Pagi-pagi Reno sudah tak bersemangat bekerja. Gara-gara membaca dokumen kontrak yang mengharuskan membayar ganti rugi seratus juta, impiannya pindah kerja dan mendapatkan bonus lebih besar, pupus sudah. "Sudahlah, kamu kerja sama aku dulu. Kemarin kan habis deal sama customer. Nanti klo proses pembiayaannya sudah deal sama pihak bank, bonus langsung kamu terima." Gara-gara Reno berniat mengundurkan diri, harusnya bukan Jadwal Firman ke lokasi, terpaksa ia datang. "Habis ini, aku masih ada proyek baru lagi. Kalau semua unit kita sudah laku, aku sudah lobi pembiayaan baru sama pihak investor," tutur Firman. Reno mengusap keningnya. Tak dipungkiri, Firman memang cekatan dalam mengelola bisnis property ini. Apalagi koneksinya cukup banyak. Tak heran jika kantongnya makin tebal saja. Beruntung, Vania sudah lengket dengan Firman, meski sesekali masih memancing Reno dan menganggunya. "Pak, ini ada customer baru. Besok mau cek lokasi. Kebetulan Pak Firman mau ngajak saya meninjau lo
Tak sengaja Reno menatap sekilas pada posisi duduk Meira yang ada di sampingnya. Seketika Reno menelan ludah. Rok span yang dikenakan Meira agak tertarik ke atas saat duduk, sehingga lutut mulusnya terekspose. "Untung mobilnya matic," batin Reno. Kalau manual, bisa-bisa beberapa kali tangannya harus tak sengaja menyentuh lutut mulus itu saat oper gigi. "Saya ini janda, Pak Reno." Lagi-lagi, Reno hampir saja menginjak rem mendadak. Apa hubungannya dengan status wanita itu? Entah mengapa, mendadak perasaan Reno menjadi tak tenang. Yang tadinya dia merasa bangga dengan statusnya sebagai manajer pamasaran dan hanya mengantar klien, kenapa sekarang merasa seperti seorang simpanan janda? Reno sama sekali tak menanggapi. "Saya beli property sebagai pasif income. Nanti saya sewakan kembali. Sehingga saya punya pemasukan tetap. Harta gono-gini dari mantan suami saya, masih cukup untuk saya gunakan membeli aset lainnya." Ucapan wanita itu terdengar seperti curhat. Ingin rasanya Reno mel
"Masuk, Pak Reno." Reno tergagap. Dia berdiri di depan pintu. Dia pikir Meira mengajaknya ke ruang kerja. Tapi, begitu pintu terbuka setengah, Reno baru menyadari itu adalah kamar tidur. "Saya di sini saja," tolak Reno. Meira hendak menunjukkan beberapa dokumen penting pada Reno, karena Reno terlihat ragu dengan kesungguhannya membeli semua unit di Cluster Kenanga. "Tidak apa-apa. Masuk saja. Ini kamar saya. Saya sudah bercerai dengan suami. Jadi, tak akan ada yang marah," bujuk Meira sembari menghampiri Reno yang masih mematung. Yang menjadi masalah bukan yang marah pada Meira, tapi sisi hati Reno mengatakan kalau itu salah. Reno masih bertahan berdiri di ambang pintu. "Saya tunjukkan sesuatu ke anda," ucap Meira. Mata indahnya menatap Reno, membuat lelaki itu sesaat menelan ludah sebelum berpaling. "Kita bisa lihat di luar kamar. Saya tak ingin masuk." Sekuat tenaga Reno melewatkan kesempatan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya karena gugup. Suasana ini, bagi
"Bagaimana, Bro. Aku nggak ngerti dengan klienmu yang ini." Reno menghubungi Firman setelah sampai di kantor. Dia mengadukan tentang Meira yang ngotot ingin membeli satu cluster sekaligus.Tak banyak karyawan yang dilibatkan dalam proyek Firman ini. Hanya Reno yang mengurusi customer bersama Vania, dan Irfan yang membawahi para mandor konstruksi. Selain itu ada staf yang mengurus keuangan dan legal. Tapi, kedua staf itu pun juga masih belum berpengalaman, karena Firman sengaja merekrut anak-anak fresh graduate agar tak perlu menggaji terlalu tinggi. "Ambil dong, Bro. Kita bakal untung besar kalau sekaligus laku. Kita juga bisa membebaskan lahan yang lain untuk proyek baru." Di ujung telpon Firman menggebu-gebu. "Masalahnya nggak semudah itu, Bro. Too good, to be true. Aku khawatir kalau ada apa-apa ke depan, perusahaan kita juga kena imbas." Reno beralasan. "Nggak, Bro. Aman. Nggak usah khawatir. Aku sudah pengalaman." Meski Firman berusaha meyakinkan, namun Reno tak bisa percaya b
