Lokasi stasiun dan kantorku tak terlalu jauh. Sebagai orang kepercayaan bos, sebenarnya aku bisa datang kapan saja. Tapi, buat apa aku datang siang, jika sejak pagi aku sudah siap? “Kamu sekarang naik motor, Mas?” Aku tahu siapa yang berkomentar itu. Sudah aku minta ralat dengan panggilan "Pak", tetap saja dia menyematkan panggilan "Mas". Apa maunya? Rupanya Vania melihatku sedang memarkir motor karena dia sudah datang terlebih dahulu. Hari ini, jadwal kami meninjau proyek karena ada klien yang ingin langsung melihat lokasi. Mobil operasional juga sudah disiapkan oleh Dimas di parkiran. Mereka hanya tinggal menunggu. “Iya,” jawabku singkat. Tak ada lagi yang ingin kujelaskan padanya. Meskipun dia kembali menjadi asistenku, tapi aku kini bersikap untuk menjaga jarak padanya. Biarlah dia menyangka aku kere dan tidak kuat mentraktirnya seperti dulu, karena memang kenyataannya demikian. Kini, dia lebih memilih mendekat ke Firman yang dompetnya lebih tebal. Aku baru menyadari ka
Reno segera melajukan motornya ke RS yamg disebutkan oleh penelpon tadi. Itu adalah RS yang terdekat dari stasiun. Hari sudah mulai gelap. Reno tak meyangka kalau Namira justru di rumah sakit. Dalam hati Reno berharap tidak terjadi hal yang mengkhawatirkan pada Namira. Benak Reno tak hanya memikirkan keselamatan istrinya, namun juga masa depan keluarganya. Apa yang terjadi jika Namira kenapa-napa. Bagaimana dengan anak-anak yang masih kecil-kecil. Usai memarkir motornya, setengah berlari Reno segera menuju ruang IGD sesuai yang disebutkan penelpon tadi. “Keluarga pasien atas nama Namira, ya Pak?” suster berbaju putih-putih itu menyapa Reno yang datang tergopoh-gopoh. Rupanya, hanya Namira yang masuk IGD sore itu. Jadi, tak sulit bagi sang suster untuk menebaknya. Reno mengikuti langkah suster itu. Dengan perasaan cemas. Bahkan untuk bertanya pada suster saja, bibirnya terasa kelu. Reno sedikit bernafas lega saat melihat Namira yang terbaring di salah satu brankar di ruamg IGD.
Mendengar pertanyaan Dafa, Reno terharu. Reno baru menyadari, kalau ia memiliki anak yang begitu pintarnya. Bahkan, dia tak pernah mengajarkan apapun pada anak-anak. Pasti itu semua karena Namira yang telaten mengajarkannya. “Kata nenek, Dafa mau punya adik lagi, ya, yah?” Mata Reno membulat. Ia lalu menatap ke Namira. Bagaimana mertuanya bisa sudah tahu sebelum dirinya?Namira tersenyum simpul. “Kamu sudah kasih tahu Ibu? Ibu sudah tahu kalau kamu hamil? Kamu sudah tahu kalau hamil sebelum ke rumah sakit tadi?” Reno memberondong pertanyaan. Tapi, Namira hanya membalasnya dengan senyuman.Setelah mandi, bersih-bersih dan makan malam, Namira sudah disuruh berbaring di kamar oleh Reno. Kali ini, Reno tidak seperti saat Namira hamil pertama dan kedua, yang tak peduli.Dahulu, Reno tak pernah memedulikan keluhan Namira. Tapi kini, semua sudah berubah. Reno tampak lebih cemas dan khawatir. Lebih-lebih, kejadian di stasiun tadi mengajarkan arti sebuah kehilangan. Betapa cemasnya ia akan
“Pak Haris? Ada apa?” Namira tergopoh-gopoh keluar setelah mengintip bahwa tamunya adalah atasannya. Mulut Reno mencebik. benaknya berbicara, ini hanyalah drama. Bola matanya ke kanan dan ke kiri menatap Namira dan Haris bergantian.Untung Namira tidak sempat dandan. Hanya pakai bergo yang biasa dia gantungkan di dapur. Aman, batin Reno sambil menatap penampilan istrinya. “Tadi Maysa bilang kalau kamu ngga masuk karena sakit. Jadi, sekalian aku mampir mau ngasih ini.” Tangan Haris mengangsurkan tas jinjingnya pada Namira. Lalu berkata lagi,” boleh aku masuk? Ada yang ingin aku sampaikan...” lanjut Haris. Reno mendengus. Sudah tahu nggak dipersilahkan, masih ngebet pengen masuk, umpat Reno dalam hati. Reno memang hanya sengaja membuka sedikit celah pintunya, tanpa mempersilahkan, hingga Namira datang menghampiri. Buru-buru Namira menyenggol lengan Reno agar mempersilahkan atasannya masuk. Lagi pula, atasannya juga sudah berjasa membeli mobilnya saat mereka terjerat cicilan. Ngga e
