitu saja dokumen itu di atas meja. Seketika kening Namira mengernyit setelah mengamati dengan teliti isi dokumen itu, namun kemudian senyum simpul terbit di bibirnya. Namira menarik nafas sejenak sebelum berujar dengan bijak," Ini pelajaran buat kita, Mas. Besok lagi, kita harus lebih teliti. Mas Reno kan sebagai seorang mantan manajer, harusnya sudah berpengalaman. Jangan ceroboh kalau urusan surat perjanjian seperti ini. Jangan samakan dengan membeli popok atau susunya Dafi, kalau salah, bisa dituker." "Ya, namanya juga Mas waktu itu lagi butuh pekerjaan. Sudah bosan menganggur. Lagi pula, siapa yang menyangka kalau bakal dapat tawaran pekerjaan yang lebih bagus dari Haris," sungut Reno. Namira meletakkan kembali dokumen itu di atas meja. "Namanya perusahaan, nggak ada yang mau rugi, Mas. Dimana-mana juga semua
Keesokan harinya, Namira tak mau membolos kerja lagi. Apalagi sebenarnya fisiknya biasa saja. Justru saat di kantor, dia dapat mengalihkan dari rasa mual dan pusing akibat ngidam. "Kalau masih sakit, nggak usah masuk dulu," ujar Haris saat baru datang. Ia melihat Namira sudah duduk di meja kerjanya. "Kata siapa sakit? Hamil itu sehat," jawab Namira. Ia tak mau dikasihani. Haris hanya menghela nafas. Keras kepala adalah salah satu sifat yang dia sukai dari Namira. Tapi, muncul juga rasa perih di hati Haris. Namira sudah hamil lagi. Gadis yang dulu ditaksirnya kini sedang mengandung anak ketiga. Sementara dia? Masih saja sendiri dan belum ada tanda-tanda berkeluarga. Sejak pinangannya tidak diterima oleh Namira, Haris memilih fokus pada pekerjaan dan melupakan semua yang berhubungan dengan keluarga dan cinta. Tak heran jika perusahaannya cepat berkembang dan sudah banyak proyek yang ditanganinya. "Aku nggak mau dispensasi ya. Aku bisa kerja kayak biasa," tutur Namira sebelum Haris
Mendengar penjelasan Namira yang panjang lebar, andai tak ingat tak mau menyinggung perasaan Namira, rasanya Haris ingin tertawa lepas. Bagaimana bisa, di jaman seperti ini, masih ada wanita sebaik Namira. Di berita, di sinetron, bahkan di medsos, dia sering menemui kasus di mana sang istri yang berbuat nekad begitu mengetahui suaminya mendua. Tak jarang yang rela meninggalkan suaminya karena merasa dikhianati. Ini, malah Namira yang menggantikan tugas sang suami mencari nafkah, tanpa sedikitpun berkurang hormatnya pada sang suami. Tak jarang, Haris mencoba mengorek keterangan pada Namira perihal kabar suaminya. Berharap Namira akan menceritakan hal buruknya, atau paling tidak menumpahkan kekesalan dan kekecewaan tentang suaminya. Ternyata Haris keliru. Tak pernah sedikit pun Namira melakukan apa yang dipikir oleh Haris. Namira seolah bungkam dan menutup rapat masalahnya. Hanya senyuman yang Haris dapatkan dari jawaban Namira. Dan entah mengapa, jika sebagian besar orang cintanya
Pagi-pagi Reno sudah tak bersemangat bekerja. Gara-gara membaca dokumen kontrak yang mengharuskan membayar ganti rugi seratus juta, impiannya pindah kerja dan mendapatkan bonus lebih besar, pupus sudah. "Sudahlah, kamu kerja sama aku dulu. Kemarin kan habis deal sama customer. Nanti klo proses pembiayaannya sudah deal sama pihak bank, bonus langsung kamu terima." Gara-gara Reno berniat mengundurkan diri, harusnya bukan Jadwal Firman ke lokasi, terpaksa ia datang. "Habis ini, aku masih ada proyek baru lagi. Kalau semua unit kita sudah laku, aku sudah lobi pembiayaan baru sama pihak investor," tutur Firman. Reno mengusap keningnya. Tak dipungkiri, Firman memang cekatan dalam mengelola bisnis property ini. Apalagi koneksinya cukup banyak. Tak heran jika kantongnya makin tebal saja. Beruntung, Vania sudah lengket dengan Firman, meski sesekali masih memancing Reno dan menganggunya. "Pak, ini ada customer baru. Besok mau cek lokasi. Kebetulan Pak Firman mau ngajak saya meninjau lo