"Uang apa itu, Mas?" tanya Namira begitu Reno tiba di rumah. Gara-gara Meira, dia dibuat sibuk. Bahkan, tak sempat untuk menjemput istrinya. Sampai di rumah Namira dan anak-anak sudah lebih dulu tiba. Reno tergagap. Keningnya berkerut. Apa Namira tahu? Dari mana dia tahu? batin Reno. "Jangan bodoh. Email ponsel kamu kan juga ada di aku. Setiap transaksi, tentu saja notifikasinya masuk ke ponselku." Namira tak menunggu Reno selesai melepas sepatunya. "Aku dan anak-anak hanya mau memakan nafkah dari uang halal," imbuh Namira seraya mengambil tas kerja Reno dan membawanya masuk. "Apa aku nggak pantas dapat bonus fantastis?" batin Reno, tanpa menjawab pertanyaan istrinya. Kepalanya menggeleng. "Akan aku buktikan, kalau aku pun bisa punya penghasilan besar." Reno mengepalkan jarinya. Pria itu lalu bangkit dari duduknya. Dia harus segera mandi untuk mengusir penat. "Yah, robot aku patah." Dafa berlari mendekat, tangan kanannya memegang robot, hendak menunjukkan pada Reno, saat pria i
"Pak Reno, tolong bapak ambil dokumen ke rumah saya." Mata Reno membulat membuka pesan dari Meira. Wanita itu berani memerintahnya? Padahal dia bukan siapa-siapanya. Apa karena uang komisi dua digit, membuatnya bak laksana pesuruh, batin Reno. Hari masih pagi. Reno masih hendak sarapan dengan Namira. Sekilas Reno melihat sarapan yang cukup istimewa. Roti panggang isi sosis dan sepiring omelet serta kopi. Sebelumnya, Namira hanya menyediakan roti dengan olesan misis. "Sebaiknya ibu kirim orang saya. Pak Ali kan bisa untuk antar dokumen." Reno mulai merasa harus bersikap tegas. "Tapi, saya belum percaya sepenuhnya sama Ali. Dokumen itu terlalu berharga kalau dibawa oleh seorang supir." "Anda sendiri yang harusnya datang. Pertemuan hari ini cukup penting." Reno sudah menjadwalkan pertemuan dengan tim notaris dan juga bagian pembiayaan untuk memastikan semua pihak sepakat. "Cukup Pak Reno saja yang mewakili. Toh, saya yakin, pertemuan pertama masih pengecekan ini dan itu. Belum
Meski fisiknya di kantor, tapi pikiran Namira masih tertuju pada slip transfer sejumlah uang dari seorang wanita pada suaminya. Sebenarnya, itu akan wajar jika Reno langsung berterus terang kepadanya. Yang menjadi masalah, suaminya seolah menyembunyikan sesuatu. "Kenapa, Mir? Melamun saja aku perhatiin?" tanya Meysa, rekan kerja sekaligus sekretaris Haris yang meja kerjanya tak jauh dari Namira. "Hari ini, bapak banyak kerjaan penting nggak, Mbak? Aku kayaknya mau izin," ucap Namira seraya menghampiri Meysa. Namira sudah biasa mengintip jadwal Haris dari komputer Meysa. "Sepertinya hanya pekerjaan rutin saja. Nggak ada meeting." Meyra menunjukkan jadwal Haris pada Namira. Buru-buru Namira minta izin pada Haris. "Ada apa lagi?" tanya Haris. Wajah itu terlihat cemas saat melihat Namira yang tak biasa. Meski di perjanjian awal Namira minta sewaktu-waktu bisa izin, nyatanya selama ini, Namira tak pernah menggunakan dispensasi itu. Kenapa mendadak ia izin?"Ada urusan penting." "Apa
Reno menghentikan mobilnya di salah satu pusat digital printing yang ada di kawasan ruko tak jauh dari tempat tinggal Meira. Tas milik Meira yang berisi dokumen, dijinjing oleh Reno masuk ke ruangan berpendingin itu. "Minta dikopi masing-masing satu saja, Mas," titah Reno pada petugas fotokopi setelah mengeluarkan tas. Dengan cekatan petugas fotokopi itu menyelesaikan tugasnya. "Di depan ada restoran enak. Kita makan dulu, ya Pak Reno."Mata Reno hampir saja melotot menahan kesal. Dia masih banyak pekerjaan. Bukan seorang pengangguran yang kapan saja bisa diajak santai. Kenapa Meira memperlakukannya seperti ini. Andai Reno tak ingat pesan Firman, dalam bisnis harus luwes, ingin rasanya dia memaki. "Sabar, Bro. Kalau kelas kakap memang harus begitu." Demikian Firman menasehati. "Bro, sebaiknya kita mempekerjakan tenaga Marketing lepas aja, atau subcontract dengan marketing property," usul Reno suatu saat. "Bisa saja kita subs-kan. Tapi, marginnya besar. Kalau kamu masih bisa han