“Pak Haris? Ada apa?” Namira tergopoh-gopoh keluar setelah mengintip bahwa tamunya adalah atasannya. Mulut Reno mencebik. benaknya berbicara, ini hanyalah drama. Bola matanya ke kanan dan ke kiri menatap Namira dan Haris bergantian.Untung Namira tidak sempat dandan. Hanya pakai bergo yang biasa dia gantungkan di dapur. Aman, batin Reno sambil menatap penampilan istrinya. “Tadi Maysa bilang kalau kamu ngga masuk karena sakit. Jadi, sekalian aku mampir mau ngasih ini.” Tangan Haris mengangsurkan tas jinjingnya pada Namira. Lalu berkata lagi,” boleh aku masuk? Ada yang ingin aku sampaikan...” lanjut Haris. Reno mendengus. Sudah tahu nggak dipersilahkan, masih ngebet pengen masuk, umpat Reno dalam hati. Reno memang hanya sengaja membuka sedikit celah pintunya, tanpa mempersilahkan, hingga Namira datang menghampiri. Buru-buru Namira menyenggol lengan Reno agar mempersilahkan atasannya masuk. Lagi pula, atasannya juga sudah berjasa membeli mobilnya saat mereka terjerat cicilan. Ngga e
Ingin rasanya Reno mengumpat kesal dengan sikap Haris pada istrinya. Terlebih Haris malah menawarinya pekerjaan, seolah sedang meremehkannya. Gara-gara Haris, rencananya ke kantor batal sudah. Moodnya sudah berantakan. Untungnya meeting dengan klien yang harusnya hari itu, ternyata ditunda. Jadilah Reno memilih di rumah saja. "Van, tolong pekerjaan hari ini kamu handle. Istriku sakit. Aku tidak masuk," ujar Reno dari sambungan telepon. "Eciee...." suara Vania terdengar meledek. "Ingat, kalau Firman atau Irfan nanya, istriku sedang sakit." "Sakit apa sakit?" Reno tak menanggapi ledekan stafnya sekaligus mantan gebetannya itu. Dia segera mematikan sambungan telepon. Hatinya masih panas akibat ulah Haris yang berlebihan perhatian pada istrinya. Reno duduk menyandar di sofa ruang tengah. Moodnya berantakan. Sementara, istrinya menahan tawa mengamati kelakuan suaminya yang terlihat kekanak-kanakan. “Aku ngga ngapa-ngapain kok sama Pak Haris. Lagi pula kan dia juga mantan kakak k
Melihat suaminya bengong, Namira segera menghampiri. "Kenapa, Mas?" Mata Namira ikut melongok melihat dokumen yang sedang dilihat oleh Reno. Pria itu lalu meletakkan begitu saja dokumen itu di atas meja. Seketika kening Namira mengernyit setelah mengamati dengan teliti isi dokumen itu, namun kemudian senyum simpul terbit di bibirnya. Namira menarik nafas sejenak sebelum berujar dengan bijak," Ini pelajaran buat kita, Mas. Besok lagi, kita harus lebih teliti. Mas Reno kan sebagai seorang mantan manajer, harusnya sudah berpengalaman. Jangan ceroboh kalau urusan surat perjanjian seperti ini. Jangan samakan dengan membeli popok atau susunya Dafi, kalau salah, bisa dituker." "Ya, namanya juga Mas waktu itu lagi butuh pekerjaan. Sudah bosan menganggur. Lagi pula, siapa yang menyangka kalau bakal dapat tawaran pekerjaan yang lebih bagus dari Haris," sungut Reno. Namira meletakkan kembali dokumen itu di atas meja. "Namanya perusahaan, nggak ada yang mau rugi, Mas. Dimana-mana juga semua
Keesokan harinya, Namira tak mau membolos kerja lagi. Apalagi sebenarnya fisiknya biasa saja. Justru saat di kantor, dia dapat mengalihkan dari rasa mual dan pusing akibat ngidam. "Kalau masih sakit, nggak usah masuk dulu," ujar Haris saat baru datang. Ia melihat Namira sudah duduk di meja kerjanya. "Kata siapa sakit? Hamil itu sehat," jawab Namira. Ia tak mau dikasihani. Haris hanya menghela nafas. Keras kepala adalah salah satu sifat yang dia sukai dari Namira. Tapi, muncul juga rasa perih di hati Haris. Namira sudah hamil lagi. Gadis yang dulu ditaksirnya kini sedang mengandung anak ketiga. Sementara dia? Masih saja sendiri dan belum ada tanda-tanda berkeluarga. Sejak pinangannya tidak diterima oleh Namira, Haris memilih fokus pada pekerjaan dan melupakan semua yang berhubungan dengan keluarga dan cinta. Tak heran jika perusahaannya cepat berkembang dan sudah banyak proyek yang ditanganinya. "Aku nggak mau dispensasi ya. Aku bisa kerja kayak biasa," tutur Namira sebelum Haris