Tak sengaja Reno menatap sekilas pada posisi duduk Meira yang ada di sampingnya. Seketika Reno menelan ludah. Rok span yang dikenakan Meira agak tertarik ke atas saat duduk, sehingga lutut mulusnya terekspose. "Untung mobilnya matic," batin Reno. Kalau manual, bisa-bisa beberapa kali tangannya harus tak sengaja menyentuh lutut mulus itu saat oper gigi. "Saya ini janda, Pak Reno." Lagi-lagi, Reno hampir saja menginjak rem mendadak. Apa hubungannya dengan status wanita itu? Entah mengapa, mendadak perasaan Reno menjadi tak tenang. Yang tadinya dia merasa bangga dengan statusnya sebagai manajer pamasaran dan hanya mengantar klien, kenapa sekarang merasa seperti seorang simpanan janda? Reno sama sekali tak menanggapi. "Saya beli property sebagai pasif income. Nanti saya sewakan kembali. Sehingga saya punya pemasukan tetap. Harta gono-gini dari mantan suami saya, masih cukup untuk saya gunakan membeli aset lainnya." Ucapan wanita itu terdengar seperti curhat. Ingin rasanya Reno mel
"Jadi, nggak masalah ya, nanti kami lahiran di bidan?" tanya Reno pada dokter kandungan saat periksa terakhir. "Insyaalloh, nggak papa. Ibunya sehat, bayinya sehat," ucap dokter berhijab yang masih terlihat cantik di usia kepala empat. "Malah, banyak bidan yang lebih pengalaman dari dokter spasialis." Sang dokter memberikan beberapa rekomendasi bidan, tempat rencana bersalin. "Nggak papa, kan, Dik, kamu lahiran di Bidan?" tanya Reno saat survey beberapa bidan yang direkomendasikan dokter, mertua dan juga beberapa teman yang domisili tak jauh dari mereka. "Dari dulu, aku kan nggak nuntut kamu apa-apa, Mas. Yang penting kamu tahu kewajibanmu dan sayang sama keluarga," ucap wanita yang perutnya sudah membuncit. Sebenarnya Namira tahu, yang berat dia lahiran di Bidan adalah Reno sendiri. Suaminya itu punya gengsi selangit. Meskipun sudah sering dijelaskan, namun, kalau masukan bukan dari orang yang dipercayanya, akan hanya menjadi angin lalu. Bahkan, meski dokter kandungan pun s
Meski kesal, Meira akhirnya setuju melakukan transaksi dengan bantuan Irma. Namun, tidak seperti sebelumnya yang menggebu-gebu ingin membeli semua unit. Setelah Hamdani membaliknamakan kepemilikan aset ke atas nama mantan isterinya, pria itu juga menyarankan untuk membeli satu per satu saja. Rumah yang ditinggali Meira pun disarankan untuk dilepas. Karena biaya perawatannya juga lebih mahal, dibanding uang yang dimilikinya. Nanti. hasilnya Meira bisa membeli rumah yang lebih kecil dan membeli property lain untuk disewakan. Ternyata, menjadi janda dengan banyak aset, tak sebahagia yang Meira bayangkan. Bahkan, yang mendekatinya justru rata-rata pria hidung belang, atau brondong yang hanya peduli pada hartanya. Sementara, pria seperti Reno yang diincarnya, bahkan lebih memilih menghindar. Bahkan, nominal uang yang pernah ditransfernya sebagai bonus, dengan maksud mengambil hati Reni, sudah ditransfer balik.Saat Meira berusaha menemui di kantor, ada saja alasan Reno untuk melimpahkan