Ingin rasanya Reno mengumpat kesal dengan sikap Haris pada istrinya. Terlebih Haris malah menawarinya pekerjaan, seolah sedang meremehkannya. Gara-gara Haris, rencananya ke kantor batal sudah. Moodnya sudah berantakan. Untungnya meeting dengan klien yang harusnya hari itu, ternyata ditunda. Jadilah Reno memilih di rumah saja. "Van, tolong pekerjaan hari ini kamu handle. Istriku sakit. Aku tidak masuk," ujar Reno dari sambungan telepon. "Eciee...." suara Vania terdengar meledek. "Ingat, kalau Firman atau Irfan nanya, istriku sedang sakit." "Sakit apa sakit?" Reno tak menanggapi ledekan stafnya sekaligus mantan gebetannya itu. Dia segera mematikan sambungan telepon. Hatinya masih panas akibat ulah Haris yang berlebihan perhatian pada istrinya. Reno duduk menyandar di sofa ruang tengah. Moodnya berantakan. Sementara, istrinya menahan tawa mengamati kelakuan suaminya yang terlihat kekanak-kanakan. “Aku ngga ngapa-ngapain kok sama Pak Haris. Lagi pula kan dia juga mantan kakak k
Melihat suaminya bengong, Namira segera menghampiri. "Kenapa, Mas?" Mata Namira ikut melongok melihat dokumen yang sedang dilihat oleh Reno. Pria itu lalu meletakkan begitu saja dokumen itu di atas meja. Seketika kening Namira mengernyit setelah mengamati dengan teliti isi dokumen itu, namun kemudian senyum simpul terbit di bibirnya. Namira menarik nafas sejenak sebelum berujar dengan bijak," Ini pelajaran buat kita, Mas. Besok lagi, kita harus lebih teliti. Mas Reno kan sebagai seorang mantan manajer, harusnya sudah berpengalaman. Jangan ceroboh kalau urusan surat perjanjian seperti ini. Jangan samakan dengan membeli popok atau susunya Dafi, kalau salah, bisa dituker." "Ya, namanya juga Mas waktu itu lagi butuh pekerjaan. Sudah bosan menganggur. Lagi pula, siapa yang menyangka kalau bakal dapat tawaran pekerjaan yang lebih bagus dari Haris," sungut Reno. Namira meletakkan kembali dokumen itu di atas meja. "Namanya perusahaan, nggak ada yang mau rugi, Mas. Dimana-mana juga semua
Keesokan harinya, Namira tak mau membolos kerja lagi. Apalagi sebenarnya fisiknya biasa saja. Justru saat di kantor, dia dapat mengalihkan dari rasa mual dan pusing akibat ngidam. "Kalau masih sakit, nggak usah masuk dulu," ujar Haris saat baru datang. Ia melihat Namira sudah duduk di meja kerjanya. "Kata siapa sakit? Hamil itu sehat," jawab Namira. Ia tak mau dikasihani. Haris hanya menghela nafas. Keras kepala adalah salah satu sifat yang dia sukai dari Namira. Tapi, muncul juga rasa perih di hati Haris. Namira sudah hamil lagi. Gadis yang dulu ditaksirnya kini sedang mengandung anak ketiga. Sementara dia? Masih saja sendiri dan belum ada tanda-tanda berkeluarga. Sejak pinangannya tidak diterima oleh Namira, Haris memilih fokus pada pekerjaan dan melupakan semua yang berhubungan dengan keluarga dan cinta. Tak heran jika perusahaannya cepat berkembang dan sudah banyak proyek yang ditanganinya. "Aku nggak mau dispensasi ya. Aku bisa kerja kayak biasa," tutur Namira sebelum Haris
Mendengar penjelasan Namira yang panjang lebar, andai tak ingat tak mau menyinggung perasaan Namira, rasanya Haris ingin tertawa lepas. Bagaimana bisa, di jaman seperti ini, masih ada wanita sebaik Namira. Di berita, di sinetron, bahkan di medsos, dia sering menemui kasus di mana sang istri yang berbuat nekad begitu mengetahui suaminya mendua. Tak jarang yang rela meninggalkan suaminya karena merasa dikhianati. Ini, malah Namira yang menggantikan tugas sang suami mencari nafkah, tanpa sedikitpun berkurang hormatnya pada sang suami. Tak jarang, Haris mencoba mengorek keterangan pada Namira perihal kabar suaminya. Berharap Namira akan menceritakan hal buruknya, atau paling tidak menumpahkan kekesalan dan kekecewaan tentang suaminya. Ternyata Haris keliru. Tak pernah sedikit pun Namira melakukan apa yang dipikir oleh Haris. Namira seolah bungkam dan menutup rapat masalahnya. Hanya senyuman yang Haris dapatkan dari jawaban Namira. Dan entah mengapa, jika sebagian besar orang cintanya