Mendengar penjelasan Namira yang panjang lebar, andai tak ingat tak mau menyinggung perasaan Namira, rasanya Haris ingin tertawa lepas. Bagaimana bisa, di jaman seperti ini, masih ada wanita sebaik Namira. Di berita, di sinetron, bahkan di medsos, dia sering menemui kasus di mana sang istri yang berbuat nekad begitu mengetahui suaminya mendua. Tak jarang yang rela meninggalkan suaminya karena merasa dikhianati. Ini, malah Namira yang menggantikan tugas sang suami mencari nafkah, tanpa sedikitpun berkurang hormatnya pada sang suami. Tak jarang, Haris mencoba mengorek keterangan pada Namira perihal kabar suaminya. Berharap Namira akan menceritakan hal buruknya, atau paling tidak menumpahkan kekesalan dan kekecewaan tentang suaminya. Ternyata Haris keliru. Tak pernah sedikit pun Namira melakukan apa yang dipikir oleh Haris. Namira seolah bungkam dan menutup rapat masalahnya. Hanya senyuman yang Haris dapatkan dari jawaban Namira. Dan entah mengapa, jika sebagian besar orang cintanya
Pagi-pagi Reno sudah tak bersemangat bekerja. Gara-gara membaca dokumen kontrak yang mengharuskan membayar ganti rugi seratus juta, impiannya pindah kerja dan mendapatkan bonus lebih besar, pupus sudah. "Sudahlah, kamu kerja sama aku dulu. Kemarin kan habis deal sama customer. Nanti klo proses pembiayaannya sudah deal sama pihak bank, bonus langsung kamu terima." Gara-gara Reno berniat mengundurkan diri, harusnya bukan Jadwal Firman ke lokasi, terpaksa ia datang. "Habis ini, aku masih ada proyek baru lagi. Kalau semua unit kita sudah laku, aku sudah lobi pembiayaan baru sama pihak investor," tutur Firman. Reno mengusap keningnya. Tak dipungkiri, Firman memang cekatan dalam mengelola bisnis property ini. Apalagi koneksinya cukup banyak. Tak heran jika kantongnya makin tebal saja. Beruntung, Vania sudah lengket dengan Firman, meski sesekali masih memancing Reno dan menganggunya. "Pak, ini ada customer baru. Besok mau cek lokasi. Kebetulan Pak Firman mau ngajak saya meninjau lo
Tak sengaja Reno menatap sekilas pada posisi duduk Meira yang ada di sampingnya. Seketika Reno menelan ludah. Rok span yang dikenakan Meira agak tertarik ke atas saat duduk, sehingga lutut mulusnya terekspose. "Untung mobilnya matic," batin Reno. Kalau manual, bisa-bisa beberapa kali tangannya harus tak sengaja menyentuh lutut mulus itu saat oper gigi. "Saya ini janda, Pak Reno." Lagi-lagi, Reno hampir saja menginjak rem mendadak. Apa hubungannya dengan status wanita itu? Entah mengapa, mendadak perasaan Reno menjadi tak tenang. Yang tadinya dia merasa bangga dengan statusnya sebagai manajer pamasaran dan hanya mengantar klien, kenapa sekarang merasa seperti seorang simpanan janda? Reno sama sekali tak menanggapi. "Saya beli property sebagai pasif income. Nanti saya sewakan kembali. Sehingga saya punya pemasukan tetap. Harta gono-gini dari mantan suami saya, masih cukup untuk saya gunakan membeli aset lainnya." Ucapan wanita itu terdengar seperti curhat. Ingin rasanya Reno mel
"Masuk, Pak Reno." Reno tergagap. Dia berdiri di depan pintu. Dia pikir Meira mengajaknya ke ruang kerja. Tapi, begitu pintu terbuka setengah, Reno baru menyadari itu adalah kamar tidur. "Saya di sini saja," tolak Reno. Meira hendak menunjukkan beberapa dokumen penting pada Reno, karena Reno terlihat ragu dengan kesungguhannya membeli semua unit di Cluster Kenanga. "Tidak apa-apa. Masuk saja. Ini kamar saya. Saya sudah bercerai dengan suami. Jadi, tak akan ada yang marah," bujuk Meira sembari menghampiri Reno yang masih mematung. Yang menjadi masalah bukan yang marah pada Meira, tapi sisi hati Reno mengatakan kalau itu salah. Reno masih bertahan berdiri di ambang pintu. "Saya tunjukkan sesuatu ke anda," ucap Meira. Mata indahnya menatap Reno, membuat lelaki itu sesaat menelan ludah sebelum berpaling. "Kita bisa lihat di luar kamar. Saya tak ingin masuk." Sekuat tenaga Reno melewatkan kesempatan. Keringat dingin mulai membasahi keningnya karena gugup. Suasana ini, bagi