Namira sebenarnya mempercayai ucapan suaminya. Hanya saja, dia ingin ketegasan. Agar suaminya itu benar-benar menghindar dari hal-hal yang memang remang-remang. Bukan karena tawaran yang menggiurkan, membuatnya terjerembab. "Gimana, suamimu?" Belum juga Namira duduk, Haris sudah menghampirinya. Seperti biasa, Namira datang lebih pagi. Karena naik kereta, dia tak mau berjubel jika berangkat bersamaan dengan para pekerja lainnya. "Biasa aja," sahut Namira sekedarnya. Dia sebenarnya malas dengan perhatian Haris yang sering berlebihan. "Sudahlah, kamu terima saja tawaranku. Mumpung belum ada yang isi lho." Haris menatap Namira, menunjukkan keseriusannya. Dia sudah menduga, masalah suami Namira, pasti tak jauh dari wanita. Padahal istrinya tak kurang cantik dan baik, batin Haris. "Bukan belum ada. Tapi, kamu sengaja nggak nawari ke siapa-siapa," sahut Namira. "Nah, itu tahu." Haris tersenyum puas. Dalam hati, dia masih berharap Reno akan menerima tawarannya, bagaimanapun caranya. **
"Ingat ya, aku akan mencabut hak pembagian harta gono-gini." Hamdani berucap dengan geram. Hamdani tak main-main. Sebagai pengusaha, dia kenal banyak pengacara hebat. Berbisnis tak sedikit yang harus menyelesaikan masalah kadang hingga ke meja hijau jika tak menemui titik temu. Meira mendapat pembagian harta karena memang di perjanjian pra-nikah, Hamdani berjanji tidak menambah istri lagi. Ternyata, di tengah pernikahannya, pria itu terpikat dengan wanita lain dan ingin mengambil pendamping.Meira tidak setuju. Sementara sebagai istri kedua saja, Hamdani jarang bermalam di rumahnya. Pria itu lebih mementingkan istri tua. Apa kabarnya kalau pria itu punya istri baru. "Kalau Mas sampai berani, lihat saja. Aku akan kasih tahu Mbak Rumi kalau Mas Hamdani nikah lagi." Meira tahu, kalau Hamdani sangat takut dengan istri pertamanya itu. Istri yang mendampingi dari nol itu, kalau kata Hamdani, meski cinta sudah pudar, tapi sayang tetap ada. Dia bak nyawa baginya. Tanpa Rumi, hidupnya akan
Hari sudah menjelang jam pulang kerja. Kesibukannya membuatnya lupa tentang Namira yang terlihat di depan rumah Meira tadi siang. Mendadak Reno merasa tak tenang. Kira-kira apa yang ada dipikiran istrinya itu tentang kejadian yang dilihatnya tadi? Ragu Reno hendak menghubungi istrinya, sekedar bertanya, apakah perlu dijemput di tempat biasa? Tapi, bukannya siang tadi istrinya ada di dekat rumah Meira. Artinya, dia sedang tidak ke kantor, bukan? Reno semakin bimbang. Kalau dia tidak bertanya, atau pura-pura tidak tahu, ya kalau Namira akan ada di stasiun, kalau tidak? "Jemput, tidak?" Saat masih bimbang, sebuah pesan masuk. Meskipun tanpa emotikon, kenapa perasaan Reno nggak enak. "Iya, jemput tempat biasa." Reno mencoba menenangkan diri, berharap tadi siang bukan Namira. Hanya halusinasinya saja. Reno tak menunggu jawaban dari istrinya. Dia langsung pamit pada Dimas dan Sisy yang masih sibuk beres-beres kantor, sebelum mereka pulang. Benar juga, Namira menunggunya di te
Wajah Reno ditekuk saat dia masuk ke kantor. Sisy yang sedang fokus menghitung anggaran tak berani menyapa. Tak lama, Galih dan Andre datang. "Gimana, Bos? Jadi, nggak?" Pria itu sudah menyiapkan data-data yang diperlukan untuk urusan akta jual beli. Hanya perlu data si pembeli saja yang belum. Sementara Andre hendak menagih berkas pengajuan kredit pembelian rumah. "Kayaknya, gue mau lepas klien ini," ucap Reno sambil meneguk air mineral yang baru saja di ambil dari pantry. "Gila, kamu, Bos. Kenapa dilepas?" Galih yang sudah membayangkan dapat komisi, jadi senewen. Mata Reno menatap tajam pada dua pria seumuran yang ada di depannya. Meski baru kenal karena pekerjaan, mereka cepat akrab. Ketiganya masih satu frekuensi. "Rumit!" "Iya, rumit. Semua pekerjaan juga rumit, Bos. Kita bikin mudah aja." Andre menimpali. Dia sudah biasa menghadapi klien dengan beragam problem. "Mendingan gue dapat klien yang lain. Gue kapok sama yang ini." "Yaelah, Bro. Emang namanya bisnis, se
