“Ayah kenapa nangis?” Dafa yang duduk di sebelahku rupanya menyadari saat aku mengusap anak sungai yang mengalir di pipiku. Mendengar kata-kata Dafa, Namira yang sibuk dengan Dafi, seketika menatapku. “Oh, klilipan, Kak!” ujarku berbohong. “Kok bisa, Yah? Kan ngga ada debu. Ngga ada angin. Biasanya klilipan kalau ada debu yang tertiup angin, trus masuk ke mata…” ujar Dafa lagi. Matanya menatapku lekat yang masih berusaha mencari alasan. Ya Tuhan, anak umur tiga tahun saja ngerti kebohonganku. Bagaimana dengan Namira? Apakah aku saja yang bodoh, yang menganggap semua orang bodoh? Aku mencuri pandang pada Namira. Wanita ibu dari anak-anakku itu terdiam menatapku. Dafi juga menghentikan celotehannya. "Ayah ke kamar mandi dulu," ucapku saat menyadari suasana menjadi aneh.***ETW*** “Jangan dibiasakan berbohong pada siapapun. Sepandai-pandainya tupai melompat, suatu ketika akan jatuh juga,” ujar Namira sambil mengelap meja saat anak-anak sudah pindah ke ruang tamu.Aku sudah kembali
“Tante di sini?” tanya Haris dengan nada yang begitu akrab dengan ibu mertuaku. Duh! Jangan-jangan benar kata ibu mertuaku, kalau Haris adalah calon menantunya yang gagal. Dan kini, Haris jauh lebih sukses dariku yang masih lontang-lantung tidak jelas. Masa depan suram!“Iya, nengok cucu. Nak Haris ngapain di sini?” Wanita yang memakai setelan tunik dan jilbab instan itu balik bertanya. Senyumnya begitu ramah pada Haris, berbanding terbalik dengan sikapnya akhir-akhir ini padaku. Ada tanda tanya besar tergambar di raut muka ibu mertuaku. Terlebih Haris datang menemuiku. Pasti beliau sedang mencurigai sesuatu.Pria itu menoleh dan menatapku sekilas. Ia seperti sedang hendak meminta persetujuanku untuk mengatakan sesuatu pada ibu mertuaku. “Reno lepas mobil, Bu,” jelasku mewakili Haris yang terlihat ragu. Helaan nafas pun mengiringi jawabku. Harga diriku serasa benar-benar hancur. Tak punya mobil seperti ini, artinya aku akan membiarkan anak dan istriku kepanasan. Paling pol, ya bi
Seperti biasa, setelah menidurkan anak-anak, aku dan Namira ngobrol sebentar sebelum tidur. “Dik, Firman menawariku kerja.” Aku membuka pembicaraan.Mata Namira yang selama ini murung, seketika berbinar. “Kerja apa?” tanya Namira.“Firman punya proyek property, Dik. Dia minta Mas handle di daerah sini. Aku juga baru lihat besok. Gimana menurutmu?” tanyaku. Tak banyak informasi yang dapat kuberikan pada Namira. Lagi pula, Namira juga tak banyak bertanya. Selama ini, selama aku bekerja, dia juga tidak banyak bertanya tentang pekerjaan. Dan itu juga yang membuatku terlena. Tapi, mungkin kali ini Namira menunggu kejelasan pekerjaan dahulu. Toh, aku sudah lama berusaha, tak juga dapat kerja. Dia tak mau PHP, sebagaimana aku pun begitu.“Coba saja. Yang penting halal. Ingat, satu lagi….” Meski kalimatnya tidak diteruskan, aku mengerti maksudnya. Karena dia mengatakan dengan mata mendelik dan ujung jari telunjuk mengacung ke udara. “Insyaalloh, Mas sudah kapok, Dik!” sahutku. “Tidak u
Langkahku terhenti saat menyadari siapa yang sedang menunggu di ruang depan tempat penerima tamu kantor. “Ngapain kamu ke sini?” tanyaku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku pikir, tadi tamu yang dijanjikan Firman, kalau ini sih, benar-benar tamuku.Ingatanku seolah kembali pada saat dia pagi-pagi melabrak istriku, sesaat setelah dia menerima surat pemecatan.Kenapa dia malah ke sini? Apa maunya? Apa dia mau menagih uang dariku lagi? Dari mana dia tahu aku ada di sini?Perempuan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya itu mendongakkan kepala saat aku bertanya, tanpa menyebut namanya. Ia menatap ke arahku. Matanya membulat karena kaget. “Mas Reno!” pekiknya. Matanya mengerjap karena masih tak percaya memandangiku. Bahkan, mulutnya ikut ternganga. Duh, dia malah memanggilku "Mas", padahal itu adalah panggilan saat kami sedang berdua. Bukan panggilan saat di tempat kerja. “Aku tanya, ngapain kamu di sini?” Aku mengulangi pertanyaanku, sepelan mungkin sambil duduk di sofa yang berhad