Reno menghentikan mobilnya di salah satu pusat digital printing yang ada di kawasan ruko tak jauh dari tempat tinggal Meira. Tas milik Meira yang berisi dokumen, dijinjing oleh Reno masuk ke ruangan berpendingin itu. "Minta dikopi masing-masing satu saja, Mas," titah Reno pada petugas fotokopi setelah mengeluarkan tas. Dengan cekatan petugas fotokopi itu menyelesaikan tugasnya. "Di depan ada restoran enak. Kita makan dulu, ya Pak Reno."Mata Reno hampir saja melotot menahan kesal. Dia masih banyak pekerjaan. Bukan seorang pengangguran yang kapan saja bisa diajak santai. Kenapa Meira memperlakukannya seperti ini. Andai Reno tak ingat pesan Firman, dalam bisnis harus luwes, ingin rasanya dia memaki. "Sabar, Bro. Kalau kelas kakap memang harus begitu." Demikian Firman menasehati. "Bro, sebaiknya kita mempekerjakan tenaga Marketing lepas aja, atau subcontract dengan marketing property," usul Reno suatu saat. "Bisa saja kita subs-kan. Tapi, marginnya besar. Kalau kamu masih bisa han
Meski fisiknya di kantor, tapi pikiran Namira masih tertuju pada slip transfer sejumlah uang dari seorang wanita pada suaminya. Sebenarnya, itu akan wajar jika Reno langsung berterus terang kepadanya. Yang menjadi masalah, suaminya seolah menyembunyikan sesuatu. "Kenapa, Mir? Melamun saja aku perhatiin?" tanya Meysa, rekan kerja sekaligus sekretaris Haris yang meja kerjanya tak jauh dari Namira. "Hari ini, bapak banyak kerjaan penting nggak, Mbak? Aku kayaknya mau izin," ucap Namira seraya menghampiri Meysa. Namira sudah biasa mengintip jadwal Haris dari komputer Meysa. "Sepertinya hanya pekerjaan rutin saja. Nggak ada meeting." Meyra menunjukkan jadwal Haris pada Namira. Buru-buru Namira minta izin pada Haris. "Ada apa lagi?" tanya Haris. Wajah itu terlihat cemas saat melihat Namira yang tak biasa. Meski di perjanjian awal Namira minta sewaktu-waktu bisa izin, nyatanya selama ini, Namira tak pernah menggunakan dispensasi itu. Kenapa mendadak ia izin?"Ada urusan penting." "Apa
"Pak Reno, tolong bapak ambil dokumen ke rumah saya." Mata Reno membulat membuka pesan dari Meira. Wanita itu berani memerintahnya? Padahal dia bukan siapa-siapanya. Apa karena uang komisi dua digit, membuatnya bak laksana pesuruh, batin Reno. Hari masih pagi. Reno masih hendak sarapan dengan Namira. Sekilas Reno melihat sarapan yang cukup istimewa. Roti panggang isi sosis dan sepiring omelet serta kopi. Sebelumnya, Namira hanya menyediakan roti dengan olesan misis. "Sebaiknya ibu kirim orang saya. Pak Ali kan bisa untuk antar dokumen." Reno mulai merasa harus bersikap tegas. "Tapi, saya belum percaya sepenuhnya sama Ali. Dokumen itu terlalu berharga kalau dibawa oleh seorang supir." "Anda sendiri yang harusnya datang. Pertemuan hari ini cukup penting." Reno sudah menjadwalkan pertemuan dengan tim notaris dan juga bagian pembiayaan untuk memastikan semua pihak sepakat. "Cukup Pak Reno saja yang mewakili. Toh, saya yakin, pertemuan pertama masih pengecekan ini dan itu. Belum