“Ya, Mas?” Suara Namira menyentakkan lamunanku, yang sedari tadi mengamatinya menyisir rambut. Hal yang hampir tak pernah dilakukan dulu saat masih mengurus anak-anak tanpa pengasuh juga mengurus rumah tangga. Kalau pun sisiran, dulu hanya dilakukan sekenanya, asal rapi saja. Rambutnya akan cepat-cepat diikat, setelah bangun tidur. Kini, kulihat dia sedikit relax, meskipun mungkin lelah karena seharian bekerja. Tapi, wajahnya selalu lebih bercahaya, tidak kusam dan kumal.Sudah lama Namira tidak memanggilku dengan sebutan "Mas". Sejak peristiwa itu, dia lebih sering ber"kamu-kamu" padaku. Mendengar panggilan itu, rasanya seperti aku kembali ke masa-masa bahagia dahulu.“Sini…” ujarku sambil menepuk kasur di sebelahku. Sejak aku bekerja, meskipun belum gajian sekalipun, sikap Namira sudah sedikit melunak.Anak-anak kini sudah dititipkan di daycare pilihan Namira. Pengelolanya masih teman kuliahnya. Jadi Namira sangat percaya. Anak-anak pun sangat senang dititipkan di sana, karena
Dafa sudah naik di depan, sementara Dafi di selipkan antara aku dan Namira. Begitulah kesibukan kami setiap pagi. Jam setengah tujuh pagi aku dan Namira sudah berangkat mengantar anak-anak ke daycare. Kami membawa tas besar yang berisi perlengkapan anak-anak sampai sore. Nanti di sore hari sepulang kerja, kami menjemput mereka. Sejak mobil terjual, aku memang harus memulai kembali beraktifitas dengan motor, kendaraan roda dua, yang dulu kubelikan untuk Namira. Setelah mengantar anak-anak ke daycare, aku mengantar Namira ke stasiun. Dia ke kantor dengan kereta, sementara motor aku bawa bekerja. Jika aku lembur, Namira akan menjemput anak-anak dengan taksi online. Sembari di jalan, aku sering berfikir, mungkin ini cara Tuhan menegur keangkuhanku. Kesombonganku yang merasa sukses di usia muda. Dunia ini berputar. Jika kita tidak bersyukur, maka akan diambil kenikmatan itu dalam sekejap. Meskipun pagi yang terik kami berboncengan motor, tapi, aku merasa bahagia. Aku menikmati keber
Suasana romantis seketika lenyap, hanya gara-gara kelebatan bayangan seseorang.“Dik, aku tidak bohong. Itu hanya Vania sama Firman,” ujarku lirih.Namira menatap lagi ke arah tadi. Dia memastikan aku tidak membohonginya.Aku menarik nafas dalam-dalam. Betapa sulitnya mengembalikan kepercayaan yang pernah hilang!Namira menatapku sekilas, lalu mengangguk. Bibirnya sedikit ditarik ke belakang.Aku yakin, Namira kini sudah percaya. Dia sudah pernah bertemu dengan Vania. Tentu saja, dia masih ingat. Apalagi kalau dia juga sempat melihat foto-foto yang tak sengaja aku posting.“Tak percaya, kamu pernah menyukainya,” guman istriku dengan nada mengejek.Pelan, tapi aku dapat jelas mendengarnya. Untungnya, Dafa sibuk dengan makannya. Dan Dafi belum mengerti apa yang dikatakan bundanya.Aku hanya menunduk.Aku pun tak mengerti, kenapa bisa terjerat oleh Vania. Yang jelas, awalnya dia hanya stafku, sering lembur bareng, sering ke luar kota dinas bareng, kerjanya cepat, otaknya cerdas, idenya b
Seperti biasa, pagi-pagi Namira sudah sibuk. Aku berinisiatif membantunya. Kalau biasanya dia menyelesaikan semuanya, dan aku hanya mengurus diriku sendiri, hari ini aku ingin memulai hari yang berbeda. "Kak, mandi sama ayah ya!" tawarku pada si sulung yang sedang main di ruang tengah. Dia akan dimandikan setelah Namira selesai menyiapkan sarapan. "Hore! Mandi sama ayah!" Tak perlu menunggu lama, Dafa sudah berlari meninggalkan mainannya. "Ndi...Yah!" Tengah memandikan Dafa pintu kamar mandi ada yang menggedor-gedor. Suara bayi terdengar berterika-teriak dari luar. "Adik mau mandi juga itu sama ayah!" ujar Dafa yang badannya sedang aku sabuni itu menyahut. "Iya, gantian habis ini," sahutku. Tapi, suara di depan pintu tak juga berhenti, hingga kudengar Namira membujuk. "Nah, kan. Adik nangis, Yah. Ayo buruan. Kasihan bunda!" Aku tersenyum getir. Dafa saja bisa kasihan pada Bundanya, sementara, selama ini aku ngapain aja? Aku membungkus Dafa dengan handuknya dan mengaj